JANGAN
BERKECIL HATI!!
Pada tanggal 4 Agustus 2019
adalah perayaan 160 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianey. Saat
itu saya persis berada di Ars bersama para suster MSC Korea yang sedang
mengadakan napak tilas. Saya sempat merayakan ekaristi pagi itu bersama dengan seorang imam asal Brazil di basilika Cure
d’Ars untuk beberapa peziarah, para suster MSC dan juga para tenaga sukarelawan
untuk tempat ziarah itu. Hari itu kami sengaja misa lebih awal karena harus berangkat
ke Bourges. Oleh karena itu, kami misa pagi-pagi pada pukul 07h00. Perayaan
untuk umat dan para peziarah lainnya berlangsung nanti pukul 10h00 dan saat itu
dipimpin oleh Mgr. Tagle.
Pada kesempatan peringatan 160 tahun wafatnya
Santo Curé dari Ars atau Santo Yohanes Maria Vianey, Paus Fransiskus menulis sebuah
surat yang sangat indah kepada para imam di seluruh dunia. Surat ini disusun dalam
empat kata kunci: penderitaan, syukur, keberanian, pujian. Mari kita lihat
intisari dari poin-poin tersebut:
1.
Penderitaan:
Paus Fransiskus mencatat bahwa, dalam menghadapi pelecehan seksual yang baru-baru
ini terungkap di Gereja, banyak imam "menunjukkan kemarahan mereka, dan
juga ketidakberdayaan tertentu karena selain upaya pengabdian, mereka mengalami
penderitaan yang menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan. Sebagai seorang saudara sekaligus gembala yang baik, ia mendorong dan membuka
harapan kepada para imam:
"Saya
yakin bahwa sejauh kita setia pada kehendak Tuhan, saat-saat pemurnian Gereja
yang kita jalani akan membuat kita lebih bahagia dan lebih sederhana, dan akan,
dalam waktu dekat, akan sangat bermanfaat. "Jangan berkecil hati! Tuhan
sedang menyucikan mempelai -Nya (Gereja) dan Dia mempertobatkan kita kepada-Nya.
Dia membuat kita mengalami peristiwa semacam ini, sehingga kita mengerti bahwa
tanpa Dia kita hanyalah debu. "
2.
Bersyukur:
Paus Fransiskus menekankan keindahan panggilan imamat kita dan mendorong kita
untuk mengingat "momen bercahaya ketika kita mengalami panggilan Tuhan
untuk mengabdikan seluruh hidup kita untuk pelayanan-Nya." Dia juga
mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para imam, menekankan bahwa "bersyukur
selalu merupakan senjata yang kuat":
"Saudara-saudara yang terkasih, terima kasih atas
kesetiaan Anda pada komitmen yang dibuat. Adalah penting bahwa dalam masyarakat
dan budaya yang telah mengubah "hal-hal dangkal" menjadi “nilai”, masih ada orang yang mengambil risiko dan berusaha untuk mengambil komitmen
seumur hidup seperti Anda".
3.
Keberanian:
Bapa Suci ingin "memimpin kita untuk memperbarui keberanian imamat
kita" dan "berjuang untuk dapat memenuhi misi yang Tuhan berikan
kepada kita setiap pagi: untuk menyampaikan kabar baik, sukacita bagi semua
orang. Bukan sebagai teori tetapi sebagai manusia yang, di tengah-tengah rasa
sakit, telah diubah dan ditransfigurasi. Dia memberi kita dua tips berharga
dalam perjuangan ini:
"Untuk menjaga hati tetap berani, perlu untuk
tidak mengabaikan dua mata rantai yang membentuk identitas kita: yang pertama, dengan Yesus. Setiap kali
kita berpisah dari Yesus, cadangan kita secara bertahap mengering dan lampu
kita kehabisan minyak tidak lagi mampu menerangi kehidupan. [...] Yang kedua: untuk meningkatkan ikatan
dengan sesama atau umat beriman. Seorang pelayan yang dicintai adalah pelayan yang
selalu keluar; dan "keluar" membuat kita berjalan "kadang-kadang
di depan, kadang di tengah, kadang di belakang: di depan, untuk membimbing umat,
di tengah untuk lebih memahami, mendorong, dan mendukung mereka; di belakang,
untuk tetap bersama dan tidak pernah pergi terlalu jauh ke belakang. "
4.
Pujian:
Bapa Suci akhirnya memberi kita sosok Maria yang "mengajarkan kita pujian
yang mampu membuka mata kita ke masa depan dan mengembalikan harapan ke masa
sekarang. [...] Melihat Maria berarti "percaya lagi pada kekuatan
revolusioner kelembutan dan kasih sayang. Paus menulis:
"Dan jika kadang-kadang kita tergoda untuk
mengisolasi diri kita sendiri, [...] atau jika keluhan, kritik atau ironi
mengambil tindakan kita tanpa keinginan untuk bertarung, untuk berharap dan
untuk mencintai, mari kita melihat Maria sehingga itu membersihkan mata kita
dari semua "debu" yang dapat mencegah kita dari perhatian dan bangun
untuk merenungkan dan merayakan Kristus yang hidup di tengah-tengah umat-Nya.
"
Last
but not the least, dengan surat ini, sebagai seorang bapa
dan seorang gembala, Paus Fransiskus menasihati kita dan mengingatkan kita
tentang keindahan panggilan imamat kita.
"Suatu hari, kita berkata" ya "yang
lahir dan bertumbuh di komunitas Kristen. [...] "Ya" yang ruang
lingkupnya telah dan akan sangat tak terbayangkan sehingga seringkali kita
tidak akan bisa membayangkan semua hal baik yang ada dan yang bisa
dihasilkannya. Lebih dari pilihan di pihak kita, panggilan adalah tanggapan
atas panggilan dari Tuhan. [...] Selalu,
tetapi terutama di saat-saat sulit, kita harus kembali ke saat-saat bercahaya
di mana kita mengalami panggilan Tuhan untuk mengabdikan seluruh hidup kita
untuk pelayanannya. Inilah yang Paus Fransiskus sebut "Memori
Deuteronomis Panggilan" yang memungkinkan kita untuk kembali ke
"titik pijar" di mana rahmat Allah menyentuh kita di awal perjalanan panggilan
kita. Untuk percikan inilah kita dapat menyalakan untuk hari ini, untuk setiap
hari, dan membawa kehangatan dan terang bagi saudara-saudari kita. " Amen
Komentar
Posting Komentar