Langsung ke konten utama

Misi Para Pengikut Chevalier di Tengah Budaya Kematian (Sebuah Refleksi Atas Praktek Aborsi di Kalangan Remaja)




Potret Aborsi di Kalangan Remaja
Di suatu sore setelah ujian semester genap saya menyempatkan diri membaca sebuah berita yang cukup menarik di internet, yakni tentang tindakan aborsi. Menarik bagi saya karena kasus aborsi ternyata paling banyak dilakuakan oleh para remaja. Berdasarkan hasil penelitian dari Yayasan Kesehatan Perampuan yang dilakukan di 8 kota pada tahun 2003 lalu (termasuk Manado) terungkap, lebih dari separuh klien yang datang ke klinik untuk mendapatkan pelayanan penghentian kehamilan berijasah SMA (54%). Sekitar 21 % lulusan universitas, 14 % berpendidikan setingkat SMP, sedangkan tamatan SD sebesar 11 %. Penelitian tersebut dilakukan atas 1446 klien, yakni Manado 225 orang, Jakarta 236 orang, Bandung 125 orang, Surabaya 172 orang, Denpasar 225 orang, Medan 136 orang, Mataram 66 orang, Yogyakarta 261 orang. Memang aborsi yang dilakukan kalangan remaja di kota-kota besar makin marak dan menjadi trend tersendiri. Hal ini kemungkinan besar disebabkan perbuatan seks di luar nikah (free sex) yang tidak dibenarkan dalam norma kehidupan, baik norma agama maupun norma sosial.
Data lain yang cukup mencengangkan mengenai free sex dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anak sepanjang tahun 2007. Data yang diambil dari 4500 responden anak-anak itu salah satunya antara lain dikatakan bahwa 62, 7 % remaja Indonesia sudah tidak perawan. Data ini disampiakan Komisi Nasional Anak dalam seminar bertajuk “Memahami Dasyatnya Kerusakan Otak Anak Akibat Kecanduan Pornografi dan Narkoba dari Tinjauan Neuroscience,” di Autorium Departemen Kesehatan, senin (2/3/ 2007). Data ini menjadi bagian dari data Organisasi Kesehatan Dunia PBB. Setiap tahunnya, 15 juta remaja puteri mengalami kehamilan dan 60 % di antaranya berusaha untuk aborsi.
Pengguran kandungan (aborsi) merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian. Jumlah kasus aborsi yang dilakukan remaja tercatat sebanyak 2, 3 juta setiap tahun. Ini menunjukkab betapa rentannya remaja terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan asmara. Sekali mengayuh ke laut cinta, sekali itu pula kemungkinan lepas kontrol atau kebablasan bisa terjadi. Nah, apa yang terjadi bila si remaja sudah kebablasan? Aborsi merupakan keputusan terakhir ketika remaja dihadapkan pada sebuah dilema, meneruskan kehamilan sambil membawa aib keluarga atau menghentikan kehamilan dengan cara membunuh calon jabang bayi yang tak berdosa dalam kandungan.
Ada orang yang beranggapan bahwa aborsi adalah urusan privat/tidak menyangkut orang lain. Padahal jelas bahwa aborsi bukan masalah pribadi sebab bagaimanapun juga menyangkut hak hidup orang lain, sekurang-kurangnya menyangkut satu orang lain (janin) yang digugurkan. Aborsi tidak pernah manjadi urusan pribadi sebab aborsi menyangkut hidup orang lain yang dirampas demi kepentingan tertentu. Perampasan itu tentu saja menimbulkan ketidakadilan yang sangat serius sebab bayi yang tidak berdaya dihukum mati tanpa kesalahan apapun. Kita masih bisa mengerti kalau orang yang bersalah dihukum, tetapi tidak pernah bisa dibenarkan kalau ada orang yang tidak bersalah tetapi dihukum, apalagi sampai dihukum mati.

