Langsung ke konten utama

CINTA TERLARANG-PIL DAN WIL


Afficher l'image d'origine


        

Seks di luar nikah (extramarital sex) diartikan sebagai tindak-tanduk seksual antara seorang yang sudah menikah dengan seseorang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah. Hubungan seks di luar nikah bukan hanya terjadi  dalam level hubungan seks, tetapi juga dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seks, misalnya rayuan, cumbuaan, dan pelukan. [1] Hubungan seks di luar nikah dapat juga disebut sebagai perzinahan. Orang Indonesia menyebutnya “selingkuh”  atau HUGEL untuk bahasa gaul orang MANADO. Sekarang ini selingkuh bukan lagi menjadi hal tabu yang diperbincangkan. Koran-koran lokal misalnya, menampilkan aksi nekat suami membunuh pasangan kencan istrinya. Atau sebaliknya istri-istri tertentu nekat memukul “wanita” selingkuhan  suaminya.

Penyebab dan Dampak Extramarital Sex
          Tentu ada banyak penyebab adanya tindakan selingkuh. Salah satunya adanya kemajuan teknologi dalam proses modernisasi. Pasangan suami-istri yang mengalami “ketidakpuasan dalam hubungan seks dengan pasangan sendiri tentu akan cenderung mencari-cari kebutuhan tersebut di luar rumah. Alat canggih teknologi dalam bentuk HP mempermudah mereka untuk “berjanjian” mengadakan hubungan terlarang itu. Tentu ada banyak penyebab lain adanya hubungan seks di luar nikah, seperti adanya rasa bosan, pertengkaran, pengalaman traumatis, perpisahan yang cukup lama dengan pasangan, hanya iseng-iseng/ ingin adanya variasi, sebagai pelarian dari masalah rumah tangga yang belum terselesaikan, kebutuhan dasar afektif tidak terpenuhi di dalam rumah sehingga mencari pemenuhannya di luar rumah, ada kelainan seksusal dan lain-lain.  Selingkuh atau hubungan dengan PIL (Pria Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) tentu menodai kesucian perkawinan Kristiani (bdk. KGK, 1993, no. 2381).
          Perselingkuhan adalah bibit perceraian. Dengan kata lain, adanya selingkuh akan sangat rentan bagi timbulnya perceraian. Perceraian itu sendiri menodai sifat perkawinan Kristiani, yakni setia sampai mati atau tak terceraikan.  Memang dalam KHK 1983, perpisahan suami-istri di atur oleh Gereja. [2] Namun tidak berarti dengan adannya hukum tersebut pasangan suami-istri diajak untuk “bercerai,” karena secara moral perceraian menggambarkan deviasi terhadap tujuan luhur perkawinan yakni persekutuan seluruh hidup untuk kesejahteraan bersama suami-istri. Di samping itu, perceraian membawa dampak buruk bagi anak-anak yang dilahirkan dan tentunya tidak sesuai dengan rancangan ilahi.
          Martin Richard dalam tulisannya yang berjudul  Families, Politics and the Law dengan sangat baik menguraikan dampak-dampak yang ditimbulkan bagi anak-anak dari pasangan yang bercerai. Ia menyebut beberapa poin ini: misalnya rendahnya tingkat pendidikan, sehingga dengan demikian akan berdampak pada akses kerja dengan tingkat pendapatan yang minim. Di samping itu, ada masalah dalam bidang psikologi (psychological problems) bagi anak-anak tersebut.[3] Hal senada diungkapkan oleh Jack Dominian dalam karyanya yang berjudul Marital Breakdown and the Health of the Nation.  Jack Dominian menulis,
Anak-anak yang orangtuanya bercerai membawa serta dalam dirinya risiko yang sangat besar dalam kesehatan fisik dan psikologis sejak orangtuanya bercerai hingga masa tuanya. Anak-anak di bawah umur lima tahun dalam situasi orangtuanya bercerai menjadi orang yang terluka. Mereka juga dua atau lima kali  lebih rentan mendapat sakit jiwa.[4]
Di samping itu, anak-anak yang orang tuanya bercerai sangat rentan dalam pergaulan bebas atau mengalami hubungan seks yang lebih awal serta terlibat dalam konsumsi obat-obat terlarang serta alkohol.[5]

Extramarital Sex dari Perspektif Teologi Tubuh Yohanes Paulus II
          Mereka yang terlibat dalam hubungan seks dengan pria atau wanita lain yang bukan istri atau suaminya tentu tidak didasarkan pada semangat cinta. Yang namanya cinta pasti ada komitmen dan penyerahan diri (self-surrender). Dalam perselingkuhan yang ada hanyalah kemunafikan. Cinta sejati bersifat kontinyu, timbal balik, dan total.[6]  Selain itu, dalam cinta sejati terdapat kualitas kesetiaan, tanggung jawab, dan pengorbanan diri. Dalam hubungan gelap dengan PIL atau WIL tidak terdapat karakter itu.
          Mereka yang terlibat dalam hubungan intim dengan pihak ketiga menodai perkawinan sebagai “communio personarum” dan merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah. Relasi demikian tidak mencerminkan perwujudan akan kasih Allah, karena tindakan hubungan seks mereka bukan didasarkan pada semangat saling memberi melainkan pada semangat saling memanfaatkan atau saling menggunakan. Yang lain dilihat sebagai obyek pemuasan hasrat seksualnya.[7]  Seharusnya hubungan seks perlu dijalankan atas dasar cinta murni. Relasi memanfaatkan atau relasi demi “kepuasan” tepat dikenakan dalam relasi extramarital sex. Dalam relasi yang sudah dipenuhi nafsu, terjadi pemerasan di antara mereka. Pemberian yang dilandasi nafsu tersebut bukanlah pemberian diri seutuhnya. Nafsu menuntun manusia pada pencarian akan pemuasan diri sendiri. Dengan demikian mereka juga kehilangan kebebasan yang dimengerti sebagai “the capacity for giving.
          Intinya adalah bahwa extramarital sex tidak lain merupakan pelecehan terhadap makna nupsial tubuh manusia serta memperlemah relasi suami-istri. Arti nupsial tubuh (arti perkawinan) yang melekat erat dalam tubuh manusia mengumandangkan secara lantang bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan untuk mencintai dalam bentuk pemberian diri yang kualitasnya ditentukan oleh ciri-ciri ini: bebas, total, setia, berbuah (free, total, faithful, fruitful).[8] Adanya tindakan penyelewengan dalam bentuk selingkuh menyatakan bahwa mereka yang sedang terlibat di dalamnya tidak sungguh-sungguh memahami makna atau arti nupsial tubuh yang melekat di dalam diri mereka.
            Singkatnya, di dalam tindakan hubungan seks di luar nikah mereka tidak setia kepada pasangan. Di samping itu, hubungan seks dalam perselingkuhan tidak didorong oleh cinta murni, merusak janji perkawinan dan relasi cinta dalam hidup berkeluarga. Tak dapat dipungkiri juga bahwa mereka yang terlibat dalam perselingkuhan tidak menjadi pendidik yang baik bagi anak-anak dalam keluarga.


[1]Bdk. Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman.  Suatu Tinjauan Sosiologis, hlm. 98.
[2]Dalam KHK 1983 juga diatur mengenai Perpisahan Suami-Istri (Kan. art. 1151-1155). Lih. Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Kajian dan Penerapannya. Edisi Revisi (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm. 99-102.
[3]Terkutip dalam Jon Davies “A Preferential Option for the Family” dalam The Family In Theological Perspective. Edited by Stephen C. Barton (Edinburgh: T&T Clark, 1996), hlm. 227.
[4]Children of divorced parents carry a higher risk of physical and psychological ill-health from the time of parental separation well into adult life. Children under five years at the time of their parent’s divorce are particularly vulnerable. Children of divorced parents are between two and five times more susceptble to psychiatric illness. Terkutip dalam Jon Davies “A Preferential Option for the Family, Ibid., hlm. 230.
[5]Bdk. H. Norman Wright, Sekali untuk Selamanya, terj. Ida Budipranoto (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010), hlm. 114.
[6]Yosef Marianus Hello, Menjadi Keluarga Beriman. Sebuah Cita-Cita dan Pergumulan (Yogyakarta: yayasan Pustaka Nusatama, 2004), hlm. 16.
[7]Deshi Ramadhani menulis:” bagi YP II lawan dari kata cinta bukanlah membenci tetapi menggunakan. ” Lih. Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku, hlm. 85.
[8]Bdk. Deshi Ramadhani, Adam Harus Bicara. Sebuah Buku Lelaki (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 51.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug