Tulisan berikut ini adalah sebuah ringkasan dari Bab V, buku tulisan E. J Cuskelly, MSC dengan Judul “Un Coeur Nouveau et un Esprit Nouveau.” Dalam tulisan itu, kita diingatkan untuk memiliki kualitas atau semangat Anawim/ "Hati Yang Miskin". Kata “saya” dalam tulisan ini merujuk pada E. J Cuskelly, MSC. Selamat membaca dan bermenung:
Rasa Haus Akan Allah dan
Kardinal Pironio, Prefek Kongregasi Sakral untuk Kaum Religius, mengatakan, "anawim yang sejati adalah rasa haus akan Allah, kebutuhan untuk berdoa, kerentanan diri, dan harapan pada Dia yang segalanya mungkin bagi-Nya."
Saya akui saya mulai lelah dengan diskusi tentang hidup religius. Para rohaniwan sering berkumpul hanya untuk membicarakan gaya hidup, rumah, atau mobil mereka. Lalu, seseorang akan berkomentar bahwa ada banyak orang yang lebih miskin dari mereka, dan seketika muncullah perasaan bersalah. Namun, karena sulit mengubah banyak hal praktis, kita akhirnya hanya menyimpulkan, "Baiklah, setidaknya mari kita coba untuk memiliki kualitas anawim sejati" Dan akhirnya, tidak ada yang benar-benar berubah; setiap orang kembali ke dunianya sendiri tanpa ada pergerakan.
Hal yang paling menyedihkan dalam situasi ini adalah kenyataan bahwa salah satu poin terpenting untuk pembaruan kehidupan religius diperlakukan hanya sebagai pengalih perhatian dan aksesori.
Kita harus menghadapi ini dengan lebih serius, memulai meditasi mendalam tentang ajaran alkitabiah mengenai semangat anawim ini.
Di sisi lain, saya mendapatkan keyakinan mendalam dari orang-orang yang menghadapi kehidupan dengan kemiskinan, keberanian, dan sukacita. Orang-orang yang hidup dalam kecemasan, keangkuhan, dan keraguan diri. Ini adalah pengalaman yang memberikan kesan terdalam. Mereka yang paling efektif dalam memberitakan Injil adalah mereka yang mampu menghidupi semangat anawim. Mereka yang telah menemukan segalanya dalam hidup, namun tetap mempertahankan hati yang terbuka, akan merasakan sukacita penuh yang menyertai kasih dan iman.
Ajaran tentang anawim mengundang kita untuk memiliki rasa haus yang sejati akan Allah. Ini mengingatkan kita pada beberapa sikap yang disinggung dalam "kemiskinan hati atau anawim." Para penulis Alkitab tidak melihat segala sesuatu sebagai milik mereka; sebaliknya, mereka menerima segala sesuatu dari tangan Allah dengan iman, harapan, dan ketaatan pada kehendak-Nya. Mereka adalah orang-orang yang, dengan rahmat Allah, berhasil mengubah hati mereka.
Mereka yang miskin dalam hati adalah mereka yang telah dihancurkan oleh kejahatan, yang telah kehilangan segalanya. Mereka tetap berdiri, namun hanya karena iman yang teguh dan keyakinan akan kerahiman Allah. Dalam kondisi ini, mereka menerima kelemahan mereka sendiri dan bersedia untuk bersikap terbuka dan dapat diajar.
Peringatan Terhadap "Mammon" Modern
Yesus memberikan tanda kedekatan Kerajaan Allah: "Kabar Baik diwartakan kepada orang miskin." (Matius 5:11). Teks ini membuat saya berpikir: mengapa ada orang yang miskin? Dan siapa yang tidak miskin? Saya bertemu banyak orang dengan kantong penuh uang, dan saya ingin Kabar Baik juga sampai kepada mereka. Banyak dari mereka memberitakan Injil melalui iman mereka yang mendalam dan kesediaan untuk mengikuti kehendak Allah.
Tetapi, setelah direnungkan, kita menyadari bahwa tidak ada gunanya memberitakan Injil kepada siapa pun kecuali kepada mereka yang "miskin" — karena hanya orang miskin yang bisa mendengar Injil. Hanya mereka yang terbuka dan siap mendengarkan.
Para penulis Alkitab tidak menganggap materi itu buruk. Dunia itu baik—begitu pula bunga, makanan, emas, dan uang. Namun, mereka melihat hidup sebagai orang yang memiliki banyak harta, dan mereka seringkali menyimpang dari takdir sejati kekayaan mereka. Sikap mereka menjadi buruk dan sombong, mereka berperilaku seolah-olah tidak lagi membutuhkan Allah. Mereka mencari keamanan dalam ciptaan, mereka menjadi begitu terikat pada hal-hal materiil sehingga mereka kehilangan kebebasan untuk menyerahkan apa yang Allah minta dari mereka.
Dalam beberapa terjemahan modern, dikatakan: "Kamu tidak bisa melayani Allah dan Uang." Mengapa ini menjadi tantangan? Bukankah uang itu baik? Tantangan bagi kita adalah menghadapi dua pertanyaan:
* Apakah kita cukup miskin untuk mendengar Injil?
* Apakah kita cukup bebas untuk menjawabnya?
Kerendahan Hati dan Anawim
Kita harus menerima kerapuhan kita dan tidak membiarkan diri kita patah semangat. Kita tidak bisa membiarkan keraguan merusak kita. Kita tidak boleh menjadi mammon bagi diri kita sendiri, tidak juga bagi tradisi. Siapa pun yang terikat terlalu kuat pada apa yang diciptakan, tidak bisa melayani Allah dan "Mammon" pada saat yang sama. "Mammon" dapat berarti segala sesuatu yang membuat manusia menempatkan kepercayaannya pada sesuatu di luar Allah. Itu adalah setiap ciptaan yang terlalu bergantung pada dukungannya; setiap hal yang memecah hati; setiap hal yang terlalu terikat.
Setiap "Mammon" adalah rintangan yang menghancurkan kerelaan hati, yang terbuka bagi Allah. Marilah kita membiarkan diri kita dibimbing oleh kehendak-Nya.
Seringkali, kita menjadi bangga dengan pengetahuan kita, atau dengan keyakinan kita, dan itu menutup hati kita terhadap Injil. Kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita memiliki "Mammon" yang dapat memecah belah hati atau mengunci kita dalam sikap aman yang palsu. Apakah kita kadang-kadang terikat pada cara yang tidak teratur, yang membuat kita menjauh dari Injil? Saya sering melakukan perjalanan untuk mewartakan Injil kepada orang miskin, tetapi sepanjang perjalanan saya tidak menemukan lebih banyak orang miskin dari yang saya harapkan. Ada banyak rintangan untuk kerelaan hati, salah satunya adalah chauvinisme.
Tantangan bagi Misi dan Kesombongan
Saya ingin menjelaskan chauvinisme, yang berasal dari nama Nicolas Chauvin, yang mempraktikkan patriotisme eksklusif. Dalam hal ini, ada orang-orang yang berpikir bahwa segala sesuatu yang berasal dari negara mereka adalah yang terbaik, dan segala sesuatu yang datang dari tempat lain adalah lebih rendah.
Di dunia ini, kita bukanlah satu-satunya yang chauvinistik. Jerman berpikir bahwa hanya teologi Jerman yang berharga. Sikap semacam itu menghalangi Injil sejak awal ketika bertemu dengan orang asing.
Saya bertemu dengan reaksi sebaliknya: "Apa yang bisa orang Belanda, Jerman, atau Italia berikan kepada kita?"
Kita tidak bisa membiarkan diri kita berkecil hati saat struktur kita runtuh. Kita harus menerima bahwa Tuhan bekerja melalui kelemahan kita, dan dia tidak membangun tanpa kita.
Terkadang, para religius muda menjadi terlalu terikat pada status profesional mereka dan terlalu bangga. Tetapi, kerendahan hati pribadi adalah satu-satunya partisipasi yang dapat membuat hidup religius diperbarui. Pada saat tertentu, penting untuk memahami bahwa seseorang perlu merendahkan diri. Seseorang dapat mencari semua hal kontingen ini, tetapi tidak akan pernah menemukan kepuasan.
Mencari Kebenaran, Bukan Kekuasaan
Saya sering bertanya kepada para rohaniwan muda tentang alasan di balik pilihan dan tujuan mereka. Mereka seringkali memiliki ide-ide abstrak yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika kita mengingatkan mereka pada cita-cita, mereka merasa tersinggung. Panggilan untuk berubah dan kembali ke esensi tidaklah mudah.
Seringkali, lembaga keagamaan modern berusaha untuk hidup "aman" dan takut akan risiko. Mereka terikat pada tradisi kuno. Ketika mereka menghadapi kenyataan baru, mereka terkejut.
Saya kadang-kadang merenungkan kegagalan para pastor muda yang meninggalkan imamat. Saya ingin mengatakan bahwa Gereja tidak berada pada ketinggian masyarakat kita, tetapi masyarakat kita tidak berada pada ketinggian Injil.
Seringkali, para rohaniwan muda menganggap diri mereka terlalu penting, seolah-olah merekalah yang mengendalikan segalanya. Kita harus belajar untuk melepaskan, untuk melepaskan diri dari hal-hal lama yang perlu diperbarui, dari cara-cara lama yang harus diatur ulang.
Para penulis Alkitab tidak memiliki pandangan yang terikat pada nilai-nilai materi. Mereka tahu bahwa Allah menciptakan dunia dan itu baik, seperti halnya bunga, makanan, emas, dan uang. Namun, dengan mempertimbangkan kehidupan orang-orang kaya, mereka menyadari bahwa mereka sering menyimpang dari tujuan sejati kekayaan mereka.
Lanjutan Renungan dalam Kisah:
Gemerlap Harapan dan Keheningan yang Tak Terduga
Romo Daniel adalah potret imam muda generasi baru. Usianya baru tiga puluh dua, namun namanya sudah dikenal di keuskupan sebagai seorang organisator ulung. Lulus dengan predikat summa cum laude dari sebuah universitas di Roma, ia membawa pulang bukan hanya pengetahuan teologi yang mendalam, tetapi juga visi modern tentang bagaimana seharusnya Gereja bergerak.
Paroki pertamanya, Paroki Kristus Raja di jantung kota metropolitan, berubah drastis di bawah kepemimpinannya. Ia merombak manajemen paroki menjadi lebih efisien, meluncurkan aplikasi digital untuk jadwal misa dan kegiatan, dan program katekumennya menggunakan multimedia yang menarik kaum muda. Umat menyukainya. Kolekte mingguan meningkat, dan aula paroki yang baru saja ia renovasi dengan megah selalu penuh dengan kegiatan. Romo Daniel merasa aman dalam kompetensinya. "Mammon"-nya bukanlah uang atau kemewahan, melainkan pencapaian, efisiensi, dan pengakuan atas kemampuannya. Ia percaya, inilah cara terbaik melayani Tuhan di zaman ini: dengan kecerdasan, strategi, dan hasil yang terukur.
Suatu sore, saat ia sedang mempresentasikan proposal penggalangan dana untuk misi digital paroki, telepon dari sekretariat keuskupan berdering. Bapak Uskup ingin bertemu dengannya. Hati Romo Daniel berbunga-bunga. Mungkin promosi? Atau sebuah tugas prestisius di tingkat keuskupan?
Kenyataan menghantamnya lebih keras dari badai. Di ruang kerja uskup yang hening, di antara rak-rak buku tua yang berbau kertas dan kebijaksanaan, ia menerima surat tugas barunya. Bukan promosi. Ia dipindahkan ke Stasi Santo Yusuf di Lembah Sunyi, sebuah daerah terpencil di kaki gunung yang bahkan jarang muncul di peta. Sebuah stasi kecil dengan umat yang mayoritas adalah petani sederhana, tanpa sinyal internet yang stabil, dan dengan gereja tua yang atapnya sering bocor.
“Lembah Sunyi membutuhkan energi muda sepertimu, Daniel,” kata Bapak Uskup dengan tatapan teduh namun tegas.
Bagi Romo Daniel, ini terasa seperti sebuah hukuman. Sebuah pembuangan. Apa yang bisa ia lakukan di sana? Semua ilmunya, semua strateginya, semua visinya tentang gereja modern terasa sia-sia. Dalam perjalanan menuju tempat tugas barunya, mobilnya melaju meninggalkan gemerlap kota, dan hatinya terasa semakin berat. Ia merasa seperti semua yang telah ia bangun direnggut darinya. Ia merasa miskin, bukan dalam arti materi, tetapi miskin dalam tujuan dan harapan.
Patahnya Sang Pembangun
Lembah Sunyi menyambutnya dengan keheningan yang memekakkan telinga. Tidak ada deru lalu lintas, hanya desau angin di antara pepohonan dan suara jangkrik di kejauhan. Gereja Santo Yusuf berdiri sederhana, catnya sudah banyak terkelupas, dan beberapa gentingnya tampak melorot. Umat menyambutnya dengan hangat, dengan senyum tulus dan tangan-tangan kasar yang menjabat erat tangannya. Namun, Romo Daniel melihat mereka melalui kacamata efisiensinya: mereka lamban, tradisional, dan tampaknya tidak tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang ia coba tawarkan.
Minggu-minggu pertama adalah sebuah frustrasi besar. Rencananya untuk mendata umat secara digital terhalang oleh tidak adanya koneksi. Usulannya untuk membentuk tim kerja profesional ditanggapi dengan tatapan bingung. Ia merasa seperti seorang jenderal tanpa pasukan, seorang arsitek tanpa alat. Kesombongan intelektualnya, chauvinisme teologinya yang ia bawa dari Roma, menjadi tembok yang memisahkannya dari umatnya sendiri. “Apa yang bisa mereka ajarkan padaku?” pikirnya dalam hati.
Puncak keputusasaannya datang saat musim hujan tiba lebih awal. Atap gereja yang sudah rapuh itu bocor parah di beberapa titik. Dengan sisa semangatnya, Romo Daniel mengorganisir perbaikan. Ia merancang sebuah struktur atap baru yang lebih modern, menggunakan seluruh tabungan stasi yang kecil untuk memesan material dari kota. Ia bekerja siang dan malam, memimpin beberapa pemuda yang membantunya. Ini adalah proyeknya. Ini akan menjadi bukti bahwa ia masih bisa berkarya, bahkan di tempat terpencil sekalipun.
Namun, ia mengabaikan kearifan lokal. Para tetua desa sudah memperingatkannya tentang angin lembah yang ganas dan jenis kayu lokal yang lebih tahan cuaca. Romo Daniel, dengan keyakinan pada pengetahuannya, menganggapnya sebagai cara berpikir kuno.
Suatu malam, badai yang dahsyat menerjang Lembah Sunyi. Angin mengamuk seperti raksasa yang marah. Keesokan paginya, Romo Daniel menemukan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Separuh dari struktur atap baru yang sedang ia bangun telah runtuh, menimpa bagian lain dari atap lama dan menciptakan lubang yang lebih besar. Material yang ia pesan dengan susah payah berserakan di tanah berlumpur.
Ia berdiri di tengah reruntuhan itu, basah oleh sisa gerimis, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kalah. Bukan hanya proyeknya yang hancur, tetapi juga harga dirinya, kepercayaannya pada kemampuannya sendiri. Ia telah kehilangan segalanya. Ia telah dihancurkan oleh keangkuhannya sendiri. Dalam kehancuran itu, dalam kemiskinan total akan rasa percaya diri, ia akhirnya berdiri telanjang di hadapan Tuhan, tanpa apa pun untuk dibanggakan.
Secangkir Kopi dan Hati yang Terbuka
Romo Daniel mengurung diri di pastoran kecilnya selama dua hari. Ia tidak makan, hanya menatap kosong ke arah gereja yang terluka. Ia merasa gagal sebagai imam, gagal sebagai manusia. Doanya terasa hampa, seolah membentur langit-langit yang rendah dan berdebu.
Pada sore hari kedua, pintu pastoran diketuk pelan. Seorang wanita tua, Ibu Maria, salah satu umat paling sederhana di stasi itu, berdiri di sana. Ia tidak membawa apa-apa selain sebuah senyum keriput dan sebuah termos kecil di tangannya.
“Romo, saya buatkan kopi,” katanya lembut, tanpa bertanya apa yang terjadi. Ia masuk ke dalam, membersihkan meja yang berantakan, dan menuangkan kopi panas yang beraroma harum ke dalam dua cangkir kaleng.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat. Romo Daniel menunggu ceramah, nasihat, atau bahkan omelan. Tapi tidak ada. Ibu Maria hanya duduk di sana, menyeruput kopinya, dan memandang ke arah gereja.
“Gereja ini sudah sering jatuh, Romo,” akhirnya ia berkata. “Dulu waktu zaman perang, dibakar. Waktu ada gempa besar, temboknya retak. Tapi ia selalu dibangun lagi. Bukan oleh satu orang hebat, tapi oleh banyak tangan kecil yang saling menolong.”
Romo Daniel menatapnya. Wanita ini, yang hidupnya serba kekurangan, yang suaminya telah lama meninggal dan anak-anaknya merantau jauh, memancarkan kedamaian yang tidak ia pahami.
“Bagaimana Ibu bisa begitu tenang?” tanya Romo Daniel, suaranya serak.
Ibu Maria tersenyum lagi. “Karena saya tidak punya apa-apa, Romo. Saya hanya punya Tuhan. Kalau kita tidak punya apa-apa lagi untuk dipegang, kita jadi punya dua tangan yang bebas untuk berdoa dan menerima. Hati kita jadi kosong, jadi ada ruang untuk Tuhan masuk. Seperti tanah yang kering, haus akan hujan. Itulah mungkin yang Romo rasakan sekarang. Haus.”
Kata-kata itu, “haus akan Allah,” seperti anak panah yang menembus jantung Romo Daniel. Itulah yang dikatakan Kardinal Pironio dalam buku yang pernah ia baca: anawim yang sejati adalah rasa haus akan Allah. Di tengah reruntuhan kesombongannya, di dasar kemiskinan spiritualnya, ia merasakan kekeringan yang luar biasa. Ia haus.
Ia tidak lagi melihat Ibu Maria sebagai umat yang “terbelakang”, tetapi sebagai seorang guru. Ia, dengan segala gelar teologinya, sedang diajar tentang iman oleh seorang wanita tua yang bahkan mungkin tidak tamat sekolah dasar. Hatinya yang tadinya tertutup oleh kebanggaan akan pengetahuan, kini pecah dan terbuka. Ia menjadi cukup miskin untuk akhirnya bisa mendengar Injun.
Membangun dengan Hati Sang Anawim
Keesokan harinya, Romo Daniel keluar dari pastoran. Ia tidak lagi membawa rancangan atau proposal. Ia hanya membawa dirinya sendiri. Ia mendatangi para tetua desa, duduk bersama mereka, mendengarkan cerita mereka tentang angin, kayu, dan cara membangun yang telah teruji oleh waktu.
Ia mengumpulkan umat setelah misa hari Minggu. Dengan suara yang rendah dan jujur, ia mengakui kesalahannya, kesombongannya. “Saya datang ke sini untuk mengajar, tetapi ternyata saya yang harus belajar. Saya mohon maaf. Mari kita bangun kembali rumah Tuhan ini, bersama-sama.”
Sebuah keajaiban terjadi. Umat yang tadinya menjaga jarak, kini bergerak. Mereka membawa kayu dari hutan mereka, menyumbangkan bambu dari kebun mereka, membawa makanan untuk dimakan bersama. Para pria bekerja, para wanita memasak, anak-anak berlarian mengumpulkan paku yang berserakan. Tidak ada lagi “proyek Romo Daniel,” yang ada adalah “gereja kita.”
Gereja itu perlahan bangkit kembali. Atapnya mungkin tidak semodern rancangan Romo Daniel, tetapi kokoh, dibangun dengan keringat, doa, dan cinta. Selama proses itu, Romo Daniel menemukan sukacita yang belum pernah ia rasakan di paroki kotanya yang gemerlap. Sukacita bukan dari pencapaian, tetapi dari persekutuan. Bukan dari memimpin, tetapi dari berjalan bersama.
Ia mulai melihat Injil dengan mata baru. “Kabar Baik diwartakan kepada orang miskin.” Ia sadar, ia tidak diutus untuk “mengasihani” orang miskin, tetapi untuk menjadi miskin bersama mereka. Miskin dalam semangat, miskin dari ketergantungan pada diri sendiri, dan karena itu, kaya dalam Tuhan.
Romo Daniel tidak pernah lagi meminta untuk pindah. Lembah Sunyi, yang tadinya adalah tempat pembuangan, kini menjadi rumahnya. Ia menemukan bahwa dalam keheningan lembah itu, suara Tuhan terdengar jauh lebih jelas. Ia belajar bahwa hati yang terbuka, yang rela dilukai dan dikosongkan, adalah satu-satunya hati yang bisa dipenuhi oleh sukacita Injil sepenuhnya. Ia telah menemukan harta karun terbesarnya, bukan dalam gedung yang megah atau program yang sukses, tetapi dalam semangat Anawim—hati seorang miskin yang menemukan segalanya di dalam Allah.
Jakarta, 8 September 2025
Komentar
Posting Komentar