Seruan Otoritas Gereja atas Budaya Kematian
Dunia saat ini memang sarat dengan budaya kematian di mana orang tidak lagi bersahabat dengan kehidupan manusia tetapi malah meremehkan, merendahkan, bahkan menentangnya sampai dengan memusnahkan kehidupan itu sendiri. Hal ini tampak dalam tindakan aborsi seperti yang digambarkan di atas. Dalam Ensiklik Evangelium Vitae no. 79, mendiang Paus Yohanes Paulus II meringkaskan situsia semacam itu dengan istilah Budaya Kematian (Culture of Death). Berhadapan dengan budaya macam itu, Ensiklik Evangelium Vitae kembali mengingatkan tugas panggilan hidup kristiani kita: “bersama-sama kita sadari kewajiban kita mewartakan Injil Kehidupan, merayakannya bersama dalam liturgi dan seluruh hidup kita, dan melayaninya melalui pelbagai program dan struktur yang mendukung dan memajukan hidup”. Ini bukanlah panggilan yang sama sekali baru, tetapi menegaskan kembali apa yang selama ini sudah menjadi ajaran gereja.” Ensiklik tersebut...dimaksudkan sebagai penegasan ulang yang seksama dan tegas mengenai hidup manusiawi yang tidak dapat diganggu gugat, sekaligus suatu seruan mendesak, ditujukan kepada tiap orang, demi nama Allah: hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusiawi. Hanya dalam arah inilah Anda akan menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan sejati, damai, dan kebahagiaan”(Evangelium Vitae no. 5).
Hal yang perlu diingat bahwa hidup manusia itu suci. Oleh karenanya perlu dihormati sejak awal kehidupan (sejak pembuahan) sampai pada kematian naturalnya. Paus memberi alasan mengapa kejahatan aborsi itu kejahatan melawan kehidupan yang sangat berat. Anak yang sudah lahir diberi bekal untuk membela diri oleh Sang Pencipta, yakni tangisan. Begitu bayi lahir, maka dia akan menangis. Ketika bayi lapar atau basah, dia akan menangis. Orang yang melihat bayi manangis akan merasa iba dan tidak jadi berbuat jahat terhadap bayi itu. Jadi tangisan adalah bentuk pembelaan diri yang paling primitif. Nah, janin dalam kandungan bahkan tidak bisa membela diri dengan alat yang paling primitif (menangis) ini. Maka janin di dalam kandungan adalah makhluk yang paling lemah yang sama sekali tidak bisa membela diri. Oleh karena itu, pembunuhan janin adalah pembunuhan keji, karena membunuh orang tak bersalah, yang tidak bisa membela diri.
Lagi pula salah satu prinsip moral Kristiani adalah prinsip vulnerability, yakni yang kuat harus melindungi yang lemah. Kitab Suci secara khusus dalam Mt 12: 20 dengan jelas menerangkan sikap Allah yang membela kaum lemah ini dengan mengatakan,” Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.”
Ajaran lain dalam Alkitab dapat menjadi pegangan untuk menentang aborsi. Yeremia 1: 5 menyatakan bahwa Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam kandungan. Keluaran 21: 22-25 menulis, bagi orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang masih dalam kandungan, akan mendapat hukuman yang sama dengan seorang pembunuh. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah janin memiliki kesetaraan derajat dengan manusia yang sudah dilahirkan
Konsili Vatikan II menyebut aborsi sebagai “tindakan kejahatan yang durhaka”. Sebab Allah, Sang Sumber Kehidupan telah mempercayakan kepada manusia untuk merawat dan menghargai kehidupan. Maka kehidupan yang sudah ada sejak pembuahan tetap harus dilindungi.
. Last but not the least, kaum muda perlu diingatkan harus memiliki “rem” berupa keimanan. Iman merupakan rem yang paling pekem dalam menghadapi penyakit zaman yang sarat dengan rupa-rupa tawaran. Harus diakui bahwa membangun hidup keberimanan di masa kini dengan sikap peka, tanggap, dan kritis memang tidak mudah. Untuk itu dibutuhkan suatu disiplin hidup. Hal ini disebabkan oleh sikap-sikap tersebut langsung berbalikkan dengan trend yang dicandui orang-orang zaman ini: budaya instant, pragmatisme, ataupun sikap tidak mau peduli. Padahal, suatu disiplin hidup cirinya lama, panjang dan berat. Untuk mencapai itu dibutuhkan ketekunan, kesetiaan, dan keterbukaan hati serta budi terus-menerus akan Allah yang intensif, berkomitmen terhadap ciptaan-Nya. Allah setia kepada umat-Nya menjadi semacam undangan bagi kita semua untuk juga bersedia mengarahkan seluruh komitmen hidup kita pada Allah.
Seorang suci pernah berkata,”Jawablah panggilan Allah dengan kesediaan total dan kecermatan dalam hidup. Masakan kamu kalah dibandingkan dengan anak-anak dunia ini yang begitu sedia, cermat dan berlomba menuju kebinasaan.” Relasi intim dengan Allah yang dijalin lewat doa dari hari ke hari menjadi mutlak untuk dapat selalu sadar diri terhadap komitmen Allah tersebut. Dengan begitu di satu sisi kita mampu hidup dalam relasi dengan Allah. Di sisi lain kita dapat menepis berbagai tawaran dan pengaruh dunia yang meninahbobohkan kita pada praktek hidup yang tidak berkenan di hadapan-Nya.
Seringkali remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas adalah mereka yang dalam keluarganya kurang diperhatikan. Oleh karena itu mereka mengisi kekosongan di dalam diri ke luar rumah. Agar anak bisa merasa at home dengan orangtuanya, maka perlu menciptakan iklim keluarga yang harmonis dan komunikatif. Harmonis di sini berarti anggota keluarga saling menyadari kesamaan tujuan. Komunikatif mengandung arti terciptanya dialog terbuka dari hati ke hati. Kedua belah pihak saling menelusuri terputusnya hubungan yang mungkin selama ini terjadi. Tanpa keterbukaan diri membina komunikasi, hubungan yang terjadi akan selalu diwarnai saling curiga di antara mereka. Dialog dari hati ke hati mestinya menjadi tujuan yang disadari bersama dan perlu dikembangkan. Bukankah ini merupakan syarat penting dalam melawan budaya kematian yang melanda dunia saat ini?

Misi para pengikut Chevalier di tengah Budaya kematian
Para pengikut Chevalier (biarawan MSC, suster PBHK, Suster TMM) juga adalah bagian dari orang kristiani memiliki tanggung jawab yang sama. Senada dengan apa yang didengungkan oleh mendiang paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae , kita juga perlu menyuarakan hal yang sama. Sehingga dengannya pengharagaan terhadap kehidupan semakin dimiliki oleh setiap orang yang kita layani.
Saya merasa family approach masih relevan dijalankan. Saya teringat dengan apa yang pernah dijalankan oleh para konfrater MSC di Jawa Tengah yakni Kunjungan Keluarga. Dengannya kita bisa mengetahui pergumulan hidup keluarga-keluarga yang kita layani.
Meminjam kata-kata dari salah seorang konfrater yang mengatakan bahwa misi kita adalah misi yang tidak mungkin. “mission impossible”. Maksudnya kita tidak dapat menjalankan misi tersebut tanpa menjalin relasi yang intim dengan Dia yang mengutus kita (Tuhan) serta menjalin relasi yang mesra dengan dia-dia yang lain sesama anggota komunitas. (Yongki Wawo, MSC)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug