Langsung ke konten utama

Yohanes Paulus II Guru bagi Keluarga dan Perkawinan Kristiani



        

1.             Riwayat Hidup Yohanes Paulus II-Selayang Pandang[1]
          Tidak dapat disangkal  bahwa tulisan yang mengulas hidup dan pribadi YP II cukup banyak, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Bukan tanpa sebab begitu banyak orang menulis kisah perjalanan hidupnya. Salah satunya adalah untuk menggali kekayaan spiritual yang terpancar dalam dirinya.[2] Pada bagian ini kami akan secara ringkas mendeskripsikan  kembali riwayat hidup YP II yang kami peroleh dari berbagai sumber. Ulasan mengenai riwaya hidup YP II tampak dalam poin-poin sebagai berikut.

1.1        Lolek si Yatim Piatu
          YP II memiliki nama asli Karol Józef Wojtyła. Dia dilahirkan  pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, [3] Polandia Selatan dari pasangan Karol Wojtyła dan Emilia Kaczoronowska. Menarik bahwa ternyata dia dilahirkan pada saat usia ibunya sudah tidak muda lagi. Saat itu ibunya berusia 40 tahun dan dalam keadaan mengidap penyakit jantung. Tetapi Emilia ibunya, tetap berani memilih mangandung dan melahirkan bayi yang kelak menjadi paus ke 264 ini. Satu bulan setelah kelahirannya, tepatnya pada tanggal 20 Juni 1920, dia dipermandikan oleh pastor kapelan tentara yang bernama Franciscezek Zak.
          Keluarganya termasuk keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang tentara pada Kekaisaran Habsburg Austria. Kemudian pada masa pensiunnya, yakni setelah Polandia merdeka ia bekerja sebagai staf administrasi pada Infantri Regiment ke-12 Polandia. Ayahnya ini sering disapa letnan. Dia dikenal sebagai orang yang serius dan baik hati. Di samping itu, dia dikenal sebagai seorang yang memiliki rasa tanggung jawab, menjunjung tinggi keadilan, dan menaruh hormat kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan ibunya yang sebelum menikah telah menjadi seorang guru, tinggal di rumah untuk menjaga keluarganya. Namun karena kesehatannya terganggu, dia sering terbaring di tempat tidur.
           Ayahnya dan Karol sendiri memiliki nama yang sama. Oleh karena itu, untuk membedakan keduanya, Maka YP II semasa kecil sering disapa Karol Junior atau Lolek.[4] Sedangkan ayahnya sering disapa Karol senior atau letnan. Karol Senior sebelumnya tinggal di Czane, dekat Andrychow. Sementara Emilia sendiri berasal dari Silesia. Setelah menikah dengan Emilia, Karol Senior menetap di Wadowice.         
          Sisi kehidupan pada masa kecil Lolek atau Karol Junior tidak seindah rekan-rekanya yang lain. Pada tahun 1941, dia sudah kehilangan semua anggota keluarganya. Dengan kata lain, sejak tahun 1941 dia menjadi anak yatim piatu.  Ibunya meninggal pada saat Lolek masih berumur 9 tahun, yakni tanggal 13 April 1929. Ayahnya meninggal pada tahun 1941 akibat serangan jantung. Inilah pengalaman kehilangan terakhir akan orang-orang yang dicintainya, setelah kakaknya Edmund yang meninggal pada tanggal 5 Desember 1932.[5] Sedangkan Olga kakak perempuannya, tidak pernah ia lihat wajahnya karena meninggal beberapa hari setalah lahir.                       

1.2        Masa Pendidikan Awal Lolek
          Pada  tahun 1926 ketika berumur 6 tahun,  Lolek memasuki Sekolah Dasar yang berada dekat dengan aparteman tempat tinggalnya. Di sekolah dia termasuk murid yang populer, baik di kalangan teman-teman maupun para gurunya karena kecerdasannya. Setelah lulus Sekolah Dasar, dia memasuki pendidikan setingkat SMP  (Marcian Wadowita High School ) pada tahun 1934. Dia juga termasuk siswa yang cemerlang dalam semua mata pelajaran, termasuk pelajaran agama. Dia menguasai banyak bahasa yakni Latin, Yunani, dan Jerman. Selanjutnya dia memasuki SMA yang juga berada di Wadowice.
          Lolek menyelesaikan studinya setingkat SMA pada tahun 1938.  Pada akhir masa sekolahnya di SMA, dia dipilih untuk menyampaikan ucapan selamat datang kepada Kardinal Sapieha, Uskup Agung Krakow yang mengunjungi Wadowice. Kardinal Sapieha yang mendengarkan ucapan selamat datang tersebut  merasa sangat terkesan, sehingga mengharapkan Wojtyla menjadi imam.
          Pada tahun 1938 Karol Junior bersama ayahnya pindah ke Krakow untuk melanjutkan pendidikannya. Di sana bersama ayahnya, Karol Junior tinggal dalam sebuah aparteman yang tidak layak. Michael Walsh menulis,Itu adalah sebuah apartemen bawah tanah yang gelap, kecil, dan suram.[6] Di Krakow Karol Junior masuk Perguruan Tinggi Jagellonica mengambil jurusan bahasa Polandia sekaligus mengikuti sekolah drama yang yang didirikan oleh Tadeusz Kudlinski. Sekolah drama tersebut dikenal dengan nama ”Studio 38”.  Di kampus ia juga aktif dalam kegiatan sosial.
          Kegiatan studinya di Krakow tidak berlangsung lama sebab tahun 1940 masih dalam suasana perang dunia II. Pada waktu itu Jerman dibawah Adolf Hitler menyerbu Polandia. Tepatnya pada tanggal 1 September 1939, tank-tank Jerman dan pasukan infantri mulai menyerbu Polandia bagian Barat, Utara, dan Selatan. Dua hari kemudia Perang Dunia II dimulai. Kekaisaran Jerman menjalankan kekerasan di Polandia. Orang-orang Polandia diperbudak dan dipandang lebih rendah dari manusia. Hitler berpesan kepada para anak buahnya, bahwa orang Polandia dilahirkan untuk menjadi pekerja kasar, dan tidak boleh ada perbaikan, dan tidak diizinkan untuk bangkit. Nasib para mahasiswa  pun tak bedanya dengan orang biasa. Pemerintah Jerman mengeluarkan Kartu Kerja. Orang Polandia yang tidak memiliki Kartu Kerja diseret untuk kerja paksa.
          Dalam situasi seperti ini, pada bulan Februari 1940 Lolek bertemu dengan Jan Tyranowski, seorang penjahit yang memiliki spiritualitas yang mendalam. Dia memperkenalkan kepada Lolek karya-karya St. Yohanes dari Salib dam St. Teresa dari Avila. Jan Tyranowski menjadi guru spiritual yang sangat mempengaruhi iman Lolek. Selain memperkenalkan karya-karya St. Yohanes dari Salib dan St. Teresa dari Avila, Tyranowski mengikutsertakan Lolek dalam kelompok doa yang dibentuknya, yakni kelompok doa Rosario dan Marian Solidity.
Pada tanggal 1 November 1940 Lolek mulai bekerja sebagai buruh batu di Zakrzowek milik perusahaan kimia Solvay pada siang hari agar bebas dari deportasi dan kerja paksa. Sedangkan pada malam harinya dia gunakan untuk belajar dan mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai mahasiswa. Walaupun penuh penderitaan, ia tetap memiliki semangat yang tinggi. Pada tahun 1941 Karol Józef Wojtyła pindah kerja di perusahaan kimia lainnya yang tidak terlalu menguras fisiknya.

1.3         Berasal dari Keluarga yang Religius, Disiplin serta Respek kepada Orang Lain
          Emilia dan Karol Senior mendidik anak-anak mereka dalam agama Katolik Roma. Keduanya memiliki rasa cinta tanah air yang besar dan termasuk orang tua yang religius sebagaimana orang-orang Polandia pada umumnya pada waktu itu. Bagi orang Polandia menjadi Katolik tidak dilepas-pisahkan dengan menjadi orang Polandia. Orang-orang Polandia mempunyai kecintaan khusus kepada Bunda Maria. Diyakni bahwa Bunda Maria adalah pelindung bagi bangsa Polandia. Maria sering dipandang sebagai ”Queen of Polandia". Rumah keluarga Wojtyła dihiasi gambar-gambar orang kudus pada dinding-dindingnya. Di depan pintu rumah mereka disediakan air kudus yang telah diberkati oleh pastor. Pada setiap hari Minggu, Letnan Karol Senior atau Emilia membacakan  Kitab Suci untuk anggota keluarga. Mereka juga membiasakan anak-anak mereka untuk membuat tanda salib dan berdoa rosario. Doa menjadi bagian  harian dari keluarga ini.
          Keluarga ini tetap menghargai agama lain (kurang lebih 2000 penduduk Polandia beragama Yahudi). Pada waktu itu, di Polandia berkembang sikap anti semitik. Gereja sendiri telah berabad-abad mengajarkan bahwa semua orang Yahudi bersalah karena wafat Yesus disebabkan oleh kekejiaan mereka. Walaupun demikian, keluarga Wojtyla sendiri tetap memiliki sikap respek yang tinggi kepada orang-orang Yahudi.   Bahkan  apartemen di mana mereka tinggal bersebelahan dengan keluarga Yahudi.  
          Setiap hari Lolek memiliki rutinitas atau acara yang tetap yaitu: misa kudus, sekolah, makan siang, bermain, mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar. Jika ia terlihat bermain di jalanan di luar waktu bermain, ia segera dipanggil oleh ayah atau ibunya.


1.4         Seorang yang Memiliki Multi Talenta
          Sejak kecil Lolek memiliki banyak talenta yang menonjol. Dalam usia sekolah dasar dia pada awalnya lebih menampakkan minat dalam bidang olah raga, terlebih bola kaki. Dia adalah seorang penjaga gawang yang diandalkan timnya. Melihat kenyataan ini ibunya mendorong agar Lolek mencari bakat lain yang masih terpendam. Hal ini tentu tidak terlepas dari dukungan ibunya agar kelak anaknya bisa menjadi imam. Suatu ketika ibunya berkata kepada Lolek, Jika engkau ingin menjadi seorang imam, engkau perlu mengetahui hal-hal lain selain bola kaki.”[7]
          Dengan demikian dia mulai mendalami bidang lain selain bola kaki, misalnya berenang, bermain ski, mendaki gunung. Dia bahkan mendalami bakat dalam bidang akting, sehinga ia dikenal sebagai orang yang pandai dalam  bermain drama di atas panggung dan sering kali menjadi orator dalam acara-acara di sekolahnya. Dia juga menguasai bermacam-macam bahasa. Bahasa yang dikuasainya secara fasih adalah: bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, dan Latin. Lolek juga tahu tentang musik. Komponis favoritnya adalah Bach, Beethoven, dan Chopin.[8]

2.             Panggilan Khusus
          Berikut ini akan dipaparkan mengenai perjalanan panggilan khusus Karol Wojtyła,  sejak menjadi imam sampai menjadi paus Gereja Katolik Roma yang ke-264.

2.1         Imam
          Pada tahun 1942 Lolek masuk seminari. Pada saat itu penguasa Jerman melarang semua aktivitas seminari di Polandia. Oleh karena itu, ia pun mengikuti pembinaan calon imam di sebuah Seminari Tinggi bawah tanah (klendestine). Seminari tersebut dipimpin oleh Uskup Agung Krakow, Adam Stefan Sapieha. Pembinaan di seminari bawah tanah dijalankan sambil belajar teologi di Universitas Jagellonica. Pada bulan Agustus 1944 Uskup Agung Adama Stefan Sapieha memindahkan dia bersama para seminiaris klandestine  lainnya ke kediaman Uskup Agung. Di situlah dia tinggal sampai tanggal 18 Januari 1945. Pada tahun 1945 ada keinginan yang besar dalam diri Wojtyla untuk masuk novisiat biara Karmel (Czerna Caremelite Monastery). Akan tetapi, Uskup Agung Sapieha melarang dengan tegas dan mendorongnya agar lebih baik bergabung menjadi imam projo karena lebih dibutuhkan.  Di dalam seminari bawah tanah ia menunjukkan keadaan dirinya yang kadang stress. Ia tuangkan perasaannya ini dalam sebuah puisi yang kemudian dipublikasikan secara anonim pada majalah bulanan biara Karmel (Glos Karmelu/  Voice of the Carmelites). Karyanya tersebut diberi judul Song of the Hidden God.[9]
          Jerman yang menyerang Polandia sendiri anti-semitik dan oleh karenanya pembasmian orang-orang Yahudi adalah misi utama mereka dalam serangan itu. Selama masa perang, semua orang Yahudi ditahan di kamp-kamp konsentrasi untuk selanjutnya dibantai. Katolisisme sebagai simbol dan pelindung budaya Polandia juga menjadi korban utama rencana Nazi. Dengan demikian, para imam, biarawan dan biarawati ditahan dan selanjutnya dibunuh.[10] Hal ini tidak menyurutkan niat Lolek untuk memilih jalan panggilan ini. Panggilannya untuk menjadi imam adalah sebuah keputusan bebas. Inilah yang disebut inner illumination” atau pencerahan dari kedalaman diri.[11]
           Sesudah perang berakhir pada tahun 1944, ia melanjutkan studinya di Seminari Tinggi sampai akhirnya ditahbiskan pada tanggal 1 November 1946 di Katedral Wawel. Dia merayakan misa pertamanya pada tanggal 2 November 1946. Dua minggu setelah ditahbiskan  ia melanjutkan studinya di Universitas Angelicum Roma, di bawah asuhan seorang teolog terkemuka Garriogou-Lagrange, seorang imam Dominikan. Ia meraih gelar Doktor di Universitas Angelicum. Disertasi yang berjudul ”Doctrine de fide apud S. Ioannem de Cruce” atau Ajaran Iman Menurut Santo Yohanes dari Salib, dipertahankan pada tahun 1948. Karol Wojtyła menerima ajaran santo karmelit tersebut bahwa iman saja tidak mencukupi bagi persatuan dengan Allah, bila tidak  dihidupi dalam cinta kasih, yang dengannya dapat membawa pada sebuah transformasi personal melalui partisipasi dalam kehidupan ilahi.[12] 
        Kemudian pada tahun yang sama, tepatnya pada awal Juli 1948, ia kembali ke Polandia menjadi asisten di Paroki Niegowic (200 km di luar kota Krakow). Tidak lama di Niegowic, yakni pada bulan Maret 1949 dia dipanggil kembali ke Krakow dan menjadi pastor Paroki St. Florianus untuk aktivitas pastoral mahasiswa. Pada tahun 1951 dia mengadakan studi lanjut dalam bidang filsafat. Dia secara khusus mendalami Fenomenologi filsuf Jerman, Max Scheler. Scheler ingin membangun sistem etika atas dasar hierarki nilai yang dialami secara personal. Dengan lebih mengandalkan pada perasaan dan emosi, Scheler menolak peran otoritas. Wojtyła menemukan hal yang penting dalam pemikiran Scheler tetapi dia menegaskan bahwa pada akhirnya nilai-nilai itu bermuara pada relasi personal dengan Allah dan Yesus sebagai otoritas yang berwibawa.[13]

2.2     Uskup Pembantu Krakow
          Pada tanggal 4 Juli 1958 Wojtyła diangkat  oleh Paus Pius XII  menjadi Uskup pembantu di Krakow dan Uskup tituler di Ombi. Selanjutnya pada tanggal 28 September 1958 Uskup Agung Eugenisusz Baziak mentahbiskannya sebagai Uskup di Katedral Wawel (Krakow). Pada tahun 1962-1965 Uskup Wojtyla terlibat dalam Konsili Vatikan II. Ada 22 intervensi Uskup Wojtyła dalam Konsili Vatikan II sebagaimana ditampakkan dalam Acta Synodalia. Dalam mengemban tugasnya sebagai Uskup pembantu Krakow dia menghasilkan sebuah karya yang terkenal, yakni Love and Responsibility. Avery Dulles menulis, Sebagai Uskup dia melanjutkan kerja dengan kelompok-kelompok kaum muda secara dekat. Lewat pengalaman tersebut dia mengembangkan ide-ide bagi bukunya, Cinta dan Tanggung Jawab.[14] Paus Paulus VI menaruh kekaguman dan hormat atas cara Uskup Wojtyla membela ajaran-ajaran tradisional Gereja Katolik mengenai perkawinan.

2.3         Uskup Agung Krakow
          Pada tanggal 13 Januari 1964 Paus Paulus VI mengangkat Wojtyła menjadi Uskup Agung Krakow. Sebagai Uskup agung, Wojtyła juga ikut serta menghadiri Konsili Vatikan II dan memberikan kontribusi pada dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Dignitatis Humanae (DH) dan Gaudium et Spes (GS). Dia meyakinkan Konsili untuk memerangi utilitarianisme, yang memperlakukan manusia sama dengan barang. Poin-poin tersebut dan yang lainnya diartikulasikan secara lebih penuh dalam tulisan-tulisannya  ketika dia mengemban tugas sebagai Paus.[15]

2.4         Kardinal
Pada tanggal 26 Juni 1967 Karol Wojtyła diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Paulus VI di kapela Sistina, Vatikan. Pada tahun 1969 dia menerbitkan edisi pertama bukunya The Acting Person, sebuah karya dalam  bidang Filsafat Antropologi. Karya ini ditulis dalam dialektika dengan paham Marxisisme. Dalam konteks melawan  materialisme Marx,  Uskup Wojtyła menaruh prioritas pada pribadi manusia dan kemampuannya untuk membentuk identitas terdalamnya dengan bertindak.
Karyanya yang lain semasa menjadi Kardinal adalah Sources of Renewal. Buku tersebut  diterbitkan pada tahun 1972. Tujuan dipublikasikannya buku tersebut adalah untuk mengimplementasikan secara pastoral Konsili Vatikan II bagi KeUskupan Krakow. Pertanyaan mendasar dari Konsili baginya adalah kata-kata Paus Paulus VI yakni, “Ecclesia, Quid dicis de teipsa? (Gereja, apa yang dapat anda katakan tentang dirimu sendiri?).  Gereja yang berziarah dalam sejarah berpartisipasi dalam kesadaran akan pribadi Yesus Kristus dan mengambil bagian  dalam misi-Nya. Misi Gereja adalah membantu seluruh umat manusia masuk secara sadar dalam persekutuan yang dimaksudkan oleh Allah Trinitas. Wahyu adalah sebuah undangan keselamatan melalui persekutuan dengan Allah.
           Kemudian pada tahun 1976 Beliau diundang menjadi pemberi retret untuk   Paus Paulus VI dan segenap anggota kuria Kepausan dalam masa prapaskah tahun itu. Tema yang diangkatnya adalah Sign of Contradiction. Melalui tema itu dia ingin menekankan kebutuhan Gereja untuk berdiri pada pihak oposisi dengan materialisme dan sekularisme dalam segala macam bentuknya, baik Marxisme maupun Kapitalisme. Sabda Allah diperhadapkan dengan anti-sabda; kebenaran Allah berjuang melawan tipu muslihat setan; ketaatan akan Yesus adalah harga yang harus dibayar karena ketidaktaatan manusia. Dalam retret tersebut dia memuji Paus Paulus VI yang dengan teguh melawan kontrasepsi dalam ensiklik HV.[16]

2.5         Paus  Gereja Katolik Roma yang ke-264
          Pada tanggal 16 Oktober 1978 Kardinal Wojtyła terpilih oleh 103 dari 109 kardinal untuk jabatan Paus. Dia adalah paus yang ke-264 atau pengganti Petrus yang ke-263. YP II diangkat menjadi paus pada usia 58 tahun. Dia adalah salah seorang paus terlama dalam sejarah Gereja, yakni selama 26 tahun, 5 bulan dan 17 hari.  Sebagai seorang paus dia adalah figur yang sudah tidak asing lagi di mata dunia. Kepopulerannya diindikasikan lewat berbagai gelar atau sebutan yang dikenakan kepadanya. Dia dikenal sebagai paus yang dekat dengan kaum muda, dekat  dengan orang sakit, paus yang agung, [17]   paus peziarah (a pilgrim pope) dan aneka gelar lainnya.
          Berdasarkan sebutanya sebagai “Paus Peziarah” kita dapat memastikan bahwa kunjungannya ke berbagai negara di dunia ini ada misi khusus yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, bukan tanpa alasan dia mengadakan peziarahannya ini. Alasan utamanya adalah untuk bertemu dengan sebanyak mungkin orang sebagaimana sudah dicontohkan oleh rasul besar Paulus dan Petrus serta oleh Yesus sendiri yang tak kenal lelah berjalan sambil berbuat baik.[18] Semangatnya untuk mengunjungi berbagai belahan dunia memperlihatkan kepada kita bahwa dia memiliki kemauan yang sangat besar untuk menjangkau sebanyak mungkin orang yang berkehendak baik. Dengan sapaan-sapaan, khotbah-khotbah yang menyentuh dia berusaha menunjukkan bahwa dalam diri setiap orang ada nilai yang sangat mendalam. Baginya setiap pribadi dipanggil untuk menikmati kebebasan sebagai Anak-Anak Allah di bawah kuasa kebapaan Allah sendiri. [19]
          Selain itu dia dikenal sebagai pejuang kebenaran, pembela kehidupan, penentang budaya kematian, pelopor perdamaian, pembela kaum miskin, komunikator ulung, dan pendoa sejati. Ada juga  yang bahkan menyebutnya “the Great Soul” dan menyejajarkan dirinya dengan tokoh-tokoh besar dunia lainnya seperti: Muder Teresa, Nelson Mandela, dan Billy Graham. [20]
          YP II meninggal dunia pada  tanggal 2 April 2005 dalam usia 84 tahun. Beliau dimakamkan pada tanggal 8 April 2005 di Basilika St. Petrus. Pada hari pemakamannya, ribuan umat Katolik yang memadati Basilika St. Petrus menyuarakan ”Santo Subito” artinya, ”Santo Segera”. Seruan tersebut kini mulai terwujud dengan diangkatnya YP II menjadi seorang Beato oleh Paus Benedikus XVI pada tanggal 1 Mei 2011 lalu. Suara umat yang dikumandangkan pada acara pemakaman YP II  membutuhkan waktu yang cukup lama (kurang lebih 6 tahun) bagi Konggregasi Vatikan untuk Penggelaran Kudus untuk mengumumkan secara resmi beatifikasinya. Setelah kurang lebih enam tahun, yakni pada tanggal 24 Januri 2011, Konggregasi tersebut menyatakan bahwa pada tanggal 1 Mei 2011 di Basilika Santo Petrus, YP II dinyatakan sebagai Beato oleh Paus Benedikstus XVI.
          Mengapa demikian? Ternyata suara umat hanyalah salah satu pertimbangan yang perlu untuk proses beatifikasi. Suara umat  (vox populi) tentu  didasarkan pada perjumpaan dan pengenalan mereka akan reputasi kesucian (fama sanctitas) YP II. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses beatifikasi adalah suara Allah sendiri (vox Dei) yang dapat diketahui lewat mukjizat. [21] Akhirnya, terdapat suara Gereja (vox ecclesiae) untuk mengukuhkan. Dalam hal ini Gereja melanjutkan proses beatifikasi setelah mengevaluasi nilai-nilai heroik dan otentisitas mukjizat.[22] Dengan memperhatikan ketiga pertimbangan itulah, YP II akhirnya diangkat menjadi Beato oleh paus Benediktus XVI pada tanggal 1 Mei 2011 lalu.

3.      Berbagai Pandangan Teologis Yohanes Paulus II
         Banyak karya tulis lahir dari buah pena YP II sejak sebelum menjadi paus hingga menduduki tahta Petrus.[23] Dia tidak kenal lelah untuk menuangkan gagasan-gagasan briliannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Avery Dulles menulis,
Ajaran Karol Wojtyla, sebelum dan sejak menjadi paus, sangat luas dan banyak segi yang diangkat. Dia menulis sebagai seorang filsuf, teolog dan seorang pastor. Sebagai seorang Uskup dan paus, ia memikul tanggung jawab untuk tetap setia terhadap agenda yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan II. Sebagai seorang terpelajar dia telah mendarah daging dengan tradisi-tradisi Gereja, dan dalam banyak segi adalah murid yang setia dari Thomas Aquinas dan Yohanes dari Salib. Dari kedua orang inilah dia belajar secara mendalam. Tetapi dia juga merasa nyaman dengan pemikiran baru dalam fenomenologi kaum personalist. Dia adalah seorang yang memiliki iman yang mendalam dan pendoa sejati, juga memiliki minat yang besar terhadap studi-studi literatur, ilmu pengetahuan, politik, dan sosial. Agaknya sulit untuk menyatukan minatnya yang luas ini dalam satu-kesatuan yang sistematik.[24]
        
          Sebelum mengulas YP II sebagai paus yang memiliki konsern terhadap hidup keluarga dan perkawinan Kristiani,  baiklah terlebih dahulu kita melihat secara singkat kenyataan bahwa dia memiliki pemikiran yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Bidang apa sajakah itu?  Menurut Avery Dulles setidaknya ada 15 pokok perhatian selama YP II menjabat sebagai Paus. Pokok-pokok tersebut kami ringkas sebagai berikut: [25]
1. Antropologi (Antrophology). YP II memahami eksistensi manusia dalam istilah personalist dan dinamis. Dengan penggunaan kebebasan yang bertanggung jawab manusia dapat membentuk dirinya. Manusia dapat mengenal dirinya melalui relasi dengan orang lain dalam semangat cinta dan dialog. Manusia diciptakan dalam citra trintaris Allah. Atas dasar alasan inilah manusia disebut makhluk sosial serta dipanggil untuk membentuk persekutuan dan solidaritas dengan orang lain. Menjadi manusia berarti menjadi makhluk badani, yang rapuh dan berdosa, tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan keinginan yang tak terbatas dan dipanggil untuk kehidupan yang lebih tinggi ( a higher life).
2. Kristologi  (Christology). Model tertinggi dari eksistensi umat manusia adalah Yesus Kristus. Dia secara total telah menyerahkan diri-Nya sendiri bagi penebusan seluruh umat manusia, baik pria maupun wanita. Oleh karena itu, personalisme yang intens dari YP II menuntun pada universalisme tanpa sekat. Kristus dalam keadaan-Nya yang konkret adalah pusat dari seluruh alam ciptaan, tujuan dari sejarah umat manusia, dan fokus dari setiap usaha manusia untuk mencapai keselamatan. Kehadiran-Nya di planet ini bukanlah sebuah kebetulan. ”Melalui inkarnasi, Allah memberikan kepada kehidupan manusia sebuah dimensi yang Dia maksudkan sejak semula” (RH art.1). Sebagai Anak Allah, Yesus mewahyukan kepada manusia karakter Bapa-Nya sebagai figur yang penuh dengan kasih (merciful love); sebagai  manusia sempurna, dan juga mewahyukan kemanusiaan. Yesus adalah norma kehidupan Kristiani. Allah tidak datang ke dunia untuk mengurangi kebebasan umat manusia, tetapi sebaliknya menuntun kebebasan pada tujuannya yang benar. Kebebasan manusia diarahkan secara bertanggung jawab untuk memilih kebenaran dan kebaikan. Yesus sendiri menyerahkan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Dialah kebenaran yang membuat kita bebas. Dalam konteks tugas-Nya sebagai penebus umat manusia, Yesus memiliki tiga tugas, yakni sebagai nabi, imam, dan raja. Dialah guru yang menguduskan dan pemimpin dari segenap orang yang mengikuti-Nya. Setiap orang dipanggil untuk melewati misteri paskah dalam rangka mencapai tujuan penebusan. Inilah hukum universal dari kodrat manusia yang dengan rendah hati menyerahkan dirinya sendiri untuk pemenuhan diri dalam level yang terdalam. Penderitaan sendiri, diterima sebagai partisipasi dalam penderitaan Allah-manusia. Paus ini tidak hanya mengungkapkan secara teoritis pemikirannya, tetapi menghidupinya lewat pengalaman sakit yang dideritanya.
3. Trinitas (Trinity). YP II memandang Yesus Kristus dalam relasi dengan dua pribadi ilahi yang lain. Sebagai Logos abadi, Kristus mendapatkan misi dari Bapa-Nya yang telah mengutus Dia ke tengah-tengah dunia. Dia dikandung oleh Roh Kudus, yang juga menguatkan-Nya dalam tugas perutusan. Oleh kekuatan Roh Kudus, Yesus mampu menyerahkan diri-Nya sehingga menghasilkan buah berlimpah bagi manusia. Roh Kuduslah yang memampukan Yesus untuk menjalankan tugas perutusan kepada semua orang, agar semuanya bersatu. Dengan demikian, teologinya bukan hanya kristosentris, tetapi juga bersifat pneumatologis dan trinitarian.
4. Mariologi (Mariology). YP II sangat mengagumi tokoh Maria dalam sejarah penebusan umat manusia. Sebagaimana Yesus secara total menyerahkan diri-Nya dalam menerima tugas perutusan dari Bapa-Nya, demikian juga halnya dengan Maria yang dengan penuh ketaatan menerima kehendak Allah. Tampak jelas dalam kata-katanya:”aku ini hamba Tuhan”. Dalam penyerahan diri secara total kepada Allah, dia menjadi Bunda Putra yang berinkarnasi. YP II menyebutnya sebagai murid yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain. Dalam kata-kata-Nya di kayu salib, Yesus menunjukkan bahwa Maria memiliki relasi yang istimewa dengan para murid-Nya, yang diwakili oleh Yohanes. Sebagai ibu Kristus, Maria juga dipilih untuk menjadi Bunda Gereja yang adalah tubuh mistik Kristus.
5. Eklesiologi (Ecclesiology).  Bagi YP II Gereja bukanlah sekedar institusi, tetapi sebuah realitas yang  hidup dan  yang dibangun atas dasar pribadi-pribadi. Gereja adalah sebuah misteri yang hidup oleh rahmat Kristus dan Roh Kudus. Misi Gereja berasal dari Kristus sendiri. Misteri ketaatan Yesus dan Maria, perlu juga dijalankan oleh Gereja. Gereja bagi YP II adalah persekutuan orang-orang;  persekutuan  para murid.
6. Sakramen-Sakramen (Sacraments). YP II secara khusus memperhatikan aspek sakramental, termasuk ekaristi, pengakuan dosa, perkawinan, dan imamat. Secara khusus mengenai sakramen perkawinan, dia menyatakan bahwa sakramen tersebut memanifestasi kesatuan perkawinan (nuptial union) antara Kristus dan Gereja. Cinta monomogami dan tak terceraikan  yang ditunjukkan oleh persatuan antara Kristus dan Gereja menjadi model bagi perkawinan orang-orang Kristen. Persatuan dalam hubungan seks antara suami dan istri mengekspresikan sikap saling menyerahkan diri secara total  dalam komitmen perkawinan. Sedangkan mereka yang dipanggil untuk menjalankan hidup selibat mengekspresikan relasi cinta antara Kristus dan Gereja  dalam penyerahan diri mereka kepada umat Allah.
7. Imamat (Priesthood). Imamat umum dalam Gereja dianugerahkan kepada semua orang, termasuk kepada awam, melalui baptisan. Sedangkan  imamat khusus hanya diberikan kepada para imam Gerejani yang diterima dalam sakramen imamat. Semua orang kristen dipanggil untuk berpartisipasi dalam tiga tugas Kristus tersebut, yakni sebagai imam, nabi, dan raja karena mereka harus memberikan kesaksian akan Kristus sehingga hidup mereka pun sesuai dengan ajaran dan contoh Kristus sendiri. Berpartisipasi secara lebih khusus dalam ketiga tugas Kristus tersebut adalah mereka yang ditahbiskan, karena merekalah yang dipanggil untuk menjaga Gereja dalam kesatuan kebenaran yang berasal dari Yesus Kristus sendiri. Tugas mereka adalah mewartakan sabda Allah dengan wibawa tertentu, dan melayani sakramen-sakreman Gerejani. Bertindak atas nama Gereja, para imam mempersembahkan doa dan ekaristi.
8. Primacy dan Kolegialitas. Pelayan kegembalaan dalam level yang tertinggi adalah para Uskup, yang bersatu dalam kesatuan kolegialitas dibawah pengganti Petrus. Bagi YP II, kesatuan di antara para Uskup perlu dibangun dalam semangat kolegalitas. Melalui berbagai sinode, pertemuan episkopal para Uskup membangun solidaritas di antara mereka dengan Roma sebagai pusat kesatuan. Melalui kegiatan kolegalitas, mereka membantu paus dalam menjalankan tugas pengembalaan umat. Untuk mencegah klerikalisme yang tidak sehat, maka secara mendasar kepemimpinan dalam hierarki berkarakter sebagai hamba. Hierarki ada  untuk seluruh Gereja dan semua pelayanan para gembala Gereja dikerahkan untuk meningkatkan kekudusan, yang adalah tujuan akhir dari pelayanan Gereja.
9. Misi (Mission). Seperti Yesus sendiri, Gereja diutus ke tengah dunia untuk menjalankan karya keselamatan Allah. Berarti selalu dalam kerangka misi. Setiap orang kristen perlu terlibat dalam rasa tanggung jawab yang sama, sesuai dengan panggilan hidup yang diemban. Misi selalu dikaitkan dengan evangelisasi dan humanisasi. Menurut YP II, kedua hal ini tidak bisa dipisahkan.  Keduanya bagaikan dua sisi dari uang logam. Dunia tidak dapat mencapai kesatuan dan kedamaian kecuali hidup dalam kebenaran; yang secara penuh ditemukan dalam diri Yesus Kristus. Humanitas tidak dapat dicapai kecuali melalui transformasi personal dalam Kristus, dengan partisipasi dalam kekudusan-Nya. Sadar akan hal ini, YP II  berani menantang dunia untuk tidak takut, tetapi sebaliknya membuka pintu lebar-lebar bagi Yesus Kristus.
10.   Evangelisasi (Evangelization). Bagi YP II evangelisasi adalah keseluruhan proses untuk membawa dunia  agar sadar dan taat pada Kristus sebagai penebus, yang melalui-Nya pencipataan dapat menemukan kepenuhannya. Tanggung jawab dalam menyebarkan Injil dan pelayanan sakramen-sakramen adalah mereka yang tertahbis. Namun bagi YP II kaum tertahbis juga harus merangsang dan mengarahkan umat dalam proses evangelisasi. Dengan demikian, kaum awam juga dipanggil untuk menjalankan evangelisasi melalui kesaksian hidup mereka mengenai Kristus.
11.  Humanisasi (Humanization). YP II menggambarkan dunia saat ini dipenuhi dengan bahaya kelaparan, anak-anak yang tidak diperhatikan, dan orang-orang dewasa yang hidup dalam kecemasan politik dan petaka ekonomi. Gereja dipanggil untuk bekerja sama dalam membangun sebuah  ”peradaban cinta” sebagaimana dikatakan oleh Paus Paulus VI. Di dalamnya termasuk karya untuk menggalang perdamaian, solidaritas antar umat manusia dan bangsa, keadilan serta Hak Asasi Manusia.
12.  Ilmu Pengetahuan Sosial dan Alam (Social and Natural Sciences). Bagi YP II hal yang paling mendasar adalah hak asasi dari setiap individu yang kudus dan tidak boleh dilecehkan.  Termasuk di dalamnya kebebasan atas suarah hatinya dan memeluk agama. Individu-individu menyempurnakan diri mereka sendiri dengan mencari kebenaran dan integritas moral dalam masyarakat, sambil saling melayani satu dengan yang lainnya. Masyarakat yang autentik pada saat ini diancam oleh arus utilitarianisme dan kolektivisme yang melihat pribadi manusia seperti barang. Untuk kaum awam, prinsip umum dalam menegakkan hak asasi manusia adalah dengan melibatkan diri dalam berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat, yakni dalam bidang politik, bisnis, dan profesi-profesi sekular lainnya. Sementara para pemimpin Gereja harus mengingatkan kaum awam akan tanggung jawab mereka dalam membawa suka cita Injil di tengah dunia yang mengalami perubahan yang begitu cepat.
13.  Kritik terhadap budaya-budaya (Critiques of Cultures). Dalam pandangan YP II, Injil tidak dapat diteruskan kepada setiap individu dan masyarakat, kecuali telah terinkarnasi dan berbicara sesuai dengan konteks budaya. Budaya Eropa Barat, walaupun dalam masa silam berada di puncak kejayaan, tidak lagi mampu mencukupi Gereja dunia. Setiap sektor budaya, termasuk di Asia dan Afrika, memiliki kontribusi yang berarti dalam menyebarkan Kristus sebagai penebus. Dengan menanamkan Injil dalam aneka budaya, Injil terpelihara sambil memurnikan budaya-budaya tersebut, serta menambah hal yang mungkin kurang dalam budaya tersebut. Dalam tulisan-tulisannya, YP II secara kontras membedakan dua kebudayaan yang berbeda, yakni budaya kematian dan budaya kehidupan. Yesus datang ke dunia agar setiap pria dan wanita memiliki hidup dalam kelimpahan. Dengan demikian, Kristianitas juga memiliki komitmen akan budaya kehidupan. Agar bisa menggemakan budaya kehidupan maka perlulah kembali menatap kebenaran sejati dari Allah. Ini berkebalikan dengan masyarakat yang mengagungkan budaya konsumeris, mode, dan hiburan. Dalam kultur konsumerisme, manusia menganggap bahwa dirinya sendiri adalah sumber kebenaran. Manusia mencari kebebasan tanpa tanggung-jawab. Bahkan dalam kultur demikian manusia jatuh ke dalam semangat hedonisme. Untuk konteks seperti ini, Gereja dipanggil untuk memberikan evangelisasi tidak hanya kepada individu-individu, tetapi juga kepada budaya-budaya dari masing-masing individu tersebut.
14.  Harapan (Grounds for hope). Di tengah budaya kematian, paus tidak putus asa. Gerakan cinta damai, keadilan, hak asasi manusia dan perlindungan terhadap lingkungan hidup terus dikumandangkan. Dalam harapan akan pencapaian kesatuan yang lebih besar dalam kebenaran, YP II secara tetap melakukan undangan untuk berdialog dengan Gereja-Gereja lain, dengan agama-agama besar di dunia, dan bahkan dengan mereka yang tak beragama. Dialog-dialog tersebut dutujukan untuk kesatuan dalam kepenuhan kebenaran.
15.  Kedatangan Milenium ketiga (The Coming Millennium). YP II mendefinisikan kepausannya  dalam bingkai datangnya Milenium Ketiga atau merayakan tahun Yubulium Agung Kelahiran Yesus Kristus. Sebagaimana setiap masa advent, kesempatan menyongsong Yubilium Agung menjadi kesempatan untuk berdoa dan bertobat. Sadar akan segala kegagalan masa lalu dan sekarang, orang Katolik diajak untuk saling mengampuni, menatap ke depan dengan penuh harapan sambil membaharui keyakinan kepada Roh Kudus, yang melaluinya Yesus dilahirkan dari kandungan seorang perawan.

4.             Antropologi yang Kristosentris sebagai Inti  Teologi Yohanes Paulus II
         Inti pokok pemikiran YP II  adalah menempatkan pribadi manusia sebagai subyek yang diciptakan secitra dengan Allah-tercipta menurut gambar dan rupa pencipta. Rocco Buttiglione, filsuf dan politisi dari Italia dalam telaahnya atas pemikiran YP II menggarisbawahi bahwa satu kata kunci pemikiran YP II (baik sebelum maupun ketika menjadi Paus) adalah ”pribadi. [26] Bagi YP II  manusia adalah seorang pribadi. Hakikat dan jati diri manusia menurut pandangan YP II tak tergantikan. Refleksinya atas pribadi manusia tidak terlepas dari iman Kristiani yang berakar pada kasih. Pribadi manusia tidak ditempatkan sebagai obyek, tetapi sebagai ciptaan yang  di dalam dirinya memiliki dimensi ilahi. Dengan demikian, YP II menolak secara tegas praktek instrumentalisasi dan alienasi terhadap manusia. Hal ini juga tercermin dalam pandangannya tentang TOB yang akan didalami dalam bab II. Sebagai pengganti Petrus, YP II mengembalakan kawanan anggota Gereja supaya dapat bertumbuh dalam iman kepada Yesus Kristus yang adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan (bdk. Yoh. 14: 6). Tidak heran dalam ensiklik pertamanya, dia menulis,Jalan masuk bagi Gereja adalah manusia.” (RH art. 14).           
          Dia menandaskan bahwa manusia dapat benar-benar menemukan dirinya  dalam relasi dengan Kristus. Manusia dapat menyingkapkan misteri hidupnya melalui misteri manusia Yesus Kristus. Dalam arti bahwa dengan mengenal Kristus manusia dapat mengenal misteri hidupnya sebagai manusia.[27] Tampak bahwa YP II dengan setia mengulangi kembali apa yang diajarkan dalam KV II, secara khusus dalam GS art. 22. Tidak heran dalam banyak karyannya, termasuk dalam TOB dia menggemakan pokok ini secara berulang-ulang. Dapat dikatakan bahwa teologi YP II adalah teologi yang berangkat dari manusia dan berkat Kristus menuju Allah. Dengan demikian teologinya bericiri  antropologis yang kristosentris.

5.             Yohanes Paulus II Guru bagi  Keluarga dan  Perkawinan Kristiani
          Dalam awal bab ini kami telah memberikan pertanyaan penuntun: Mengapa YP II disebut sebagai guru bagi keluarga dan perkawinan Kristiani? Bagi mereka yang kurang mengenal ajaran YP II mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin YP II yang tidak pernah membangun hidup berkeluarga disebut sebagai  guru bagi keluarga Kristiani?
          Deshi Ramadhani menulis, “Untuk mengetahui bahwa membunuh itu jahat dan dosa, orang tidak usah menjadi seorang pembunuh terlebih dahulu.” [28] Argumentasi yang sama bisa dipakai untuk menjawab  pertanyaan di atas.  Untuk berbicara dengan baik tentang keluarga, orang tidak harus berkeluarga dahulu baru bisa berbicara mengenai hidup berkeluarga. Albertus Sujoko menulis, “Barangkali orang yang tidak berkeluarga justru bisa melihat secara lebih jeli tentang hidup berkeluarga karena ia memiliki posisi sebagai seorang pengamat  yang berasal dari luar lingkup keluarga itu sendiri.”[29] Oleh karena itu, walaupun YP II tidak membangun hidup berkeluarga, dia bisa berbicara banyak tentang keluarga dan perkawinan Kristiani. Dia pantas disebut guru bagi keluarga-keluarga Kristiani. Ada banyak karya tulis yang lahir dari buah penanya, secara khusus yang membahas mengenai hidup berkeluarga dan perkawinan Kristiani.
          Berikut ini akan dipaparkan secara representatif beberapa poin penting mengenai keluarga atau perkawinan Kristiani yang dibahas oleh YP II. Dia menuangkan gagasan-gagasan penting mengenai keluarga dan perkawinan Kristiani melalui berbagai audiensi, ensiklik, khotbah, maupun surat, dan banyak kesempatan lainnya, sebagaimana dalam ulasan representatif berikut ini.

5.1         Familiaris Consortio (FC)[30]
          Familiaris Consortio (FC) adalah Himbauan atau Amanat Apostolik YP II yang  dikeluarkan pada tanggal 22 November 1981. Menarik bahwa FC dikeluarkan pada saat dia belum lama menduduki tahta Petrus. Hal ini mau menunjukkan bahwa aspek hidup  berkeluarga atau perkawinan Kristiani menjadi salah satu topik yang sungguh-sungguh dia perhatikan. FC dikeluarkan berdasarkan permintaan para peserta Sinode Para Uskup yang berlangsung di Roma sejak tanggal 26 September sampai 25 Oktober 1980. Pada akhir Sinode itu para Uskup menyampaikan” Pesan bagi keluarga-keluarga  Krisitini  sedunia”, dan suatu dokumen yang berisi “43 Usulan” untuk diperhatikan oleh Bapa Paus dalam penyusunan Amanat Apostoliknya. Walaupun dengan gaya bahasa dan perumusan yang baru, sebenarnya ajaran YP II dalam FC menegaskan kembali ajaran tradisional Gereja Katolik tentang perkawinan dan hidup berkeluarga Kristiani, bahwa perkawinan merupakan persekutuan cinta yang utuh dan setia seorang laki-laki dan perempuan, yang diangkat menjadi sakramen.
          Apa isi Himbauan Apostolik FC ini? Tentu dalam kesempatan ini tidak diuraikan secara panjang lebar isi dari FC. Kami hanya mengangkat  beberapa poin sebagai berikut.  Salah satu topik yang diangkat adalah mengenai orangtua menurut FC. Misalnya dalam FC 15, YP II memuat ulasan mengenai persatuan antarpribadi dalam perkawinan. Melalui hubungan itu setiap pribadi dihantar masuk ke dalam keluarga manusia dan ke dalam ”keluarga Allah” yakni Gereja. Dalam FC 18 ditekankan cinta sebagai dasar dan tujuan dari persatuan antarpribadi dalam sebuah perkawinan. Dengan demikian jika tanpa cinta, perkawinan bukanlah persatuan antarpribadi. Tanpa cinta, keluarga tidak dapat hidup dan menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi.
          Dalam FC 19 digarisbawahi mengenai persatuan utuh suami istri. Persatuan yang utama dalam perkawinan adalah persatuan yang terjadi dan berkembang di antara suami istri. Melalui janji perkawinan, pria dan wanita ”tidak lagi dua melainkan satu” dan mereka dipanggil untuk senantiasa menumbuhkan persatuan mereka dengan selalu setia pada janji perkawinan itu, yakni untuk saling memberikan diri secara menyeluruh.
          Dalam FC 22-24 ditekankan mengenai hak dan peran wanita. FC 22 menggarisbawahi pentingnya kesederajatan  martabat dan tanggung jawab antara pria dan wanita. Kesamaan derajat ini diwujudkan secara unik dalam pemberian diri timbal balik antara pria dan wanita sebagai suami istri maupun antara orangtua dan anak. Selanjutnya FC 25 menggarisbawahi pria sebagai suami dan ayah. Di dalam persatuan suami istri atau perkawinan, pria dipanggil untuk menghayati kharisma dan peranannya sebagai suami atau ayah. Cinta kepada istri dan anak-anak merupakan suatu cara kodrati untuk memenuhi peranannya sebagai ayah.

5.2          Khotbah-Khotbah mengenai Keluarga dan Perkawinan Kristiani [31]
          Dalam kesempatan berziarah ke berbagai daerah di dunia, YP II juga memberikan khotbah-khotbah yang menarik. Beberapa khotbah mengenai perkawinan dan keluarga Kristiani dapat dilihat sebagai berikut.

5.2.1   Khotbah di San Fransisco, 1987
        Dalam kesempatan berkunjung ke San Fransisco pada tahun 1987, YP II mengungkapkan beberapa gagasan penting dalam khotbahnya tentang keluarga. Dia berkata,
Kesaksian akan Kristus dari seluruh komunitas Kristiani mempunyai dampak lebih besar daripada kesaksian perorangan. Betapa pentingnya kesaksian Injili setiap komunitas Kristiani, tetapi terutama yang paling dasar dari semuanya, yakni keluarga Kristiani. Menghadapi banyak kejahatan umum, keluarga Kristiani yang sungguh menghayati kebenaran Injil dalam kasih tentu merupakan tanda pertentangan; pada saat yang sama, itu merupakan sumber pengharapan yang besar bagi mereka yang berhasrat melaksanakan kebaikan.[32]

          Berdasarkan isi khotbah tersebut kita bisa melihat bahwa YP II memberi harapan yang besar pada keluarga sebagai agen dalam memberikan kesaksian Injili. Dengan demikian keluarga bukanlah penonton pasif berhadapan dengan kenyataan dunia di sekitar, melainkan sebagai tanda pertentangan dan sumber pengharapan bagi mereka yang berhasrat untuk melaksanakan kebaikan.

5.2.2   Khotbah di Santa Clara, Kuba, 1998
        Dalam kunjungannya ke Kuba pada tahun 1998 dia berkesempatan memberikan khotbah tentang perkawinan. Dia berkata,
Perkawinan dengan cirinya sebagai persatuan yang eksklusif dan permanen, adalah suci karena asalnya dari Allah. Orang-orang dalam menerima sakramen perkawinan mengambil bagian dalam rencana kreatif Allah dan menerima rahmat yang mereka perlukan untuk melaksanan tugas perutusan untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, dan untuk menjawab panggilan kepada kesucian. Perkawinan adalah persatuan yang berbeda dengan persatuan masyarakat manusia yang lain, karena berdasar pada saling memberi dan menerima antara suami dan istri untuk menjadi ”satu daging”(Kej 2: 24), hidup dalam komunitas hidup dan kasih, panggilan menjadi ”kenisah kehidupan”. Oleh Persatuan yang dilandasi kesetiaan dan ketahanan, pasangan itu menyumbang bagi kebaikan lembaga keluarga dan menunjukkan bahwa seorang pria dan wanita mampu memberikan diri mereka kepada satu sama lain untuk selamanya. [33]
           
          Berdasarkan khotbahnya ini, kita dapat melihat beberapa poin penting yang digarisbawahi oleh YP II mengenai perkawinan, yakni:
·     Perkawinan sebagai sebuah communio (persekutuan) yang suci.
·     Communio itu berasal dari Allah.
·     Yang terlibat dalam perkawinan ikut ambil bagian dalam rencana Allah yaitu mengambil bagian dalam tugas perutusan untuk membesarkan dan mendidik anak-anak yang dilahirkan.
·     Communio tersebut didasarkan pada saling memberi dan menerima antara suami dan istri.
·     Communio tersebut dilandasi semangat kesetiaan dan ketahanan untuk saling memberikan diri  selamanya.

5.2.3   Khotbah di Kolumbia, Karolina Selatan, 1987
        Pada tanggal 10-20 September 1987, YP II memenuhi undangan para Uskup Regio Selatan dan Barat Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan mengenai masalah pluralisme, migrasi dan sekularisme. Dalam kunjungannya ke Kolumbia, Karolina Selatan pada tanggal 11 September 1987, dia menyampaikan khotbahnya dengan tema ”keluarga sebagai Gereja domestik”. Tema ini diangkat sebagai respon atas masalah pluralisme, migrasi dan sekularisme yang melanda wilayah Kolumbia  pada saat itu. Bagaimana isi khotbahnya? Dia berkata,
Masyarakat masa kini sangat memerlukan kesaksian pasangan-pasangan suami istri yang bertahan dalam persatuan mereka sebagai ”tanda” yang mengesankan, meskipun kadang-kadang menderita, dalam kondisi manusiawi dari kesetiaan kasih Allah. Dari hari ke hari pasangan-pasangan Kristen yang menikah dipanggil untuk membuka hati mereka terhadap Roh Kudus, yang kekuatan-Nya tidak pernah gagal dan memampukan mereka untuk saling mengasihi satu sama lain sebagaimana Kristus mengasihi kita.[34]
         
        Pada kesempatan yang sama dia menandaskan bahwa keluarga adalah ”Gereja mini” yang dengan caranya sendiri merepresentasikan persatuan kasih abadi dari tiga pribadi Tritunggal Mahakudus dalam sejarah manusia. Selain itu, keluarga juga harus menjadi tempat di mana Injil disampaikan. Keluarga Kristiani juga dipanggil untuk  menyinari keluarga-keluarga lain dan seluruh masyarakat.[35]

5.2.4   Khotbah di Swaziland, 1988.
        Pada tanggal 16 September 1988 YP II berkesempatan mengadakan perayaan ekaristi kudus di stadion Samhlolo, Swaziland. Dia menyampaikan khotbah yang menitikberatkan pada kewajiban setiap orang untuk mengusahakan perdamaian. Baginya perdamaian perlu dimulai dalam setiap keluarga yang dibangun atas dasar cinta dan kesetiaan.
        Dia berkata,Sebagaimana keluarga kudus Nazareth, setiap keluarga di Swaziland, juga setiap keluarga di seluruh dunia, dibangun atas dasar kasih dan ada untuk mengasihi.[36] Dengan demikian, baginya cinta antara suami dan istri merupakan hal yang sangat penting.


5.3         Surat kepada Keluarga-Keluarga
          Pada tahun 1994 YP II mengeluarkan Surat kepada keluarga-keluarga. Pada tahun itu juga  PBB menetapkan sebagai Tahun Internasional Keluarga. Surat tersebut ditulis bukan secara ”abstrak” tetapi kepada setiap keluarga di segala penjuru dunia. Isi surat tersebut pertama-tama adalah sebuah doa  kepada Kristus, supaya tetap tinggal dalam setiap keluarga. Ditekankan pula bahwa doa harus menjadi unsur yang pokok dalam Tahun Keluarga dari Gereja: doa oleh keluarga, doa untuk keluarga, dan doa bersama dengan keluarga. Dalam doa manusia dapat menemukan secara sangat sederhana dan mendalam subyektivitasnya (aku-nya) sendiri yang unik: di dalam doa ”aku” yang manusiawi dengan lebih mudah menangkap sedalam-dalamnya apa artinya menjadi manusia. Hal ini juga berlaku untuk keluarga, yang tidak hanya merupakan sel dasar masyarakat, tetapi juga memiliki suatu subyektivitasnya sendiri yang khusus.[37]
          Dengan melihat penegasan-penegasan yang disampaikan oleh YP II mengenai keluarga dan perkawinan Kristiani sebagaimana diungkapkan dalam surat, himbauan apostolik FC, dan khotbah-khotbahnya, kita dapat menyebutnya sebagai guru bagi  keluarga dan perkawinan Kristiani. Kalau kita menjejaki lebih jauh lagi, ternyata perhatian terhadap keluarga dan perkawinan Kristiani sudah  diperhatikan secara serius oleh YP II dalam lima tahun pertama masa kepausannya. Carl Anderson menunjukkan bukti-bukti tersebut sebagai berikut:[38]
1.        The Theology of the Body (1979-1984).
2.        Synod on the Family (1980)
3.        Pontifical Council for the Family (1981)
4.        Familiaris Consortio (1981)
5.        John Paul II Institute (1981)
6.        Charter of the Rights of the Family (1983)
7.        New Ordering of Marriage law in the 1983 Code of Canon Law.

          Jauh sebelum menjadi paus pun dia telah begitu konsern terhadap aspek hidup perkawinan Kristiani. Hal ini tercermin dalam bukunya yang berjudul Love and Responsibility. Salah satu gagasan penting dalam buku itu adalah pembahasan tentang definisi cinta antara suami-istri. Bagaimanakah definisi cinta menurut YP II? Menurutnya cinta adalah antitesis dari ingat diri (selfish). Dia menulis,
Kita telah membuat definisi tentang cinta sebagai ambisi menjamin kebaikan sejati seorang pribadi yang lain, dan karenanya (cinta) merupakan antitesis untuk egoisme. Karena di dalam pernikahan seorang lelaki dan seorang perampuan saling terlibat secara seksual maupun di dalam hal-hal lain, kebaikan itu pun harus dicari di wilayah ini. Dari sudut pandang pribadi yang lain, dari sudut pandang altruistik, perlulah ditekankan bahwa persetubuhan tidak boleh menjadi melulu sebuah alat untuk membiarkan gairah seksual mencapai klimaksnya dalam diri salah satu pihak, misalnya hanya dalam diri  laki-laki. Klimaks harus dicapai dalam harmoni, tidak dengan mengorbankan salah satu pihak, tetapi dengan keduanya terlibat secara penuh. [39]

6.             Kesimpulan
          Berdasarkan urain di atas ada beberapa kesimpulan berikut ini. Pertama, YP II lahir di Polandia dan dibesarkan serta dididik oleh keluarga yang benar-benar religius. Bagi kami gagasan YP II yang segar dan mendalam tentang hidup berkeluarga juga mengekspresikan pengalaman pribadinya di dalam keluarga. Nilai-nilai yang sama selanjutnya juga diajarkan kepada keluarga-keluarga Kristiani baik sebelum maupun ketika menjadi Paus Katolik Roma ke-264.
          Kedua, pemikiran teologis YP II sangat luas cakupannya. Salah satu poin yang diangkat adalah mengenai hidup berkeluarga dan perkawinan Kristiani. Dalam berbagai pemikirannya tentang keluarga dan perkawinan Kristiani, dia menitikberatkan pada makna terdalam dari keluarga, di antaranya adanya saling memberi, menjadi saksi Injili di tengah-tengah dunia, dan menjadi agen perdamaian di bumi. Dia pantas disebut sebagai guru bagi keluarga dan perkawinan Kristiani. Walaupun YP II adalah seorang selibater namun bukan berarti dia tidak bisa berbicara dengan baik tentang keluarga.  Alasannya adalah orang tidak harus berkeluarga dahulu baru bisa berbicara mengenai hidup berkeluarga. Justru orang yang tidak berkeluarga, termasuk YP II bisa melihat secara lebih jeli tentang hidup berkeluarga karena mereka  memiliki posisi sebagai seorang pengamat  yang berasal dari luar lingkup keluarga itu sendiri.


[1]Ulasan pada bagian ini diambil dari beberapa sumber sebagai berikut: Stefanus Suryanto, Santo Subito. Mengenang Saat-Saat Terakhir Yohanes Paulus  II (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2008); Terry Ponomban, In Loving Memory of John Paul II (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2005); Michael Walsh, John Paul II (London: Harper Collins Publishers, 1994); Alison Behnke, Biography Pope John Paul II (Minneapolis: Lerner Publications Company, 2006); George E. Stanley, Pope John Paul II. Young Man of the Church (New York: Simon & Schuster Children’s Publishing Division, 2005); Avery Dulles,“John Paul II Theologian,” dalam Communio International Review  24/3 (Winter 1997).

[2]Bdk. Suryanto, Santo Subito. Mengenang Saat-Saat Terakhir Yohanes Paulus  II, hlm. iii. 
[3]Wadowice adalah sebuah kota yang pada waktu itu jumlah penduduknya sekitar 15.000 orang. Kota ini terletak di kaki pegunungan Beskidy. Lih. Walsh, John Paul II, hlm. 2.
[4]“Lolek” ternyata hanya nama panggilan di dalam rumah saja (untuk keluarganya sendiri). Terbukti pada hari pertama masuk Sekolah Dasar, ketika bertemu dengan Jan dan Michael Poloniecki dia memperkenalkan diri dengan nama : Karol Józef Wojtyła. Bdk. Stanley, Pope John Paul II. Young Man of the Church, hlm. 52. 
[5]Edmund adalah seorang dokter di Rumah Sakit Bielsko, yang meninggal karena terjangkit dari pasiennya (penyakit scarlet fever).  Bdk. Walsh, John Paul II, hlm. 4.
[6]“It was a basement flat, small, dark and gloomy.Ibid., hlm. 5.
[7]“If you want to be a priest, then you must know about other things than soccer.” Lih. Stanley, Pope John Paul II. Young Man of the Church, hlm. 53.
[8]Bdk. Walsh, John Paul II, hlm. 5.
[9]Bdk. Garry O’Connor, Universal Father. A Life of John Paul II (New York, London: Bloomsbury Publishing, 2005), hlm. 109.
[10]Bdk. Behnke, Biography Pope John Paul II, hlm 26-28.
[11]Bdk. Gian Fanco Svidercoschi, Stories of Karol. The Unkonwn Life of John Paul II (Italia: Liguori Publications, 2003), hlm. 56.
[12]Lih. Dulles, “John Paul II Theologian”, hlm. 714.
[13]Ibid
[14]“As bishop he continued to work closely with youth groups, and it was partly out of the experience that he developed the ideas for his book, Love and Responsibility. Ibid., hlm.715.
[15]Ibid,. hlm. 715-716.
[16]Ibid., hlm.717-718.
[17]Pemberitahuan secara resmi gelar Paus YP II “yang agung” disampaikan oleh Kardinal Angelo Sadono, Sekretaris Negara Vatikan dalam sebuah misa kudus pada tanggal 3 April 2005. Bdk. Stefanus Suryanto, Santo Subito. Mengenang Saat-Saat Terakhir Yohanes Paulus II, hlm. iii.
[18]Lih. Giovanni Paolo II, E La Mobilita Umana. On the Move Anno XIV-Avril 1984 (Vaticana: Pontificia Commisio de Spirituali Migratorum atque Itinerantium Cura, 1984), hlm. 6-12.
[19]Bdk.  Achille Silvestrini dalam kata pengantar buku Pope John Paul II, A Pilgrim Pope, edited by  Cardinal Achille Silvestrini and Jerome M. Vereb (New York: Gramercy Books, 1999), hlm. ix
[20]David Aikman menyejajarkan YP II dengan tokoh-tokoh besar dunia lainnya seperti Muder Teresa dan Nelson Mandela. Dia melihat adanya kesamaan di dalam tokoh-tokoh besar dunia tersebut, yakni: memiliki “Great Soul.Mereka memiliki kualitas watak yang besar dan pencapaian yang unggul dalam bidang yang diemban. Lih.  David Aikman, Orang-Orang Besar. Paus Yohanes Paulus II tentang Martabat Manusia, terj.  Antowibowo Sutanto (Batam: Interaksara, 2002), hlm. 13.  
[21]Salah satu syarat agar seseorang menjadi beato adalah mukjizat yang terjadi karena orang berdoa kepada Tuhan dengan perantaraannya. Untuk YP II, mukjizat itu terjadi pada seorang biarwati yang bernama Sr Marie Simon-Pierre dari Konggregasi Little Sisters of Catholic Motherhood di Perancis. Pada tahun 2001, Suster Marie didiagnosa mengidap penyakit Parkinson,  jenis penyakit yang sama diderita oleh YP II saat-saat terakhir hidupnya. Atas permintaan superiornya, dia berdoa kepada YP II. Doanya tersebut membuahkan mukjizat kesembuhan dari sakit Parkinson dan  akhirnya bisa bekerja kembali. Paus Benediktus XVI mengakui kesembuhan suster tersebut sebagai  sebuah mukjizat yang diperlukan untuk proses beatifikasi YP II. Bdk. Sylvia Marsidi, “Mukjizat  Yohanes Paulus II” dalam Hidup 65 (1 Mei 2011), hlm. 12.
[22]Bdk. Yohanes Risdiyanto, “ Roma, Saksi Abadi “Santo Subito.” Ibid, hlm. 8-9
          [23]YP II  mengerjakan 14 ensiklik, 15 anjuran apostolik, 11 konstitusi apostolik, 45 surat pastoral, 31 motu proprio [dokumen atas inisiatifnya sendiri], serta homili dan pidato yang tak terbilang jumlahnya. Dari karya-karyanya tersebut, dia juga berbicara mengenai masalah hidup berkeluarga.
[24]“The teaching of Karol Wojtyla, before and since he became  pope,  has been vast and many-faceted. He writes as a philospoher, a theologian, and a pastor. As a bishop and pope he has sought to carry out faithfully the agenda set forth by Vatican II. As a scholar he has roots deep in the tradition, and remains in many aspects the faithful disciple of Thomas Aquinas and John of the Cross, both of whom he studied in depth. But he is also at home with new currents in personalist phenomenolog. A man of deep faith and prayer, he has broad interests in literature, science, politics, and social studies. It is scarcely possible to bring this great variety of interests and concerns into any kind of schematic unity.” Lih. Dulles, “John Paul II Theologian,” hlm. 718.
[25]Ibid., hlm. 719-727.

[26]T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 6-7.
[27]Bdk. Albertus Sujoko, Identitas Yesus & Misteri Manusia. Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 191.
[28]Lih. Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku, hlm. 17.
[29]Lih. Albertus Sujoko, Teologi Keluarga. Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris Consortio (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 16.
[30]Bisa digali lagi secara lebih mendalam dengan membaca sumber-sumber ini: Yohanes Paulus II, Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern. Amanat Apostolik Familiaris Consortio, terj. A. Widyamartaya  (Yogyakarta: Kanisius, 1994); I Wawang Setyawan, S.S. Tantangan Menjadi Orangtua yang Efektif menurut Familiaris Consortio (Yogyakarta: Yayasan Pustakan Nusatama, 2010); Albertus Sujoko, Teologi Keluarga. Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris Consortio (Yogyakarta: Kanisius, 2011).

[31]Isi khotbah YP II tentang  keluarga dan perkawinan bisa juga dilihat dalam buku Paus YP II, Dalam Kata-Kataku Sendiri. Anthony F. Chiffolo (ed),  terj. A. S. Hadiwiyata (Jakarta: Obor, 2000), hlm. 60-67.
[32]Ibid., hlm. 60.
[33]Ibid., hlm. 62.
[34]Ibid., hlm. 62-63.
[35]Bdk. Pope John Paul II, A Pilgrim Pope, hlm. 151.
[36]Like the Holy Family of Nazareth, every family in Swaziland, every family in the world, is  built on love and exists for love.”  Ibid., hlm. 164.
[37]Lih Paus Yohanes Paulus,  Surat kepada Keluarga-Keluarga, Seri Dokumen Gerejawi No. 34, terj. J. Hadiwikarta. Ed. Alfons S. Suhardi, OFM (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), hlm. 9-12.
[38]Terkutip dalam catatan kaki no. 8 oleh Michael Waldstein dalam kata pengantar  buku John Paul II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body. Translation, Introduction, and Index by Michael Waldstein (Boston: Pauline Books and Media, 2006), hlm. 4.
[39]Terkutip dalam Deshi Ramadhani SJ, Lihatlah Tubuhku, hlm. 18.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug