Langsung ke konten utama

ULASAN MENGENAI ENSIKLIK DEUS CARITAS EST PAUS BENEDIKTUS XVI



Pendahuluan
Ensiklik pertama dari seorang paus biasanya ditunggu-tunggu karena biasanya menggambarkan gagasan dasar dan arah penggembalaan yang akan dijalani oleh paus terpilih. Ketika Joseph Ratzinger yang menjadi paus, dia tidak segerah  mengeluarkan ensiklik. Berbeda dengan Paus Yohanes Paulus II yang mengeluarkan ensiklik pertamanya 130 hari setelah terpilih menjadi paus. Paus Benediktus XVI membutuhakan waktu lebih dari 300 hari untuk mengeluarakan ensiklik pertamanya. Waktu yang lama ini membuat begitu besar rasa ingin tahu banyak orang dan media akan ensiklik pertama Paus berkebangasaan Jerman ini.[1] Akhirnya toh pada tanggal 25 Januari 2006, Paus Benediktus XVI mengeluarkan ensiklik pertamanya, dengan judul Deus Caritas Est (Selanjutnya diseingkat DCE ). [2] Ensiklik ini dikeluarkan resmi pada tanggal 25 Januari 2006, akan tetapi dalam teks itu sendiri ditulis bahwa ensiklik tersebut ditandatangani Paus pada Hari Raya Natal, 25 Desember 2005.  Mengapa teks tersebut satu bulan setelah ditandatangani baru dikeluarkan? Jawabannya adalah karena problem penerjemahan teks dari bahasa Jerman ke bahasa Latin dan demi tepatnya pilihan kata dalam teks ensiklik tersebut.
Ensiklik ini ditujukan kepada para uskup, imam dan diakon, dan para pengemban hidup bakti dan kepada semua orang  beriman tentang kasih kristiani. Dalam 42 alinea dan lebih dari 70 halaman, ensiklik ini merefleksikan konsep tentang eros   (cinta seksual), agape (kasih tanpa syarat), logos (firman), dan hubungannya masing-masing dengan pengajaranYesus Kristus. Paruhan pertama dari ensiklik ini lebih bersifat filosofis, menelusuri makna kata "cinta kasih". Bagian kedua berdasarkan laporan yang disiapkan oleh Dewan Kepausan Cor Unum, lebih bersifat praktis, mempertimbangkan kegiatan-kegiatan amal Gereja sebagai ungkapan cinta-kasih, dan mengacu kepada tiga tanggung jawab gereja: memberitakan firman Allah (kerygma-marturia), merayakan sakramen (leitourgia), dan melaksanakan pelayanan kemurahan hati (diakonia). Mengenai praktek cinta kasih, Paus Benediktux XVI juga merujuk pada teladan orang-orang kudus dan menutupnya dengan doa kepada Perawan Maria.
Dalam tulisan ini saya hendak mendalami isi ajarannya dan relevansinya bagi  umat beriman Kristiani dalam konteks Gereja di Indonesia. Oleh karena dalam tulisan ini pertama-tama saya menyajikan latar belakang singkat mengenai ditulisnya ensiklik DCE. Selanjutnya mengenai ringkasan isi ensiklik secara keseluruhan. Pada bagian akhir akan dipaparkan secara singkat mengenai relevansi ensiklik DCE  dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia.


A.                 Latar Belakang Penulisan Ensiklik DCE
Ensiklik DCE  (Allah adalah Kasih yang dikutip dari 1 Yoh.4: 8) dan diterbitkan dalam 8 bahasa ini[3] tentu di luar dugaan para pengamat. Situasi Eropa yang makin tidak ber-Tuhan, adanya kelompok homoseksualitas atau kelompok pro aborsi atau sekularisme dikira oleh banyak kalangan bahwa paus berkebangsaan Jerman itu akan menulis ensiklik yang berbicara khusus mengenai masyarqkat Eropa.  Ternyata tidak. Lewat ensiklik dalam 42 alinea ini Paus Benediktus XVI justru berbicara tentang cinta.
Tentang caritas (kasih), dokumen menerangkan bahwa kasih bersifat universal dan terwujud dalam bentuk yang konkrit. Sifat universal dari kasih dalam pelbagai bentuk konkrit yang kita temukan dalam perjalanan sejarah, diperlukan untuk menampilkan gambaran Allah dan manusia. Hal ini penting untuk menghindarkan manusia jatuh dalam godaan fanatisme bahkan terorisme.  
Pertanyaan bagi kita adalah mengapa Paus Benediktus  XVI menulis ensiklik pertama dalam tema besar cinta? apa tujuannya? Kedua pertanyaan ini menjadi titik berangkat untuk mengerti secara singkat mengenai latar belakang penulisan ensiklik dari Paus berkebangsaan Jerman ini.  Dalam penelusuran kepustakaan, kami menemukan beberapa alasan berikut.

1)                  Demi Perdamian dunia
Paus Benediktus  XVI dalam suatu momen audiensi umum, mengatakan bahwa walaupun topik DCE tidak secara langsung berbicara mengenai ekumene,  namun latar belakang dan framework-nya adalah ekumenis sebab Allah dan cinta kita adalah syarat atau kondisi bagi perdamian dunia. Melalui ensiklik itu, Benediktus  ingin mengemukakan dan menunjukkan konsep cinta dalam dimensinya yang berbeda. Eros   yang adalah karunia cinta antara pria dan wanita berasal dari sumber yang sama, yakni dari  Allah sang Pencipta. Eros   ditransformasikan ke dalam agape dalam ukuran di mana antara pria dan wanita sunguh-sungguh saling mencintai satu terhadap yang lain tanpa mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi yang terpenting adalah demi kebaikan bagi orang lain. Dalam cara ini, eros   ditransformasikan dalam charity atau cinta kasih, dalam jalan pemurnian yang lebih mendalam. Dari satu keluarga, seseorang terbuka untuk membangun suatu keluarga yang lebih luas dalam masyarakat, keluarga dalam Gereja, dan keluarga dalam dunia.
  Bagi Paus Benediktus XVI, tindakan manusia yang secara total mencintai berasal dari Allah. Itulah tindakan khas cinta. Cinta yang sama  harus diekspresikan dalam gereja (be expressed as an ecclesial), organizational act. Jika Gereja adalah ekspresi cinta Tuhan, cinta Tuhan kepada manusia ciptaan-Nya, maka haruslah juga tindakan fundamental  iman yang menciptakan dan menyatukan Gereja serta memberikan kepada kita harapan akan kehidupan kekal dan kehadiran Allah di dunia yang melahirkan sebuah tindakan eklesial. Dengan kata lain, Gereja sebagai sebuah komunitas harus mencintai dalam perilaku institusional (an institutional manner). Cinta demikian bukan hanya sekedar organisasi belaka sebagaimana organisasi-organisasi philanthropic, tetapi menjadi ekpresi yang mutlak dari tindakan cinta yang mendalam terhadap  Tuhan yang telah menciptakan kita.[4]


2)                      Menjernihkan Pemahaman mengenai Kasih
Dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Komisi Kepausan “Cor Unum” pada tanggal 23 Januari 2016 dalam tema “"But the Greatest of These Is Love”, Paus Benediktus  XVI menjelaskan alasan mengapa tema kasih diangkat dalam ensiklik pertamanya. Dia berkata:

Today the word “love” is so tarnished, so spoiled and so abused, that one is almost afraid to pronounce it with one's lips.  And yet it is a primordial word, expression of the primordial reality; we cannot simply abandon it, we must take it up again, purify it and give back to it its original splendor so that it might illuminate our life and lead it on the right path.This awareness led me to choose love as the theme of my first encyclical. [5]
Dari kata-kata Paus Benediktus XVI di atas tampak bahwa menurutnya kata kasih sering dipakai dan disalahartikan. Misalnya  Anders Nygren dalam tahun  1930 dan  1936 menerbitkan buku dalam dua volume mengenai Eros   dan Agape. Nygren berpendapat eros   didasarkan pada keinginan (needs-based and desire-based, egocentric and acquisitive love). Dengan kata lain  manusia mencintai Tuhan dan sesama didasarkan pada self-interest demi mendapatkannya. Sebaliknya Agape adalah cinta dengn karakter unconditional, theocentric, self-giving, self-sacrificial. Dengan kata lain cinta demikian menolak keinginan untuk self-gain and interest. [6] Bagi Paus Benediktus XVI cinta eros   dan agape saling melengkapi. Lewat ensiklik ini Paus Benediktus XVI menjelaskan bahwa pada dasarnya eros   (cinta erotik) dan agape (cinta spiritual) keduanya  adalah baik. Meski demikian, eros   mengandung resiko direndahkan hingga menjadi seks saja bila tidak diimbangi unsur spiritual. Paus mengutip Nietzsche yang menuduh bahwa Gereja telah “meracuni” eros   (3). Justru eros   pada jaman sekarang telah teracuni karena telah direduksi sebagai seks murni dan telah menjadi komoditi, barang yang diperjual-belikan. Padahal, eros   yang sejati justru diarahkan untuk memurnikan dan mematangkan manusia.
Dengan demikian jelaslah bahwa pandangan Paus Benediktus XVI bahwa eros   pada dasarnya baik berlawanan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Anders Nygren. Bagi Anders Nygren agape itulah satu-satunya bentuk cinta-kasih Kristen yang sejati, dan bahwa eros   (suatu ungkapan dari hasrat individu) membawa kita jauh dari Allah.[7]
Tak heran walaupun dalam ensikliknya dia menjelaskan kasih dalam penghayatan menurut KS dan tradisi Gereja, namun dia juga memperhatikan tafsiran kata kasih dalam aneka budaya dan penggunaanya pada saat ini. Tujuannya adalah untuk memurnikan (purify)  dan menempatkannya dalam maknanya yang sebenarnya. Dengan demikian, kasih dapat menerangi peziarahan hidup manusia di dunia dan bisa diwujudkan dalam konteks memasukan cahaya Allah ke dalam dunia.

B.                     Isi Ringkasan Ensiklik DCE
Pada bagian awal dari dua bagian ensikliknya itu, Paus Benediktus XVI  menjelaskan mengenai kebenaran fundamental teologis menganai Allah yang adalah Kasih, juga mengenai hubungan antara cinta ilahi dan cinta manusia serta kemungkinan mencintai Tuhan dan sesama. Pada bagian kedua, Benediktus  mereferensi pada ajaran social Gereja dan mengelaborasikannya dalam cara yang inovatif sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulunya,Yohanes Paulus II
Pendekatan yang diambil oleh Paus Benediktus  XVI dalam ensiklik pertamanya ini mengandung tema-tema biblis, yakni Injil Yohanes dan Surat Pertama Rasul Yohanes; Kidung Agung, dan kitab Ulangan. Kata-kata kuncinya yakni eros  , agape, caritas, dan diakonia. Para Filsuf yang disebut dalam ensiklik yakni Plalto, Aristoteles, Descartes, Gassendi, Marx, dan Nietzche. Tema teologis yang digali adalah soal kristologi dan trinitas. Tak lupa pula Paus Benediktus  mendasarkan ensikliknya ini dalam bingkai spiritualitas yakni Kristianitas sebagai bentuk relasi personal dengan Yesus; monastisisme, pendakian spiritual, tangga Yakob. Begitu yang kurang lebih tampak dalam ensiklik DCE .
Dalam bagian isi tampak jelas struktur DCE . Saya coba meringkas isi ensiklik DCE  ini dalam struktur sebagai berikut:

I.            Pendahuluan/ Introduction [1]
Ensikli DCE  diawali dengan kutipan dari surat 1 Yoh 4: 16. Dalam kutipan tesebut tampak jelas memuat gambaran Kristiani tentang Allah dan juga gambaran manusia yang timbul dari padanya serta jalannya. Awal hidup sebagai orang Kristiani adalah pertemuan dengan suatu peristiwa, seorang pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah yang menentukan, pribadi kasih (Yoh 3: 16). Itulah pusat iman Kristiani dan dengan demikian pula menerima pusat iman Israel sebagaimana termuat dalam Kitab Ulangan 6: 4-5. Perintah kasih akan Allah dipadukan oleh Yesus (Mrk. 12: 29-31) dengan perintah kasih akan sesama dari kitab Imamat:” Kasihilah sesamu manusia seperti dirimu sendiri” (19: 18). Ini bukan lagi sekedar perintah melainkan jawaban atas anugerah dikasihi oleh Allah yang telah lebih dahulu mengasihi manusia (bdk. 1 Yoh. 4: 10).
Paus Benediktus XVI dalam bagian pendahuluan juga menyatakan bahwa pesan ini sangat mengena dan aktual dengan dunia yang kadang-kadang mengakaitkan nama Allah dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan.  Di dalam ensikilik dibicarakan mengenai kasih yang dianugerakan Allah kepada manusia dan harus manusia teruskan kepada sesama. Ada dua bagian besar ensiklik ini. Bagian pertama bersifat spekulatif, yakni berbicara mengenai pokok hakiki misteri kasih. Bagian kedua lebih bersifat konkret; penerapan praksis gerejawi atas perintah kasih kepada sesama. Kedua poin penting ini dimaksudkan untuk membangkitkan di dunia kesegaran baru dan komitmen dalam menanggapi kasih Ilahi secara praksis.

II.            Part I Unity of Love [2-18]
Dalam bagian pertama beberapa pokok penting yang diangkat antara lain termuat dalam  poin-pon berikut:
¨      Differences and unity of true eros   and agape (2-4)
Kasih Allah adalah dasar kehidupan manusia. Namun demikian ada hambatan bahasa untuk memahasa kata kasih secara lebih utuh. Jika  berbicara mengenai kasih yang paling menonjol adalah kasih antara laki-laki dan perempuan.  Inilah yang menurut orang-orang Yunani disebut eros  . Kata ini dalam PL hanya dipakai dua kali dan dalam PB sama sekali tidak dipakai. Dalam perjanjian Baru kata yang paling sering disebut untuk merujuk kasih adalah agape. Kasih persahabatan (philia) hanya merujuk pada hubungan kasih persahabatan antara Yesus dan para murid-Nya sebagaimana diangkat dalam  Injil Yohanes. Unsur kebaruan dalam agama Kristen dengan tidak menyebut eros   dianggap negatif. Tidak heran Friedrich Nietzche melihat agama Kristiani telah meracuni eros  . Apakah agama Kristiani sungguh menghancurkan eros  ? Mari kita lihat dalam agama-agama sebelum Krstus. Dalam budaya Yunani dan budaya-budaya lain semula melihat kemabukan, pemudaran akal budi dari kesempitan hidupnya dan membuatnya merasakan kebahagiaan tertinggi dalam penguasaan oleh kekuatan ilahi itu. Dalam agama-agama sikap ini mengambil bentuk dalam upacara kesuburan, yang mencakup prostitusi suci di banyak kenisah. Demikian eros   dirayakan sebagai kuasa ilahi, sebagai persatuan dengan yang ilahi. PL secara tegas melawan agama semacam itu yang  melawan iman akan Allah yang esa. Ia tidak menolak eros   sebagai eros  , melainkan memerangi kekuataanya yang membinasakan. Eros   yang yang mabuk dan tanpa kendali bukanlah sebuah kemajuan, “ekstase” menuju keilahian, melainkan kejatuhan manusia. Nyatalah bahwa eros   membutuhkan pengendalian, pembersihan, untuk memberi kepada manusia bukan kebahagiaan sesaat, melainkan prarasa kehidupan yang tinggi-kebahagiaan yang kita rindukan.

¨Path of ascent as renunciation, purification, healing/ Jalan naik, pantang, pembersihan dan penyembuhan  [5-6]
Kekristenan tidak menolah eros  tetapi memulihkan keagungannya. Tantangan eros   bisa diatasi bila ada persatuan antara jiwa dan raga dalam seorang manusia. Hanya dengan demikian, eros   dapat berkembang menjadi matang dan agung. Tindakan memulihkan keagungan eros   dapat ditempuh melalui jalan naik, pantang, pembersiahn, dan penyembuhan. Secara konkret dapat dilihat dalam dilihat dalam Kidung Agung. Dalam kitab ini kata yang dipakai untuk kasih adalah dodim dan ahaba. Dodim merujuk pada kasih yang tak pasti, masih mencari.  Kata Dodim diganti dengan kata ahaba yang dalam terjemahan Yunani Perjanjian Lama disalin dengan kata yang bunyinya hampir sama dengan agape. Agape adalah kata pengenal untuk pemahaman alkitabiah kasih. Dalam agape tidak ada lagi ketidakpastian. Di dalamnya terungkap pengalaman menemukan sesama dan mengatasi unsur egoistis. Dengan demikian tidak lagi mencari bagi dirinya sendiri-tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan-melainkan apa yang baik bagi yang dikasihinya. Ia menjadi pantang, bersedia berkurban, dan menghendakinya.
Pertumbuhan kasih menghendaki keadaan definitif dalam dua arti: dalam arti eksklusivitas-“hanya ada satu orang ini”-dan dalam arti “untuk selamanya”. Kasih menghendaki keabadian teristimewa dalam penganugerahan diri. Melaluinya seseorang menemukan dirinya yang sejati dan bahkan sampai menemukan Allah. Sebagaimana Yesus melalui salib sampai pada kebangkitan. Yesus melukiskan hakikat kasih dan eksistensi manusia pada umumnya dari pusat kurban-Nya itu. Di dalamnya kasih menuntaskan dirinya.
¨      The unity of eros   and agape (7-8)
Eros   sering dilukiskan sebagai kasih duniawi dan agape sebagai ungakapan kasih yang berdasarkan iman dan diresapinya. Pembedaan ini sering dipertajam dan dipertentangkan. Yang Kristiani adalah kasih yang menurun dan memberi (agape), sedangkan yang bukan Kristiani teristimewa budaya Yunani adalah kasih menaik, yang mengingini (eros ). Sesungguhnya keduanya tak pernah dapat dipisahkan. Semakin keduanya tampil menyatu sewajarnya dalam dimensi berbeda dalam realitas kasih yang sama, maka semakin terwujud hakikt kasih sejati. Manusia tidak hidup dari kasih yang menurun saja, ia tak dapat selalu memberi, ia juga harus menerima. Barangsiapa mau menganugerahkan kasih, ia sendiri harus dianugerahi. Manusia bisa menjadi sumber jika ia sendiri selalu minum dari sumber asli yakni pada Yesus Kristus; dari hati-Nya yang terbuka mengalir kasih Allah sendiri (bdk. Yoh. 19: 34).

¨      Kebaruan iman Alkitabiah (9-11)
Kebaruan pertama adalah menganai gambaran tentang Allah. Gambaran Allah dalam budaya yang mengelilingi KS tidak jelas dan bertentangan. Dalam perkembangan iman alkitabiah, iman akan Allah semakin jelas dan pasti. Dalam Shema (lih. Ul 6:4) terlihat ada dua presisi yang tiada taranya untuk gambaran Allah yakni Allah merupakan satu-satunya Allah yang benar dan pencipta segala realitas. Dengan demikian ciptaan-Nya dikasihi karena dikehendaki-Nya. Kasih-Nya itu dapat disebut eros  , yang sekaligus seutuhnya adalah agape. Tak hanya karena dianugerahkan secara cuma-cuma sama sekali dan tampa jasa sebelumnya, tetapi juga karena karena kasih itu mengampuni.
Kebaruan berikutnya adalah mengenai gambaran tentang manusia. Hal ini bisa dilihat dalam kisah  penciptaan manusia pertama. Di dalamnya terkandung hal penting, di mana eros   berakar dalam hakikat manusia sendiri; Adam mencari dan “meninggalkan ayah dan ibu”, untuk mendapatkan perempuan; baru bersama-sama menjadi “satu daging”-sebuah ikatan unitif dan definitf. Perkawinan monogam sejalan dengan gambaran monoteistis tentang Allah. Perkawinan yang berdasarkan kasih eksklusif dan definitif menjadi lukisan hubungan Allah terhada umat-Nya dan sebalikinya: cara Allah mangasihi menjadi tolak ukur kasih insani.

¨      Jesus Christ as personification of divine love/ Yesus Kristus sebagai personifikasi cinta ilahi [12-15]
Dalam PB tampak bahwa Allah dalam Yesus Kristus mencari “domba yang hilang”, umat manusia yang menderita dan hilang. Perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus mengenai gembala yang mencari domba yang hilang, bapa yang menyambut anaknya yang hilang tidak lain adalah penjelasan tentang diri dan tindakan-Nya. Ia menganugerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia-kasih dalam bentuk yang paling radikal. Dengan kata lain dalam Yesus Kristus, yang adalah inkarnasi cinta Allah, “eros -agape” mencapai bentuknya yang paling radikal.
Dalam wafat-Nya di salib, Yesus memberikan diri-Nya sendiri untuk mengangkat dan menyelamatkan umat manusia, dan menyatakan cinta dalam bentuknya yang paling mulia. Yesus menjamin sebuah kehadiran yang abadi atas tindakan memberi diri melalui institusi ekaristi, yang ana melalui roti dan anggur, Dia memberikan diri-Nya sendiri sebagai mana baru yang mempersatukan manusia dengan diri-Nya. Dengan berpartisipasi dalam ekarisiti,  manusia juga tercakup dalam dinamika tindakan memberi diri-Nya.  Manusia menyatukan dirinya sendiri dengan Yesus, dan pada saat yang sama menyatukan dirinya dengan orang lain. Dengan demikian manusia menjadi “sebuah tubuh tunggal”. Dalam cara ini, cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama sungguh-sungguh menyatu bersama, sehingga perjumpaan dengan “agape” Allah tidak lagi hanya sekedar sebuah tuntutan: cinta dapat diperintahkan, karena telah diberikan kepada kita. Kasih akan Allah dan sesama terlebur; dalam saudara yang paling hina kita menjumpai Yesus sendiri dan dalam Yesus kita menjumpai Allah.
¨      Kasih akan Allah dan Sesama (16-18)
Dapatkah kita mengasihi Allah yang tidak kita lihat? Dapatkah kasih diperintahkan? Ada keterkaitan mendalam antara kasih akan Allah dan kasih kepada sesama. Keduanya merupakan kesatuan sedemikian rupa, sehingga mengatakan mengasihi Allah tetapi menutup dirinya kepada sesama atau bahkan memencinya menjadi dusta. Kasih kepada sesama juga adalah jalan menjumpai Allah, dan memalingkan diri dari sesama juga membuat buta terhadap Allah. Walaupun Allah tidak pernah dapat dilihat, bukan berarti tidak dapat terjangkau. Allah mengasihi secara kelihatan dalam diri Yesus Kristus (bdk. 1 Yoh. 4: 9). Dalam sejarah Gereja selanjutnya Tuhan tetap hadir  setiap kali Dia menghampiri kita melalui orang-orang yang memancarkan kehadiran-Nya, oleh Sabda, dalam sakramen-sakramen, terutama dalam ekaristi.
Kasih bukan hanya perasaan. Kasih yang matang melibatkan semua kekuatan manusia, mengintegrasikan manusia dalam keseluruhannya. Perjumpaan dengan kasih Allah membuat kita gembira yang di dalamnya kehendak dan akal budi kita dilibatkan. Kasih tak pernah selesai dan tuntas; kasih berubah melalui perjalanan hidup, menjadi matang dan justru karena itu tetap setia pada dirinya sendiri. Dengan demikian kasih kepada sesama menjadi mungkin. Dalam hal ini melihat orang lain dalam prespektif Yesus Kristus. Sahabat-Nya adalah sabahatku. Beata Teresa dari Kalkuta selalu menimba  lagi kemampuan untuk mengasihi sesama dari pertemuan dengan Tuhan ekaristis, dan sebaliknya perjumpaan itu mendapatkan realisme dan kedalamannya dari perlayanan kepada sesama. Sehingga kasih kepada Allah dan sesama tak terpisahkan.

III.            Part II Caritas Practice of Love/ Caritas, Pelayanan Kasih Gereja Sebagai “Persekutuan Kasih” [19-39]
Pada bagian kedua ini tampak beberapa nomor yang menggarisbawahi mengenai pelayanan kasih gereja. Beberapa poin yang diangkat dalam bagian kedua ini tampak sebagai berikut:

¨   Caritas has always been part of the Church’s ministry, as much as the Word, and  liturgy, since both flow from the Trinity.
Cinta kepada sesama berakar dalam cinta kepada Allah pertama-tama adalah tugas setiap orang beriman, juga tugas seluruh persekutuan gerejawi, partikular dan universal. (DCE  20). Tindakan kasih baik yang dilakukan oleh umat beriman maupun dalalm konteks pelayanan kasih gereja berakar dalam cinta trinitaris. Idealnya adalah “bila engkau melihat kasih, engkau melihat Tritunggal Mahakudus”, sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus (DCE  19). Pelayanan kasih Gereja disadari sebagai hal esensial sejak awal (DCE  21). Misalnya telah tampak dalam tokoh-tokoh kuno pelayanan kasih Gereja. Salah satunya adalah Laurentius yang sampai saat ini dikenang sebagai pengemban besar kasih gereja. Dia membagikan sarana yang tersedia kepada kaum miskin dan menunjukkan mereka kepada para panguasa sebagai kekayaan sejati Gereja. (DC 23). Seiring perkembangan gereja yang semakin meluas dalam pelayanan kasih,  Caritas sebagai sektor hakiki Gereja bersama dengan pengelolahan sakramen-sakramen dan pewartaan sabda dibakukan (DCE  22). Pelayanan kasih yang  teroganisir dengan baik dalam Gereja kuno bahkan menginsipirasi Kaisar Yulian Sang Pemurtad. Baginya hal yang paling mengesankan dalam agama Kristiani adalah pelayanan kasih Gereja dan ini menjadi ciri khasnya. Sehingga tidak heran ia berusaha menyaingi karya kasih Gereja dengan karya serupa dalam  agama kekafirannya (DCE  24).
Sampai pada tahap ini kita melihat dua unsur hakiki dalam karya kasih sebagaimana termuat dalam DC 25. Pertama, hakikat gereja terungkap dalam tiga tugas yakni pewartaan Sabda (Kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leiturgia), dan pelayanan kasih (diakonia). Ketiganya berkaitan erat. Secara khusus pelayanan kasih gerejawi adalah ungkapan jati dirinya yang perlu. Kedua, Gereja adalah keluarga Allah di dunia yang di dalamnya tidak boleh ada yang menderita kekurangan. Sehingga dalam Gereja sendiri sebagai keluarga, tak ada anggotanya yang boleh menderita kekurangan (bdk Gal. 6: 10). Caritas-Agape juga melampaui batas-batas Gereja, sebagaimana perumpamaan tentang Orang Samraia yang murah hati (bdk. Luk. 10: 3).
¨Relationship between justice and charity/  relasi antara keadilan dan cinta kasih
Karya pelayanan kasih Gereja sejak abad ke-19 menurut pemikiran Marxistis menjadi ancaman bagi penegakan keadilan. Yang dibutukan orang misikin  bukan pelayanan kasih tetapi keadilan, demikian keyakinan dasar dalam pemikiran Marxistis. Argumentasi ini menurut Paus Benediktus  XVI juga mengandung kebenaran, tetapi banyak yang salah. Gereja sudah berulang kali menekankan pentingnya keadilan dalam tatanan masyarakat. Negara adalah pelaku utamanya. (DCE  26). Pembangunan struktur yang adil bukan tugas langsung Gereja, melainkan tatanan politik. Gereja memberi sumbangan tak langsung berupa memurnikan akal budi dan membangkitkan kekuatan moral yang perlu untuk membangun struktur yang adil. Tugas langsung menghasilkan tatanan adil dalam masyarakat merupakan tugas kaum beriman awam. Mereka dipanggil untuk menata hidup bermasyarakat secara baik sesuai dengan kompetensi masing-masing. Kasih perlulah menjiwai seluruh hidup kaum beriman awam juga dalam tindakan politik mereka  (DCE  29).
Hubungan antara pelayanan kasih dan keadilan perlulah memperhatikan hal pokok ini: [8]
ü  Tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang lai merupakan tugas sentral politik. Negara yang tidak perintah dengan keadilan, adalah gerombolan besar perampok, seperti kata Agustinus “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia.” Negara tidak boleh memerintah agama, melainkan harus menjamin kebebasan dan kerukunan antara pemeluk agama. Keadilan adalah tujuan dan tolak ukur segala politik. Politik tidak  hanya teknik penataan ruang publik.  Asal dan tujuannya ialah keadilan dan bersifat etis. Ini berkaitan dengan akal budi praktis. Sehingga akal budi harus terus menerus dimurnikan. Sehingga politik dan iman bersentuhan. Iman pada hakikatnya adalah pertemuan dengan Allah yang hidup yang membuka cakrawala baru dan sebagai daya pemurnian bagi akal budi sendiri. Iman memungkinkan akal  budi melakukan karyanya dengan lebih baik dan melihat ciri khasnya dengan lebih baik. Tempat penampilan ajaran sosial gereja katolik ada di bagian ini. Iman tidak bermaksud memberi kuasa gereja atas  negara. Gereja memberi sumbangan untuk memurnikan akal budi dan membantu agar apa yang sekarang dan di sini diakui benar, dan dapat diwujudkan. Ajaran Sosial Gereja beragumentasi berdasarkan akal budi dan hukum kodrati, artinya dari apa yang hakiki bagi semua orang. Bukanlah tugas gereja untuk secara politis mewujudkan sendiri ajaran itu. Gereja mau mengabdi pembentukan hati nurani dalam politik dan membantu agar keterbukaan bagi tuntutan sejati atas keadilan berkembang dan sekaligus juga kesediaan bertindak menurutnya, meskipun bertentangan dengan kepentingan yang meluas. Singkatnya, Gereja mempunyai kewajiban dengan caranya sendiri dengan pemurnian akal budi dan pementukan etis memberikan sumbangannya, agar tuntutan keadilan menjadi muda dipahami dan diwujudkan secara politis. Gereja  tidak dapat dan tidak boleh merampas perjuangan politis, untuk mewujudkan masyarakat yang adil. Gereja tidak menggantikan negara. Namun dalam menggumuli keadilan, gereja tidak boleh acuh tak acuh.
ü  Kasih-caritas-selalu perlu, juga dalam masyarkat yang paling adil. Tatanan negara yang adil tidak menjamin pelayanan kasih yang berlebihan. Menghapus kasih berarti menghapus manusia sebagai manusia. Nyatanya selalu ada penderitaan dan kesepian serta kekurangan sarana jasmani. Semuanya itu membutuhkan pelayanan kasih. Yang diperlukan bukanlah negara yang mengatur dan menguasai segalanya, melainkan yang menurut subsidiaritas dengan murah hati mengakui dan mendukung prakarsa yang muncul dari pelbagai kekuatan masyarakat. Pandangan bahwa struktur sosial yang adil membuat pelayanan kasih berlebihan mengandung gambaran materialistis tentang manusia: ketakhayulan bahwa manusia  hidup “hanya dari roti” (Mat. 4: 4; bdk. Ul 8: 3). Keyakinan itu merendahkan manusia dan mengingkari apa yang justru khas manusia.

¨      The distinctiveness of Christian charity [31]
Tak dapat dipungkiri bahwa dunia  saat ini yang juga diwarnai dengan proses globalisasi timbul dan tumbuh bentuk kerja sama antara instansi negara dan gerejawi dalam pelayanan karitatif. Di dalam Gereja Katolik dan dalam Gereja-Gereja lain timbul juga bentuk pelayanan karitatif dan sudah berkembang dengan kekuatan baru yang seringkali merupakan perpaduan yang berhasil antara evangelisasi dan pelayanan kasih. Gereja Katolik dalam hal ini bersedia bekerja sama dengan organisasi karitatif Gereja-Gereja dan persekuatuan-persekutuan atas alasan dan tujuan yang sama yakni humanisme sejati, yang mengakui manusia sebagai citra Allah untuk pengembanan dunia menjadi lebih baik. (DCE  30).
Menjamurnya berbagai praktek pelayanan karitatif didorong oleh imperatif kasih akan sesama yang ditanam sang Pencipta dalam kodrat manusia. Di samping itu karena dampak kehadiran agama Kristen di dunia yang dalam sejarah berulang-ulang membangkitkan dan mewujudkan imperatif ini. Dalam  pelayanan  karitatif perlulah semacam rambu-rambu agar pelayanan kasih bisa dijalankan secara baik. Dalam DCE  31 Paus Benediktus  XVI secara spesifik unsur-unsur konstitutif yang merupakan hakikat pelayanan kasih Kristiani dan gerejawi, yakni:
ü  Pelayanan kasih Kristiani merupakan jawaban atas kebutuhan segera dan situasi khusus sebagaimana dalam perumpamaan seorang Samaria yang murah hati. Oleh karena itu organisasi karitatif Gerejawi (di tingkat diosesan, nasional, dan internasional) melakukan hal yang sama teristimewa kepada yang menderita. Mereka yang terlibat di dalamnya perlu memiliki kompetensi profesional lewat pendidikan sedemikian rupa. Di samping itu mereka perlu memiliki semangat melayani dengan hati demi kemanusiaan. Sehingga perlulah pembentukan  hati sehingga pelayanan mereka bukan karena desakan atau dorang dari pihak luar tetapi karena atas spirit membuka hati  bagi sesama dalam terang iman.
ü  Di samping itu tindakan kasih harus bebas dari partai dan ideologi. Pelayanan kasih Gereja tidak mengabdi strategi dunia tetapi merupakan sarana penghadiran kasih yang selalu dibutuhkan manusia.
ü  Kasih akan sesama juga tidak boleh menjadi alat untuk proselitisme. Kasih dalam pelayanan Gereja bukan untuk mencapai  tujuan lain. Barangsiapa melayani kasih atas nama Gereja, tidak pernah akan mencoba memaksa iman Gereja kepada orang lain.
¨Proper attitude of Christian engaged in charity: humility [35]
Gereja partikular segogyanya mengemban tugas pelayanan kasih. Uskup mengkoordinir aneka karya kerasulan di dalam keuskupan sebagaimana termuat dalam Kitab Hukum Kanonik nomor 394.  Dalam Direktorium Pelayanan Pastoral Uskup secara konkret mengambangkan pelayanan  karitatif sebagai tugas hakiki Gereja sebagai keseluruhan dan tugas uskup di keuskupannya (DCE  32). Rekan kerja dalam karya kasih kepada sesama dalam Gereja tidak mengacu pada ideologi tertentu. Mereka perlu disemangati oleh kasih Kristus sendiri. Motivasi partisipasi mereka dalam perbuatan kasih adalah menjadi saksi Allah dan Kristus (DCE  33).
Profil khas pelayanan kasih dalam Gereja juga perlu tetap diperhatikan. Madah kasih St Paulus dalam 1 Kor 13: 3 perlu menjadi Magna Charta segala pelayanan Gereja:” Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.”  Kegiatan praktis tetap kurang bila di dalamnya tidak dirasakan kasih kepada sesama, yang dipupuk dalam perjumpaan dengan Kristus (DCE  34).
Di samping itu hal yang tidak boleh dilupakan adalah semangat kerendahan hati dalam melayani dengan tidak menempatkan diri dalam posisi lebih tinggi terhadap orang yang dilayani. Peristiwa Salib Yesus menjadi contoh yang jelas dalam semangat kerendahan hati. Semakin seorang membantu orang lain, ia semakin mengerti Sabda Kristus dalam Luk 17: 10 :” Kami ini hamba yang tidak berguna”. Orang yang membantu adalah alat di tangan Tuhan sehingga bebas dari kesombongan. Allah-lah yang memerintah dunia bukan manusia. Manusia hanya mengabdi seauh bisa dan Allah-lah yang memberikan kekuatan untuk semuanya itu. (DCE  35).
¨      The Spirit of Prayer  (36-39)
Pelayanan kasih perlu selalu dijiwai oleh semangat doa sebagaimana telah ditunjukkan oleh Beata Teresa dari Kaluta (DCE  36). [9] Orang Kristen yang berdoa tentu tidak mengkhayal, mengubah rencana Allah, atau memperbaiki apa yang direncanakan Allah. Doa sejati adalah bertemu dengan Bapa Yesus Kristus dan memohon agar Ia hadir dengan penghiburan Roh-Nya dalam dirinya dan dalam karyanya. Dengan demikian terhindar dari jerat ajaran fanatik dan teroristis. (DCE  37). Walaupun berada dalam kompleksitas dramatis peristiwa-peristiwa sejarah, orang Kristiani sejati tetap teguh dalam pengharapan, bahwa Allah adalah Bapa dan mengasihi kita, juga bila sikap diam-Nya tak kita mengerti (DCE  38).
Iman, harapan, dan kasih merupakan kesatuan. Pengharapan terungkap dalam keutamaan kesabaran, yang walaupun tak berhasil tetap tekun dalam kebaikan dan dalam keutamaan kerendahan hati. Iman menunjukan kepada kita bahwa Allah adalah Kasih sebagaimana telah Dia tunjukkan lewat penyerahan Putra-Nya. Allah mengubah ketidaksabaran dan keraguan kita dalam pengharapan bahwa bahwa dunia ada di dalam tangan-Nya dan Dia menang dalam kemuliaan. Iman kepada Allah menciptakan kasih. Kasih adalah cahaya-pada akhirnya satu-satunya-yang setiap kali menerangi dunia yang gelap dan memberi kepada kita keberanian untuk tetap hidup dan bertindak. Kasih bisa kita laksanakan karena kita diciptakan seturut citra Allah. Mewujudkan kasih dan dengan demikian memasukan cahaya Allah  ke dalam dunia  (DCE  39)
¨      Conclusion: importance of saints and Mary (41-42)
Para  orang kudus adalah contoh atau teladan dalam mewujudkan kasih. Seperti yang tampak dalam diri Martinus dari Tours († 397). Dia adalah seorang serdadu yang kemudian menjadi rahib dan uskup. Selain itu St. Antonius Abas († 356) yang merasakan tuntutan mendesak untuk mengubah seluruh hidupnya menjadi pelayanan Allah dan sesama. Sosok orang kudus seperti Fransiskus dari Asisi, Ignatius Loyola, Yohanes dari Allah,  Kamilus dari Lellis, Vincent de Paul, Louise de Marillac, Guiseppe B. Cottolengo, Yohanes Bosco, Luigi Orione, dan Teresa dari Kalkuta dan yang lainnya adalah teladan terkenal atas kegiatan kasih sosial  bagi semua orang yang berkendak baik.  Mereka adalah pembawa cahaya dalam sejarah karena mereka adalah orang beriman, berpengharapan, dan kasih. (DCE  40)
Di antara semua orang kudus, Maria Bunda Yesus adalah cermin segala kekudusan yang paling utama. Ia menjalankan kasih  kepada Elisabet pada masa kehamilannya (Luk. 1: 56). Maria tidak menempatkan diri sendiri sebagai pusat, tetapi memberi tempat bagi Allah yang dijumpainya dalam doa dan dalam pelayanan kepada sesama yang tampak sekali dalam kata-katanya:”Jiwaku mengagungkan Tuhan” (Luk. 1: 46). Maria dengan demikian rendah hati dan menjadi hamba Allah. Ia adalah manusia yang berharap karena Ia percaya akan janji Allah (Bdk. Luk. 1: 45). Ia begitu dekat dengan Sabda Allah. Ia berpikir dan berkendah dengan pikiran dan kehendak Allah dan menjadi manusia yang mengasihi. (DCE  41)
Dalam para kudus menjadi nyata bahwa barangsiapa pergi kepada Allah, tidak menjauhi manusia, melainkan justru semakin mendekatinya. Hal ini jelas tampak dalam diri Maria. Maria menunjukkan kepada kita apa arti kasih dan dari mana ia menimba asal-usulnya, serta kekuatannya yang selalu dibarui. Kepadanya kita mempercayakan Gereja, perutusan dalam pelayanan kasih (DCE  42).

C.                 Catatan Kritis atas Ensiklik DCE
Bagi saya menarik sekali ensiklik pertama dari paus yang dikenal sebagai pembela iman katolik the enforcer’ of orthodox Catholicism ini. Dalam ensiklik pertamanya itu Paus Benediktus XVI  justru menegaskan agar umat Kristiani menjauhkan diri dari semangat proselitisme dalam pelayanan cinta kasih (DCE  31). Di samping itu, Paus yang dikenal sebagai tokoh antagonist bagi negara Amerika dan Eropa Barat, lewat ensikliknya mengakui pentingnya karya bagi keadilan sebagai bagian dari negara. Paus juga menekankan bahwa tugas untuk menciptakan masyarakat yang adil pertama-tama merupakan tugas negara, bukan Gereja. “Sebagai tugas politik, hal tersebut tidak bisa menjadi tanggung-jawab langsung Gereja”, paparnya. Gereja tidak mempunyai peranan langsung dalam kehidupan politik. Kendati demikian, gereja ingin dilibatkan dalam kehidupan politik dengan membantu membentuk kesadaran dalam kehidupan berpolitik serta mendorong terwujudnya keadilan yang otentik (26.28.29).
Walaupun Paus Benediktus XVI tidak pernah bermaksud menulis ensikliknya sebagai ajaran sosial gereja, namun dia menjelaskan dengan sangat baik mengenai hubungan antara Gereja dan Negara. Dia juga menjelaskan dengan sangat baik mengenai kontribusi Gereja bagi keteraturan sosial serta menjelaskan karakter cinta kasih Gereja yang membedakan dengan cinta kasih filantropi dan bantuan social lainnya, serta menjelaskannya sebagai khas Kristiani (identifiably Christian). Dia juga menjelaskan mengenai usaha Gereja bagi Negara dalam rangka menciptakan keadilan, walaupun Gereja tidak sama sekali menggantikan peran Negara dalam usaha untuk itu. Melalui ajaran sosialnya, gereja membantu Negara untuk memurnikan pemahaman mengenai keadilan.
Ensiklik ini bagi saya juga dirancang untuk membuka dialog dengan negara-negara dalam bidang keadilan dan cinta kasih. Sebagai contoh budaya kematian adalah bagian yang mesti ditangani oleh kerja sama antara Gereja dan Negara dalam organisasi-organisasi sukarela yang bekerja untuk mengurangi penggunaan obat-obatan terlarang di antara kaum muda (DCE  30).
Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya ini menolak kritik Marxisme yang menuduh tindakan pelayanan gereja sebagai penghambat pembangunan dunia yang lebih baik karena melanggengkan status quo (26). Menurut Paus, Marxisme adalah pandangan filsafat tak manusiawi karena demi perubahan struktural jangka panjang ia mengorbankan manusia konkrit yang menderita saat ini. Justru tindakan kasih, yaitu pelayan konkret dan langsung (seperti tindakan orang Samaria yang baik hati), mengarah pada pembangunan dunia yang lebih baik dan manusiawi.

Menarik bahwa pada bagian penutup ensikliknya Paus Benediktus menyebut beberapa orang kudus yang bisa dijadikan contoh dalam mewujudkan kasih. Sayangnya nama-nama orang kudus tersebut disebutkan begitu saja tanpa dijelaskan sedikit menganai karya kasih yang telah mereka jalankan. Bagi saya penjelasan tambahan sangat penting karena tidak semua umat Katolik mengenal secara mendalam nama-nama orang kudus yang disebutkan.
Secara pribadi saya tertarik dengan salah satu tokoh yang disebutkan oleh Paus Benediktus XVI dalam DCE  40 yakni St. Fransiskus Assisi yang tidak dijelaskan oleh Paus Benediktus dalam ensikliknya itu.  Dalam kenyataannya St. Fransiskus Assisi bukanlah seorang yang jenius (depth learning).  Namun demikian Santo yang menamakan dirinya saudara dina Fransiskus ini begitu dikagumi oleh banyak orang. Sampai dengan saat ini para pengikutnya tersebar di seantero planet bumi ini. Mereka dikenal dengan sebutan Para Saudara Dina (Friars Minor).[10] Banyaknya pengikut St. Fransiskus Assisi adalah bukti bahwa spiritualitas hidupnya sangat mempengaruhi begitu banyak orang. Dengan kata lain tentu hal yang membuatnya dikagumi adalah kehidupan spiritualnya/kehidupan mistiknya bersama Allah dan juga semngat cinta kepada Tuhan dan sesama. Fransiskus tidak segan-segan mencium dan menolong penderita kusta. Dia begitu mudah tergerak  hati untuk membantu yang sakit. Sesudah pengalamanya dengan orang kusta, Fransiskus mengakui bahwa mengikuti Yesus berarti melayani umat manusia. Dia berkhotbah di jalan-jalan, mencoba meneguhakan orang miskin dan yang tak dihargai dengan harapan dan keberanian. Kekuatan paradoksal dari pesan Fransiskus adalah pelayanan kesalingan. Maksudnya dengan melayani orang lain, dia ditobatkan. Dengan melayani orang lain, seorang pelayan ditobatkan.[11] Semangat pelayanan Fransiskus bersumber dari kedalaman spiritualnya. Dia begitu intim menjalin relasi dengan Kristus. Kedalaman relasi dengan Kristus menumbuhkan kedalaman relasi dengan sesamanya. (The deeper he grew in relationship with Christ, the deeper he grew in relationship with others). [12]
D.                Relevansi Ensiklik DCE

1.1           Gereja Katolik di Indonesia Harus Terlibat dalam Proses Penegakkan Keadilan
            Ketidakadilan ekonomi di Indonesia  sangat nampak. Hal ini tentunya melahirkan kepincangan ekonomi yang luar biasa. Keadaan demikian seharusnya tidak boleh dibiarkan karena sangat berbahaya dan merupakan “bom waktu” yang berpotensi melahirkan revolusi sosial. Oleh karena itu keadilan ekonomi mutlak diperluhkan. Selain itu harus ditumbuhkan kemauan, semangat dan komitmen bersama untuk memecahkan masalah ketidak-adilan ekonomi yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Bagaimana peranan Gereja dalam upaya penegakan keadilan di Indonesia? DCE secara khusus nomor 28 memberikan inspirasi kepada pimpinanan Gereja Katolik di Indonesia agar tidak acuh tak acuh dengan keadaan tetapi turut terlibat dalam usaha menegakan keadilan. Gereja berperan dalam pemurnian akal budi praktis. Gereja Katolik Indonesia perlu mengabdi bagi pembentukan hatinurani dalam politik dan membantu, agar keterbukaan bagi tuntutan sejati atas keadilan berkembang dan sekaligus juga kesediaan bertindak menurutnya. Gereja Katolik Indonesia juga harus membangkitkan kekuatan jiwa yang perlu agar keadilan yang menuntut pengurbanan diwujudkan.  
               
1.2          Menuntun Keluarga Kristiani untuk Menegakan Moralitas
Saat ini banyak orang memiliki persepsi yang kabur atas tubuhnya dan tubuh orang lain. Tidak heran kenyataan demikian menuntun manusia pada dekadensi moral yang begitu hebat. Salah satu indikasi adalah adanya prinsip atau filosofi hidup yang salah kaprah mengenai tubuh manusia. Atas nama kebebasan, manusia zaman ini misalnya memegang filosofi “I can do what I want with my body.Dengan filosofi demikian kita menyaksikan semakin menjamurnya praktek eksploitasi terhadap tubuh. Bentuk yang paling nyata adalah pornografi, jaringan bisnis seks dan lain-lain yang juga sudah menjamur dalam kalangan keluarga-keluarga Kristiani di Indonesia. Kita bisa menambahkan sendiri sesuai dengan pengamatan kita masing-masing.
Pada saat ini arus salah kaprah dalam melihat tubuh manusia juga merasuki pasangan suami-istri Kristiani. Tak jarang tubuh pasangan dilihat sebagai obyek pemuasan, misalnya adanya persepsi yang keliru dalam hubungan seks antara suami dan istri. Istri atau suami dijadikan obyek kepuasan dan kesenangan pribadi. De facto kita juga menjumpai semakin banyak orang yang kumpul kebo. Anak-anak dalam keluarga Kristiani pun memiliki krisis yang sama. Apalagi diperparah dengan adanya krisis panutan dari orang tua mereka masing-masing. Misalnya adanya hubungan seks sebelum nikah. Bagi mereka free-sex adalah bagian dari masa pacaran. Tidak lengkap kalau berpacaran tanpa hubungan seks. Efek dari free-sex adalah tindakan aborsi. Hal-hal tersebut merupakan persoalan moral yang dipandang sebelah mata. Kelihatan biasa tetapi sebenarnya bertentangan dengan yang dikehendaki oleh Allah.
Kenyataan persoalan moral demikian dalam pandangan Paus Benediktus XVI, teristimewa dalam DCE  tidak lain adalah karena eros   yang tidak dikendakalikan dan hanya mencari kenikmatan sesaat (bdk. DCE  4). Paus Benediktus XVI dalam  bagian pertama ensiklik DCE  secara khusus pada nomor 5 mengatakan bahwa eros   yang dilecehkan menjadi “seks” menjadi barang, benda saja. Sikap demikian bukanlah kebebasan melainkan kesewenangan dan pelecehan dan memeros  tan sebagai hal biologis semata. Oleh karena itu, perlulah jalan naik, pantang, pembersihan, dan penyembuhan.
Menarik bahwa dalam DCE , Paus  Benediktus XVI menyatakan bahwa pandangan tentang cinta dalam pandangan Kristiani tidak lantas menolak eros   dan semua hal yang berkaitan dengan kebertubuhan. Eros   ditempatkan dalam kodrat manusia oleh sang Pencipta. Di dalamnya perlu disiplin, pemurnian, dan kedewasaan sehingga tidak kehilangan martabat dan hakikat asalinya dan tidak saja direndahkan hanya pada level seks atau hanya sekedar komoditi kepuasan (not be degraded to the level of being pure "sex," becoming a mere commodity).  Iman Kristiani selalu memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri roh dan tubuh yang saling berhubungan. Oleh karena itu menurut Paus Benediktus XVI, masalah eros   akan diatasi jika tubuh dan roh manusia berada dalam kesempurnaan harmoni (man's body and soul are in perfect harmony). Dengan demikian cinta sungguh-sungguh menjadi “ekstasi”-ekstasi bukan dalam konteks momen euforia, tetapi sebuah keadaan permanen dari “aku” dalam kebebebasan dalam memberikan diri sendiri, yang juga melaluinya seseorang menemukan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya menemukan Tuhan. Dalam cara ini, “eros  ” dapat mengangkat manusia “dalam ekstasi” menuju yang ilahi. Pada akhirnya, yang perlu adalah  bahwa “eros  ” dan “agape” tidak pernah akan lengkap jika terpisah satu dengan yang lainnya; sungguh jika semakin besar keduanya berada dalam titik keseimbangan, cinta sejati bisa direalisasikan. Walaupun toh, pada awalnya “eros  ” merupakan keinginan dalam mendekati orang lain, pada akhrinya mampu keluar dari diri orang lain yang dijumpai.  Dengan demikian, yang satu menjadi bagian yang lain dan momen “agape” bisa dicapai. Dalam konteks masalah-masalah moral dalam rumah tangga seperti kumpul keboh dan perselingkuhan, bagi saya DCE  relevan untuk keluarga-keluarga Kristiani agar bisa memandang aspek kebertubuhan secara benar. Seksualitas diberikan Allah bukan supaya manusia bisa mencari kenikmatan seksual sebesar mungkin bagi dirinya sendiri, tetapi dimaksudkan Allah sebagai pernyataan cinta altruistis, yakni saling melengkapi dan menyempurnakan dalam perkawinan monogami yang sejalan dengan gambaran monoteistis tentang Allah (bdk. DCE  11).
Berdasarkan ulasan di atas tampak bahwa pemikiran  Paus Benediktus XVI dalam ensiklik pertamanya memberi inspirasi kepada keluarga-keluarga Kristiani untuk menghargai martabat manusia atau menegakan moralitas dalam kehidupan berkeluarga. Di dalamnya terkandung pesan untuk membangun budaya kehidupan (the  culture of life)  sebagai lawan budaya kematian (the culture of death).

1.3          Menuntun Umat Beriman untuk Memberikan Kesaksian Hidup di tengah Masyarakat Majemuk

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai macam suku-bangsa, agama, dan golongan secara keseluruhan membentuk kebudayaan nasional Indonesia. Kemajemukan dalam masyarakat Indonesia merupakan kekayaan budaya nasional uang membanggakan. Tetapi dalam kemajemukan seringkali tumbuh potensi-potensi konflik, karena faktor-faktor kondisional dan struktural yang bersifat aktual dalam perkembangan masyarakat.
Di antara salah satu kenyataan yang tumbuh menyertai suasana integrasi dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, ialah munculnya konflik antar pemeluk agama. Seringkali faktor-faktor pemicu konflik tersebut bersifat destruktif bagi kehidupan, sehingga selalu dicari berbagai upaya peredam konflik, antara lain melalui jalur peraturan yang membatasi cara penyebaran agama, dengan asumsi bahwa masalah ini seringkali menjadi faktor pemicu konflik yang terbilang kuat.
Dalam konteks Indonesia tak dapat dipungkiri bahwa umat Kristiani adalah kaum minoritas. Bagi umat Kristen, umat Islam tidak jarang dirasakan sebagai ancaman. Berbagai serangan terhadap gereja pernah terjadi. Misalnya di Situbondo, Tasikmalaya, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman semacam itu memang mempersulit relasi yang baik, tetapi kita tidak boleh dibiarkan dilumpuhkan olehnya. Kesaksian hidup lewat pelayanan cinta kasih tanpa memandang latar belakang agama adalah sebuah keharusan. Franz Magnis Suseno menulis:” Kekristenan kita harus tampak dalam sikap kasih yang nyata, yang tidak dibuat-buat, yang juga tidak hanya taktis, melainkan tulus. Kasih sayang itu harus terentang juga kepada saudara-sauadara Muslim.[13] Butir-butir pemikiran Paus Benediktus XVI sangat inspiratif bagi umat Kristiani Indonesia agar selalu berusaha memberikan kesaksian hidup di tengah masyarakat majemuk. Penyebutan nama Bunda Teresa (sampai 4 kali dalam Ensiklik) membuat elemen kasih sungguh ‘membumi’. Oleh karena itu, perlulah umat Kristiani di Indonesia belajar dari semangat Bunda Teresa, teladan perwujudan caritas dan berhasil menggerakan pelbagai organisasi internasional. Dengan kasihnya, ia dapat bertemu dan bekerja sama dengan kaum Muslim, Hindu bahkan dengan kaum Ateis tanpa banyak kesulitan. Semuanya ia lakukan atas dasar ‘kasih Jesus” yang selalu ia  minta dalam doanya.


1.4          Menuntun Para Pelayanan Karitatif agar lebih Berkualitas dalam Melayani
Pelayanan karitatif para petugas pastoral, apa pun bentuknya merupakan tanggapan bebas atas panggilan Tuhan sendiri. Dengan demikian, tanggung jawab moral seorang pelayan pastoral bukan hanya kepada diri sendiri atau kepada mereka yang dilayani, melainkan terlebih kepada kepada Dia yang memanggil, yakni Tuhan sendiri. Dengan demikian pelayanan pastoral merupakan sebuah panggilan.  Selain itu, kriteria etis seorang pelayan pastoral dalam pelayanan kasih  didasarkan atas identitasnya sebagai sebagai citra Allah. Kesadaran dan keyakinan sebagai citra Allah mendukung para pelayan pastoral untuk memberikan diri secara lebih utuh  kepada mereka yang dilayani, demi kesejahteraan umum. Kriteria etis ini melawan usaha manusia untuk lebih mementingkan diri. Kriteria etis ini meneguhkan para pelayan pastoral bahwa anugerah-anugaerah yang mereka terima dari Tuhan perlu disalurkan kepada sesama dan seluruh komunitas.
Di samping itu, Yesuslah yang menjadi norma terakhir dari para pelayan pastoral dari seorang tertahbis. Sebagaimana Yesus dalam hidup-Nya selalu responsif terhadap sesama, demikian juga para pelayan pastoral Gereja dipanggil untuk mencontohi semangat hidup Yesus. Inilah jalan kemuridan sebagai seorang pelayan. Para pelayan bukan diajak untuk meniru perilaku lahiriah-Nya, namun yang terpenting adalah menghayati semangat-Nya supaya tetap setia kepada Tuhan dalam tuntuntan-tuntutan pelayanan.
Agar bisa fokus dalam pelayanan, menurut hemat saya setidaknya seorang pelayan pastoral karitatif perlu memperhatikan unsur-unsur konstitutif yang merupakan hakikat pelayanan kasih Kristiani dan gerejawi sebagaimana termuat dalam DCE  31 yakni: kompetensi profesional dan pembentukan hati demi kemanusiaan, bebas dari partai dan ideologi serta bebas dari proselitisme. Unsur-unsur ini jika dijabarkan lagi secara lebih konkret maka seorang pelayanan karitatif dalam Gereja perlullah:[14]
1)      Memiliki kompetensi teologis. Hal ini dapat dilaksanakan lewat studi pribadi, ambil bagian dalam program professional, dan ambil kuliah waktu libur dan masa sabatikal serta aktif membuat refleksi teologis sebagai ahli yang terspesialisasi.
2)     Seorang pelayan pastoral perlu memiliki komitmen yang mendalam kepada Gereja dan kesetiaan kepada tradisi-tradisi dan ajarannya  dengan cara membawa tradisi-tradisi  dan ajaran-ajaran itu dalam hubungan dengan hidup dan keadaan masyarakat yang dilayani.
3)      Seorang pelayan pastoral harus menjadi orang yang mudah dihubungi dan siap menolong sesama, menghargai keluhuran setiap pribadi dengan memberikan pelayanan tanpa memperhitungkan status ekonomi, usia, gender, ras, orientasi seksual, atau kemampuan fisik dan mental. Selain itu, seorang pelayan pastoral perlu memiliki ruang untuk pelayanan-pelayanan sewaktu-waktu, untuk “melampaui batas”, untuk luwes, dan untuk tidak diharapkan.
Seorang Pelayan Pastoral pun juga perlu memiliki watak dan keutamaan-keutamaan tertentu. Watak dan keutamaan tertentu membantu para pelayan untuk menunaikan tugas-tugas yang telah dirumuskan dengan baik. Keutamaan perjanjian dan moral yang seharusnya diacu oleh semua pelayan pastoral adalah sebagai berikut:[15]
1)      Kesucian. Dalam aspek kesucian berarti seorang pelayan pastoral memiliki relasi yang intim dengan Tuhan. Dia menemukan arah dalam pelayanan teristimewa karena relasi yang erat dengan Tuhan. Relasi yang erat selalu dipupuk terus melalui praktek doa pribadi, kebaktian umum, dan praktek disiplin rohani yang mengungkapkan suatu hidup dalam keterbukaan yang terus-menerus kepada Roh Kudus. Kesucian hidup ditampakan dalam pribadi yang asli, tidak defensif, tidak memihak, luwes, menerima pengalaman-pengalaman dan orang-orang yang berbeda, kesadaran diri yang kritis, mengusahakan keseimbangan dama hidupnya, dan keadilan dalam hidup orang lain.
2)     Kasih/ Altruisme. Keutamaan ini dimulai dengan self-care. Cinta kasih digerakan oleh apa yang dialami  orang lain, mengerti makna pengalaman itu, dan tinggal dengan orang lain dengan cara apa pun yang diperlukan.
3)      Kelayakan untuk dipercayai. Seorang pelayan pastoral yang bisa dipercayai adalah dia yang memiliki kualitas kesetiaan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kemurahan hati, dan kerendahan hati. Dengan kualitas ini, seorang pelayan pastoral menjadi pelabuhan yang aman bagi mereka yang dilayani. Tentu juga menjaga kerahasiaan atas  hasil komunikasi batianiah yang telah disampaikan oleh mereka yang dilayani. Seorang pelayana pastoral yang dipercayai adalah dia yang memperhatikan mereka yang dilayani, menghargai batas-batas fisik dan emosional, memegang rahasia, menyampaikan sesuatu dengan seperlunya, memenuhi komitmen-komitmen, terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sebagai pelayan yang berkompeten dan terpercaya serta juga mengakui batas-batas kompetensinya.
4)     Kebijaksanaan. Dalam hal ini seorang pelayan pastoral perlu memiliki ketelitian melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi, membeda-bedakan secara rinci, berkonsultasi dengan keterbukaan untuk belajar, menanyakan pengertian dan bias dalam diri sendiri, mendahulukan hasil-hasil yang mungkin, mengambil waktu untuk mendengarkan dan berunding dalam suasana doa, memutuskan, dan kemudian melaksanakan dengan cara yang paling cocok.

Penutup
Paus terdahulu, Yohanes Paulus II mengajak umat kristiani untuk mengupayakan “kreativitas di dalam kasih” terutama dalam mengatasi pelbagai masalah dan solidaritas (Novo Millennio Ineunte). Paus Benediktus XVI mengukuhkan tugas tersebut dan mengajak Gereja untuk memegang teguh pelayanan kasih sebagai bagian iman yang amat mendasar. Demikian ulasan mengenai DCE  Paus Benediktus XVI dalam ringkasan serta catatan kritis dan relevansinya. Tulisan ini tentu jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya tetap terbuka untuk kritik dalam diskusi bersama demi penyempurnaan karya tulis ini. Akhirnya semoga tema besar cinta yang diangkat dalam ensiklik ini memberi semangat kepada kita untuk senantiasa mengobarkan cinta kepada Tuhan dan sesama. (YONGKI WAWO, MSC)









Daftar Pustaka

Dates, Ralp O. “Franciscans”  dalam Collier’s Encyclopedia Vol 8, edited by William T. Couch. New York: P.F Collier & Son Corporation, 1957.
Clissold., Stephen ed, The Wisdom of St. Francis and His Companions. New York: New Directions Publishing Corporation, 1979.
Gula, Richard M. Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Stoutzenberger Joseph M. & John D. Bohrer, Meditasi bersama  Fransiskus dari Assisi, terj. Paskalis B. Syukur. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Suseno, Franz Magnis.  Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk . Jakarta: Obor, 2004.

Paus Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est (Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, April 2006).
Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Deus_Caritas_Est, diunduh pada tanggal 11 Oktober 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Deus_Caritas_Est, dinduh pada tanggal 11 Oktober 2014. http://www.americancatholic.org/Messenger/Oct2004/Feature3.asp, diunduh pada tanggal 3 September 2014.



[2] Judul ensiklik ini diambil dari terjemahan bahasa Latin 1 Yohanes 4: 16. Kata-kata itu diterjemahkan dari bahasa Yunani, " Θες γάπη στι". Menurut versi Douay Rheims, judulnya diterjemahkan menjadi "God is charity" (Allah itu murah hati). Takhta Suci menggunakan versi New American Bible untuk terjemahan kutipan ini, yang bunyinya menjadi "God is love" (Allah adalah kasih).  LAI dan LBI menterjemahkannya "Allah adalah kasih". Bdk. http://id.wikipedia.org/wiki/Deus_Caritas_Est, diunduh pada tanggal 11 Oktober 2014.

[3] Dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Latin, Polandia, Portugis dan Spanyol.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Deus_Caritas_Est, dinduh pada tanggal 11 Oktober 2014.
[8] DCE , nomor 28.
[9] “Kita membutuhkan hubungan mesra dengan Allah dalam hidup kita sehari-hari. Dan bagaimana kita dapat memperolehnya? Melalui doa.” Demikian isi surat Beata Teresa dari Kalkuta pada masa Prapaskah 1996 kepada seorang rekan kerja yang adalah awam.
[10] Pada saat ini ada perbedaan-perbedaan dalam menginterpretasi kemiskinan mutlak (absolute poverty) yang pada akhirnya para saudara dina terbagi dalam tigas cabang yang berbeda, yakni OFM Cap (Friars Minor Capuchin) yang didirikan pada tahun 1525, OFM Conv (Friars Minor Conventual) yang berdiri sendiri sejak tahun 1517, dan OFM (Friars Minor) sesuai dengan regula St. Fransiskus Assisi. Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, nyatanya  mereka tetap berpatok pada semangat kemiskinan dari St. Fransiskus Assisi. Sehingga tidak heran pad tahun 1300 sudah sekitar 60.000-90.000 orang Fransiskan. Pada tahun 1517 sudah ada 30.000 anggota OFM sert 25. 000 anggota OFM Conv. Para pengikut Fransiskan disebut dengan banyak nama sesuai dengan tempat atau negara mereka berkarya. Di Inggris mereka disebut Grey Friarshabit”. Di Prancis mereka disebut Cordeliers (cord). Di Jerman mereka disebut Bafüsser (sandals), dan di Italia mereka disebut Frati.  Lih. Ralp O. Dates, “Franciscans”  dalam Collier’s Encyclopedia Vol 8, edited by William T. Couch (New York: P.F Collier & Son Corporation, 1957), hlm. 386.
[11] Joseph M. Stoutzenberger & John D. Bohrer, Meditasi bersama  Fransiskus dari Assisi, terj. Paskalis B. Syukur, hlm. 90.
[13] Lih. Franz Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk  (Jakarta: Obor, 2004), hlm. 151.
[14]Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 237-238.
[15] Ibid.,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug