Tidak
dapat disangkal bahwa tulisan yang
mengulas hidup dan pribadi YP II cukup banyak, baik melalui media cetak maupun
media elektronik. Bukan tanpa sebab begitu banyak orang menulis kisah perjalanan
hidupnya. Salah satunya adalah untuk menggali kekayaan spiritual yang terpancar dalam dirinya.[2] Pada bagian ini kami
akan secara ringkas mendeskripsikan
kembali riwayat hidup YP II yang kami peroleh dari berbagai sumber. Ulasan
mengenai riwaya hidup YP II tampak dalam poin-poin sebagai berikut.
1.1
Lolek si Yatim Piatu
YP
II memiliki nama asli Karol Józef Wojtyła. Dia
dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1920
di Wadowice, [3] Polandia
Selatan dari pasangan Karol Wojtyła
dan Emilia Kaczoronowska. Menarik bahwa ternyata dia dilahirkan pada
saat usia ibunya sudah tidak muda lagi. Saat itu ibunya berusia 40 tahun dan
dalam keadaan mengidap penyakit jantung. Tetapi Emilia ibunya, tetap berani
memilih mangandung dan melahirkan bayi yang kelak menjadi paus ke 264 ini.
Satu bulan setelah kelahirannya, tepatnya pada tanggal 20 Juni 1920, dia
dipermandikan oleh pastor kapelan tentara yang bernama Franciscezek Zak.
Keluarganya
termasuk
keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang tentara pada Kekaisaran
Habsburg Austria. Kemudian
pada masa pensiunnya, yakni setelah Polandia merdeka ia
bekerja
sebagai staf administrasi pada Infantri Regiment ke-12 Polandia. Ayahnya
ini sering disapa letnan. Dia dikenal sebagai orang yang serius dan baik hati.
Di samping itu, dia dikenal sebagai seorang yang memiliki rasa tanggung jawab,
menjunjung tinggi keadilan, dan menaruh hormat kepada keluarga dan orang-orang
di sekitarnya. Sedangkan ibunya yang sebelum menikah telah menjadi seorang
guru, tinggal di rumah untuk menjaga keluarganya. Namun karena kesehatannya
terganggu, dia sering terbaring di tempat tidur.
Ayahnya dan Karol sendiri
memiliki nama yang sama. Oleh karena itu, untuk membedakan keduanya,
Maka YP II semasa kecil sering disapa Karol Junior atau Lolek.[4] Sedangkan
ayahnya sering disapa Karol senior atau letnan. Karol
Senior sebelumnya tinggal di Czane, dekat Andrychow. Sementara Emilia sendiri
berasal dari Silesia. Setelah menikah dengan Emilia, Karol Senior menetap di
Wadowice.
Sisi kehidupan pada masa kecil
Lolek atau Karol Junior tidak seindah
rekan-rekanya yang lain. Pada tahun 1941, dia
sudah kehilangan semua anggota
keluarganya. Dengan kata lain, sejak tahun 1941 dia menjadi anak yatim
piatu. Ibunya meninggal pada saat Lolek
masih berumur 9 tahun, yakni tanggal 13 April 1929. Ayahnya meninggal pada
tahun 1941 akibat serangan jantung. Inilah pengalaman kehilangan terakhir akan
orang-orang yang dicintainya, setelah kakaknya Edmund yang meninggal pada
tanggal 5 Desember 1932.[5]
Sedangkan Olga kakak perempuannya, tidak pernah ia lihat wajahnya karena
meninggal beberapa hari setalah
lahir.
1.2
Masa Pendidikan Awal Lolek
Pada tahun 1926 ketika berumur 6 tahun, Lolek memasuki Sekolah Dasar yang berada
dekat dengan aparteman tempat tinggalnya. Di sekolah dia termasuk murid yang
populer, baik di kalangan teman-teman maupun para gurunya karena kecerdasannya.
Setelah lulus Sekolah Dasar, dia memasuki pendidikan setingkat SMP (Marcian
Wadowita High School ) pada tahun 1934. Dia juga termasuk siswa yang cemerlang
dalam semua mata pelajaran, termasuk pelajaran agama. Dia menguasai banyak
bahasa yakni Latin, Yunani, dan Jerman. Selanjutnya dia memasuki SMA yang juga
berada di Wadowice.
Lolek
menyelesaikan studinya setingkat SMA pada tahun 1938. Pada akhir masa sekolahnya di SMA, dia
dipilih untuk menyampaikan ucapan selamat datang kepada Kardinal
Sapieha, Uskup Agung Krakow yang mengunjungi Wadowice. Kardinal Sapieha yang
mendengarkan ucapan selamat datang tersebut
merasa sangat terkesan, sehingga mengharapkan Wojtyla menjadi imam.
Pada tahun 1938 Karol Junior bersama ayahnya pindah
ke Krakow untuk melanjutkan pendidikannya. Di sana bersama
ayahnya, Karol Junior tinggal dalam sebuah aparteman yang tidak layak. Michael Walsh menulis,” Itu adalah
sebuah apartemen bawah tanah yang gelap, kecil, dan suram.”[6] Di Krakow Karol
Junior masuk Perguruan Tinggi Jagellonica mengambil
jurusan bahasa Polandia sekaligus
mengikuti sekolah drama yang yang didirikan oleh Tadeusz Kudlinski. Sekolah
drama tersebut dikenal dengan nama ”Studio 38”. Di kampus ia juga aktif
dalam kegiatan sosial.
Kegiatan
studinya di Krakow tidak berlangsung lama sebab tahun 1940 masih dalam suasana
perang dunia II. Pada waktu itu Jerman dibawah Adolf Hitler menyerbu Polandia.
Tepatnya pada tanggal 1 September 1939, tank-tank Jerman dan pasukan infantri
mulai menyerbu Polandia bagian Barat, Utara, dan Selatan. Dua
hari kemudia Perang Dunia II dimulai. Kekaisaran Jerman menjalankan kekerasan
di Polandia. Orang-orang Polandia diperbudak dan dipandang lebih rendah dari
manusia. Hitler berpesan kepada para anak buahnya, bahwa orang Polandia
dilahirkan untuk menjadi pekerja kasar, dan tidak boleh ada perbaikan, dan
tidak diizinkan untuk bangkit. Nasib para mahasiswa pun tak bedanya dengan orang biasa.
Pemerintah Jerman mengeluarkan
Kartu Kerja. Orang Polandia yang tidak memiliki Kartu Kerja diseret untuk kerja
paksa.
Dalam
situasi seperti ini, pada bulan Februari 1940 Lolek bertemu dengan Jan
Tyranowski, seorang penjahit yang memiliki spiritualitas yang mendalam. Dia
memperkenalkan kepada Lolek karya-karya St. Yohanes dari Salib
dam St. Teresa dari Avila. Jan Tyranowski menjadi
guru spiritual yang sangat mempengaruhi iman Lolek. Selain memperkenalkan
karya-karya St. Yohanes dari Salib dan St. Teresa dari Avila, Tyranowski
mengikutsertakan Lolek dalam kelompok doa yang dibentuknya, yakni kelompok doa
Rosario dan Marian Solidity.
Pada
tanggal 1 November 1940 Lolek mulai
bekerja sebagai buruh batu di Zakrzowek milik perusahaan
kimia Solvay pada siang hari agar bebas dari deportasi dan kerja paksa.
Sedangkan pada malam harinya dia gunakan untuk belajar dan mengikuti
kuliah-kuliahnya sebagai mahasiswa. Walaupun penuh penderitaan, ia tetap memiliki
semangat
yang
tinggi.
Pada tahun 1941 Karol Józef Wojtyła pindah kerja di perusahaan kimia lainnya
yang tidak terlalu menguras
fisiknya.
1.3
Berasal
dari Keluarga yang
Religius, Disiplin serta Respek kepada Orang
Lain
Emilia dan Karol Senior mendidik
anak-anak mereka dalam agama Katolik Roma. Keduanya memiliki rasa cinta tanah
air yang besar dan termasuk orang tua
yang religius sebagaimana orang-orang Polandia pada umumnya pada waktu itu.
Bagi orang Polandia menjadi Katolik tidak dilepas-pisahkan dengan menjadi orang
Polandia. Orang-orang Polandia mempunyai kecintaan khusus kepada Bunda Maria.
Diyakni bahwa Bunda Maria adalah pelindung bagi bangsa Polandia. Maria sering
dipandang sebagai ”Queen of Polandia". Rumah
keluarga Wojtyła dihiasi gambar-gambar orang kudus pada dinding-dindingnya. Di
depan pintu rumah mereka disediakan air kudus yang
telah diberkati oleh pastor. Pada setiap hari Minggu, Letnan Karol Senior atau
Emilia membacakan Kitab Suci untuk
anggota keluarga. Mereka juga membiasakan anak-anak mereka
untuk membuat tanda
salib dan berdoa rosario. Doa menjadi bagian
harian dari keluarga ini.
Keluarga ini tetap menghargai agama
lain (kurang lebih 2000 penduduk Polandia beragama Yahudi). Pada waktu itu, di
Polandia berkembang sikap anti semitik. Gereja
sendiri telah berabad-abad mengajarkan bahwa semua orang Yahudi bersalah karena
wafat Yesus disebabkan oleh kekejiaan mereka. Walaupun demikian, keluarga
Wojtyla sendiri tetap memiliki sikap respek yang tinggi kepada orang-orang
Yahudi. Bahkan apartemen di mana mereka tinggal bersebelahan
dengan keluarga Yahudi.
Setiap hari Lolek memiliki
rutinitas atau acara yang tetap yaitu: misa kudus, sekolah, makan siang,
bermain, mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar. Jika ia terlihat bermain di
jalanan di luar waktu bermain, ia segera dipanggil oleh ayah atau ibunya.
1.4
Seorang
yang Memiliki Multi Talenta
Sejak kecil Lolek memiliki banyak
talenta yang menonjol. Dalam usia
sekolah dasar dia pada awalnya lebih menampakkan minat dalam bidang olah raga,
terlebih bola kaki. Dia adalah seorang penjaga gawang yang diandalkan
timnya. Melihat kenyataan ini ibunya
mendorong agar Lolek mencari bakat lain yang masih terpendam. Hal ini tentu
tidak terlepas dari dukungan ibunya agar kelak anaknya bisa menjadi imam. Suatu
ketika ibunya berkata kepada Lolek,” Jika
engkau ingin menjadi seorang imam, engkau perlu mengetahui hal-hal lain selain bola
kaki.”[7]
Dengan demikian dia mulai mendalami
bidang lain selain bola kaki,
misalnya berenang, bermain ski, mendaki gunung. Dia bahkan mendalami bakat
dalam bidang akting, sehinga ia dikenal sebagai orang yang pandai
dalam bermain drama di atas panggung dan sering kali
menjadi orator dalam acara-acara di
sekolahnya. Dia juga
menguasai bermacam-macam bahasa. Bahasa
yang dikuasainya secara fasih adalah: bahasa Polandia,
Slovakia,
Rusia,
Italia,
Perancis,
Spanyol,
Portugis,
Jerman,
dan Inggris,
dan Latin. Lolek juga tahu tentang musik. Komponis
favoritnya adalah Bach, Beethoven, dan Chopin.[8]
2.
Panggilan
Khusus
Berikut ini akan dipaparkan mengenai perjalanan panggilan
khusus Karol Wojtyła, sejak menjadi imam sampai menjadi paus Gereja
Katolik Roma yang ke-264.
2.1
Imam
Pada tahun 1942 Lolek masuk seminari.
Pada saat itu
penguasa Jerman melarang semua aktivitas seminari di Polandia. Oleh karena itu, ia pun mengikuti pembinaan calon imam di sebuah
Seminari Tinggi bawah tanah (klendestine). Seminari tersebut dipimpin oleh Uskup Agung Krakow,
Adam Stefan Sapieha. Pembinaan di seminari bawah tanah dijalankan sambil
belajar teologi di Universitas Jagellonica. Pada bulan Agustus 1944 Uskup Agung
Adama Stefan Sapieha memindahkan dia bersama para seminiaris klandestine
lainnya ke kediaman Uskup Agung. Di situlah dia
tinggal sampai tanggal 18 Januari 1945. Pada tahun 1945 ada keinginan yang
besar dalam diri Wojtyla untuk masuk novisiat biara Karmel (Czerna Caremelite Monastery). Akan tetapi,
Uskup Agung Sapieha melarang dengan tegas dan mendorongnya agar lebih baik
bergabung menjadi imam projo karena lebih dibutuhkan. Di dalam seminari bawah tanah ia menunjukkan
keadaan dirinya yang kadang stress. Ia tuangkan perasaannya ini dalam sebuah
puisi yang kemudian dipublikasikan
secara anonim pada majalah
bulanan biara Karmel (Glos Karmelu/ Voice of the Carmelites). Karyanya
tersebut diberi judul Song of the Hidden
God.[9]
Jerman yang
menyerang Polandia sendiri
anti-semitik dan oleh karenanya pembasmian orang-orang Yahudi adalah misi utama
mereka dalam serangan itu. Selama masa perang, semua orang Yahudi ditahan di
kamp-kamp konsentrasi untuk selanjutnya dibantai. Katolisisme sebagai simbol
dan pelindung budaya Polandia juga menjadi korban utama
rencana Nazi. Dengan demikian, para imam, biarawan
dan biarawati ditahan dan selanjutnya dibunuh.[10]
Hal ini tidak menyurutkan niat Lolek untuk memilih jalan panggilan ini.
Panggilannya untuk menjadi imam adalah sebuah keputusan bebas. Inilah yang
disebut ”inner
illumination” atau pencerahan dari kedalaman diri.[11]
Sesudah
perang berakhir pada tahun 1944, ia melanjutkan studinya di Seminari Tinggi
sampai akhirnya ditahbiskan pada tanggal 1 November 1946 di Katedral Wawel. Dia
merayakan misa pertamanya pada tanggal 2 November 1946. Dua minggu setelah
ditahbiskan ia melanjutkan studinya di
Universitas Angelicum Roma, di bawah asuhan seorang teolog terkemuka
Garriogou-Lagrange, seorang imam Dominikan. Ia meraih gelar Doktor di
Universitas Angelicum. Disertasi yang berjudul ”Doctrine
de fide apud S. Ioannem de Cruce” atau Ajaran Iman Menurut Santo Yohanes
dari Salib, dipertahankan pada tahun 1948. Karol Wojtyła menerima ajaran santo karmelit tersebut
bahwa iman saja tidak mencukupi bagi persatuan dengan Allah, bila tidak dihidupi dalam cinta kasih, yang dengannya
dapat membawa pada sebuah transformasi personal melalui partisipasi dalam
kehidupan ilahi.[12]
Kemudian pada tahun yang sama,
tepatnya pada awal Juli 1948, ia kembali ke Polandia menjadi asisten di Paroki Niegowic (200
km di luar kota Krakow). Tidak lama di Niegowic, yakni pada bulan Maret 1949
dia dipanggil kembali ke Krakow dan menjadi pastor Paroki St. Florianus untuk
aktivitas pastoral mahasiswa. Pada tahun 1951 dia mengadakan studi lanjut dalam
bidang filsafat. Dia secara khusus mendalami Fenomenologi filsuf Jerman, Max
Scheler. Scheler ingin membangun sistem etika atas dasar hierarki nilai yang
dialami secara personal. Dengan lebih mengandalkan pada perasaan dan emosi,
Scheler menolak peran otoritas. Wojtyła menemukan hal yang penting dalam pemikiran
Scheler tetapi dia
menegaskan bahwa pada
akhirnya nilai-nilai itu bermuara pada relasi personal dengan Allah dan Yesus sebagai
otoritas yang berwibawa.[13]
2.2
Uskup Pembantu Krakow
Pada tanggal 4 Juli
1958 Wojtyła diangkat
oleh Paus Pius XII menjadi Uskup
pembantu di Krakow dan Uskup tituler di Ombi. Selanjutnya pada tanggal 28
September 1958 Uskup Agung Eugenisusz Baziak mentahbiskannya sebagai Uskup di Katedral Wawel (Krakow). Pada tahun
1962-1965 Uskup Wojtyla terlibat dalam Konsili Vatikan II. Ada 22 intervensi Uskup
Wojtyła dalam Konsili Vatikan II sebagaimana ditampakkan dalam Acta Synodalia. Dalam mengemban tugasnya
sebagai Uskup pembantu Krakow dia menghasilkan sebuah karya yang terkenal,
yakni Love and Responsibility. Avery
Dulles menulis,” Sebagai
Uskup
dia melanjutkan kerja dengan kelompok-kelompok kaum muda secara dekat. Lewat
pengalaman tersebut dia mengembangkan ide-ide bagi bukunya, Cinta dan Tanggung
Jawab.” [14] Paus Paulus VI menaruh kekaguman dan hormat atas cara Uskup Wojtyla
membela ajaran-ajaran tradisional Gereja Katolik mengenai perkawinan.
2.3
Uskup Agung Krakow
Pada
tanggal 13 Januari 1964 Paus Paulus VI mengangkat Wojtyła menjadi Uskup Agung Krakow. Sebagai Uskup
agung, Wojtyła juga ikut serta menghadiri Konsili
Vatikan II dan memberikan kontribusi pada
dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Dignitatis
Humanae (DH) dan Gaudium et Spes
(GS). Dia meyakinkan Konsili
untuk memerangi utilitarianisme,
yang memperlakukan manusia sama dengan barang. Poin-poin tersebut dan yang
lainnya diartikulasikan secara lebih penuh dalam tulisan-tulisannya ketika dia mengemban tugas sebagai Paus.[15]
2.4
Kardinal
Pada
tanggal 26 Juni 1967 Karol Wojtyła diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Paulus
VI di kapela Sistina, Vatikan. Pada tahun 1969 dia menerbitkan edisi pertama
bukunya The Acting Person, sebuah
karya dalam bidang Filsafat Antropologi.
Karya ini ditulis dalam dialektika dengan paham Marxisisme. Dalam konteks
melawan materialisme Marx, Uskup Wojtyła menaruh prioritas pada pribadi manusia dan kemampuannya
untuk membentuk identitas terdalamnya dengan bertindak.
Karyanya
yang lain semasa menjadi Kardinal adalah Sources
of Renewal. Buku
tersebut diterbitkan
pada tahun 1972. Tujuan dipublikasikannya buku tersebut adalah untuk mengimplementasikan secara pastoral Konsili
Vatikan II bagi KeUskupan Krakow. Pertanyaan mendasar dari Konsili
baginya adalah kata-kata Paus Paulus VI yakni, “Ecclesia, Quid dicis de teipsa?” (Gereja, apa yang dapat anda katakan tentang dirimu
sendiri?). Gereja yang
berziarah dalam sejarah berpartisipasi dalam kesadaran
akan pribadi Yesus Kristus dan mengambil bagian
dalam misi-Nya. Misi Gereja adalah membantu seluruh umat manusia masuk
secara sadar dalam persekutuan yang dimaksudkan oleh Allah Trinitas. Wahyu
adalah sebuah undangan keselamatan melalui persekutuan dengan Allah.
Kemudian pada tahun 1976 Beliau
diundang menjadi pemberi retret untuk
Paus Paulus VI dan segenap anggota kuria Kepausan dalam masa prapaskah
tahun itu. Tema yang diangkatnya adalah Sign
of Contradiction.
Melalui tema itu
dia ingin menekankan kebutuhan Gereja untuk berdiri
pada pihak oposisi dengan materialisme dan sekularisme dalam segala macam
bentuknya, baik Marxisme maupun Kapitalisme. Sabda Allah diperhadapkan dengan
anti-sabda; kebenaran Allah berjuang melawan tipu muslihat setan; ketaatan akan
Yesus adalah harga yang harus dibayar karena ketidaktaatan manusia. Dalam
retret tersebut dia memuji Paus Paulus VI yang dengan teguh melawan kontrasepsi
dalam ensiklik HV.[16]
2.5
Paus Gereja Katolik Roma yang ke-264
Pada
tanggal 16 Oktober 1978 Kardinal Wojtyła terpilih oleh 103 dari 109 kardinal untuk
jabatan Paus. Dia adalah paus yang ke-264 atau pengganti Petrus yang ke-263. YP
II diangkat menjadi paus pada
usia 58 tahun. Dia adalah salah
seorang paus terlama dalam sejarah Gereja, yakni selama 26 tahun, 5 bulan dan
17 hari. Sebagai seorang paus dia adalah figur yang
sudah tidak asing lagi di mata dunia. Kepopulerannya diindikasikan lewat
berbagai gelar atau sebutan yang dikenakan kepadanya. Dia dikenal sebagai paus
yang dekat dengan kaum muda, dekat
dengan orang sakit, paus yang agung, [17] paus
peziarah (a pilgrim pope) dan aneka
gelar lainnya.
Berdasarkan
sebutanya sebagai “Paus Peziarah” kita dapat memastikan bahwa kunjungannya ke
berbagai negara di dunia ini ada misi khusus yang hendak disampaikan. Dengan
kata lain, bukan tanpa alasan
dia mengadakan peziarahannya ini. Alasan utamanya adalah untuk bertemu
dengan sebanyak mungkin orang sebagaimana sudah dicontohkan oleh rasul besar
Paulus dan Petrus serta oleh Yesus sendiri yang tak kenal lelah berjalan sambil
berbuat baik.[18]
Semangatnya untuk mengunjungi berbagai belahan dunia memperlihatkan kepada kita
bahwa dia memiliki kemauan yang sangat besar untuk menjangkau sebanyak mungkin
orang yang berkehendak baik. Dengan sapaan-sapaan, khotbah-khotbah yang
menyentuh dia berusaha menunjukkan bahwa dalam diri setiap orang ada nilai yang
sangat mendalam. Baginya setiap pribadi dipanggil untuk menikmati kebebasan
sebagai Anak-Anak Allah di bawah kuasa kebapaan Allah sendiri. [19]
Selain itu
dia dikenal sebagai pejuang kebenaran, pembela kehidupan,
penentang budaya kematian, pelopor perdamaian, pembela kaum miskin, komunikator
ulung, dan pendoa sejati. Ada juga yang
bahkan menyebutnya “the Great Soul”
dan menyejajarkan dirinya dengan tokoh-tokoh besar dunia lainnya seperti: Muder
Teresa, Nelson Mandela, dan
Billy Graham. [20]
YP II meninggal
dunia pada tanggal 2 April
2005 dalam usia 84 tahun. Beliau dimakamkan
pada tanggal 8 April
2005 di Basilika St. Petrus. Pada
hari pemakamannya, ribuan umat Katolik yang memadati Basilika St. Petrus
menyuarakan ”Santo Subito” artinya,
”Santo Segera”. Seruan tersebut kini mulai terwujud
dengan diangkatnya YP II menjadi seorang Beato
oleh Paus Benedikus XVI pada tanggal 1 Mei 2011 lalu. Suara umat yang
dikumandangkan pada acara pemakaman YP II
membutuhkan
waktu yang cukup lama (kurang lebih 6 tahun) bagi Konggregasi Vatikan untuk Penggelaran Kudus untuk mengumumkan
secara resmi beatifikasinya. Setelah kurang
lebih enam tahun, yakni pada tanggal 24
Januri 2011, Konggregasi tersebut menyatakan bahwa pada tanggal 1 Mei 2011 di Basilika
Santo Petrus, YP II dinyatakan sebagai Beato
oleh Paus Benedikstus XVI.
Mengapa
demikian? Ternyata suara umat hanyalah salah satu pertimbangan yang perlu untuk
proses beatifikasi. Suara umat (vox populi) tentu didasarkan pada perjumpaan dan pengenalan
mereka akan reputasi kesucian (fama
sanctitas) YP II. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses
beatifikasi adalah suara Allah sendiri (vox
Dei) yang dapat diketahui lewat mukjizat. [21] Akhirnya, terdapat suara
Gereja (vox ecclesiae) untuk
mengukuhkan. Dalam hal ini Gereja melanjutkan proses beatifikasi setelah
mengevaluasi nilai-nilai heroik dan otentisitas mukjizat.[22] Dengan memperhatikan
ketiga pertimbangan itulah, YP II
akhirnya
diangkat menjadi Beato oleh paus Benediktus
XVI pada tanggal 1 Mei 2011 lalu.
3. Berbagai Pandangan Teologis Yohanes Paulus II
Banyak karya tulis lahir dari buah pena YP II
sejak sebelum menjadi paus hingga menduduki tahta Petrus.[23] Dia tidak kenal lelah
untuk menuangkan gagasan-gagasan briliannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Avery
Dulles menulis,
Ajaran Karol Wojtyla, sebelum dan sejak menjadi paus, sangat luas dan banyak segi yang diangkat. Dia menulis
sebagai seorang filsuf, teolog dan seorang pastor. Sebagai seorang Uskup dan paus,
ia memikul tanggung jawab untuk tetap setia terhadap agenda yang ditetapkan
oleh Konsili Vatikan II. Sebagai seorang terpelajar dia telah mendarah daging dengan tradisi-tradisi
Gereja, dan dalam banyak segi adalah murid yang setia dari Thomas Aquinas dan
Yohanes dari Salib. Dari kedua orang inilah dia
belajar secara mendalam. Tetapi dia juga merasa nyaman dengan pemikiran baru
dalam fenomenologi kaum personalist. Dia adalah seorang yang memiliki iman yang
mendalam dan pendoa sejati, juga memiliki minat yang besar terhadap studi-studi
literatur, ilmu pengetahuan, politik, dan sosial. Agaknya sulit untuk
menyatukan minatnya yang luas ini dalam satu-kesatuan yang sistematik.[24]
Sebelum
mengulas YP II sebagai paus yang memiliki konsern terhadap hidup keluarga dan
perkawinan Kristiani, baiklah terlebih
dahulu kita melihat secara singkat kenyataan bahwa dia memiliki pemikiran yang
sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Bidang apa sajakah itu? Menurut Avery Dulles setidaknya ada 15 pokok
perhatian selama YP II menjabat sebagai Paus. Pokok-pokok tersebut kami
ringkas sebagai berikut: [25]
1. Antropologi (Antrophology). YP
II memahami eksistensi manusia dalam istilah personalist dan dinamis. Dengan
penggunaan kebebasan yang bertanggung jawab manusia dapat membentuk dirinya.
Manusia dapat mengenal dirinya melalui relasi dengan orang lain dalam semangat
cinta dan dialog. Manusia diciptakan dalam citra trintaris Allah. Atas dasar
alasan inilah manusia disebut makhluk sosial serta dipanggil untuk membentuk
persekutuan dan solidaritas dengan orang lain. Menjadi manusia berarti menjadi
makhluk badani, yang rapuh dan berdosa, tetapi pada saat yang sama dipenuhi
dengan keinginan yang tak terbatas dan dipanggil untuk kehidupan yang lebih
tinggi ( a higher life).
2. Kristologi (Christology).
Model tertinggi dari eksistensi umat manusia adalah Yesus Kristus. Dia
secara total telah menyerahkan diri-Nya sendiri bagi penebusan seluruh umat
manusia, baik pria maupun wanita. Oleh karena itu, personalisme yang intens
dari YP II menuntun pada universalisme tanpa sekat. Kristus dalam keadaan-Nya
yang konkret adalah pusat dari seluruh alam ciptaan, tujuan dari sejarah umat
manusia, dan fokus dari setiap usaha manusia untuk mencapai keselamatan.
Kehadiran-Nya di planet ini bukanlah
sebuah kebetulan. ”Melalui inkarnasi,
Allah memberikan kepada kehidupan manusia sebuah dimensi yang Dia maksudkan
sejak semula” (RH art.1). Sebagai Anak Allah,
Yesus mewahyukan kepada manusia karakter Bapa-Nya sebagai figur yang penuh
dengan kasih (merciful love);
sebagai manusia sempurna, dan juga
mewahyukan kemanusiaan. Yesus adalah norma kehidupan
Kristiani. Allah tidak datang ke
dunia untuk mengurangi kebebasan umat manusia, tetapi sebaliknya menuntun kebebasan
pada tujuannya yang benar. Kebebasan
manusia diarahkan secara bertanggung
jawab untuk memilih kebenaran dan kebaikan.
Yesus sendiri menyerahkan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Dialah
kebenaran yang membuat kita
bebas. Dalam konteks tugas-Nya sebagai penebus umat manusia, Yesus memiliki
tiga tugas, yakni sebagai nabi, imam, dan raja. Dialah guru yang menguduskan
dan pemimpin dari segenap orang yang mengikuti-Nya. Setiap orang dipanggil
untuk melewati misteri paskah dalam rangka mencapai tujuan penebusan. Inilah
hukum universal dari kodrat manusia yang dengan rendah hati menyerahkan dirinya
sendiri untuk pemenuhan diri dalam level yang terdalam. Penderitaan sendiri,
diterima sebagai partisipasi dalam penderitaan Allah-manusia. Paus ini tidak
hanya mengungkapkan secara teoritis
pemikirannya, tetapi menghidupinya lewat pengalaman sakit yang dideritanya.
3. Trinitas (Trinity). YP
II memandang Yesus Kristus dalam relasi dengan
dua pribadi ilahi yang lain. Sebagai
Logos abadi, Kristus mendapatkan misi dari Bapa-Nya yang telah mengutus Dia ke
tengah-tengah dunia. Dia dikandung oleh Roh Kudus, yang juga menguatkan-Nya
dalam tugas perutusan. Oleh kekuatan Roh Kudus, Yesus mampu menyerahkan
diri-Nya sehingga menghasilkan buah berlimpah bagi manusia. Roh Kuduslah yang
memampukan Yesus untuk menjalankan tugas perutusan kepada semua orang, agar
semuanya bersatu. Dengan demikian, teologinya bukan hanya kristosentris, tetapi
juga bersifat pneumatologis dan trinitarian.
4. Mariologi (Mariology). YP II sangat mengagumi
tokoh Maria dalam sejarah penebusan umat manusia. Sebagaimana Yesus secara
total menyerahkan diri-Nya dalam menerima tugas perutusan dari Bapa-Nya,
demikian juga halnya dengan Maria yang dengan penuh ketaatan menerima kehendak
Allah. Tampak jelas dalam kata-katanya:”aku
ini hamba Tuhan”. Dalam penyerahan diri secara total kepada Allah, dia
menjadi Bunda Putra yang berinkarnasi. YP II menyebutnya sebagai murid yang
paling sempurna dibandingkan dengan yang lain. Dalam
kata-kata-Nya di kayu salib, Yesus menunjukkan bahwa Maria memiliki relasi yang
istimewa dengan para murid-Nya, yang diwakili oleh Yohanes. Sebagai ibu
Kristus, Maria juga dipilih untuk menjadi Bunda
Gereja yang adalah tubuh mistik Kristus.
5. Eklesiologi (Ecclesiology). Bagi YP II Gereja
bukanlah sekedar institusi, tetapi sebuah realitas yang hidup dan
yang dibangun atas dasar pribadi-pribadi.
Gereja
adalah sebuah misteri yang hidup oleh rahmat Kristus dan Roh Kudus. Misi
Gereja berasal dari Kristus sendiri. Misteri ketaatan Yesus dan
Maria, perlu juga dijalankan oleh Gereja. Gereja
bagi YP II adalah persekutuan orang-orang; persekutuan
para murid.
6. Sakramen-Sakramen (Sacraments). YP II secara khusus memperhatikan aspek sakramental,
termasuk ekaristi, pengakuan dosa, perkawinan, dan imamat. Secara khusus
mengenai sakramen perkawinan, dia menyatakan bahwa sakramen tersebut
memanifestasi kesatuan perkawinan (nuptial
union) antara Kristus dan Gereja. Cinta monomogami dan tak terceraikan yang ditunjukkan oleh persatuan antara
Kristus dan Gereja menjadi model bagi perkawinan orang-orang Kristen. Persatuan
dalam hubungan seks antara suami dan istri mengekspresikan sikap
saling
menyerahkan diri secara total dalam
komitmen perkawinan. Sedangkan mereka
yang dipanggil untuk menjalankan hidup selibat mengekspresikan
relasi cinta antara Kristus dan Gereja
dalam penyerahan diri mereka kepada umat Allah.
7. Imamat (Priesthood). Imamat umum dalam Gereja
dianugerahkan kepada semua orang,
termasuk kepada awam, melalui baptisan. Sedangkan imamat khusus hanya diberikan kepada para
imam Gerejani yang diterima dalam sakramen imamat. Semua orang kristen
dipanggil untuk berpartisipasi dalam tiga tugas Kristus tersebut, yakni sebagai
imam, nabi, dan raja karena mereka harus memberikan kesaksian akan Kristus
sehingga hidup mereka pun sesuai dengan ajaran dan contoh Kristus sendiri.
Berpartisipasi secara lebih khusus dalam ketiga tugas Kristus tersebut adalah
mereka yang ditahbiskan, karena merekalah yang dipanggil untuk menjaga Gereja
dalam kesatuan kebenaran yang berasal dari Yesus Kristus sendiri. Tugas mereka
adalah mewartakan sabda Allah dengan wibawa tertentu, dan melayani
sakramen-sakreman Gerejani. Bertindak atas nama
Gereja, para imam mempersembahkan doa dan ekaristi.
8. Primacy dan Kolegialitas. Pelayan
kegembalaan dalam level yang tertinggi adalah para Uskup, yang bersatu dalam
kesatuan kolegialitas
dibawah pengganti Petrus. Bagi YP II, kesatuan di antara para Uskup perlu
dibangun dalam semangat kolegalitas. Melalui berbagai sinode, pertemuan
episkopal para Uskup membangun solidaritas di antara mereka dengan
Roma sebagai pusat kesatuan. Melalui kegiatan kolegalitas, mereka membantu paus
dalam menjalankan tugas pengembalaan umat. Untuk mencegah klerikalisme yang
tidak sehat, maka secara mendasar kepemimpinan dalam hierarki berkarakter
sebagai hamba. Hierarki ada untuk
seluruh Gereja dan semua pelayanan para gembala Gereja dikerahkan untuk
meningkatkan kekudusan, yang adalah tujuan akhir dari pelayanan Gereja.
9. Misi (Mission). Seperti
Yesus sendiri, Gereja diutus ke tengah dunia untuk menjalankan karya
keselamatan Allah. Berarti selalu dalam kerangka misi. Setiap orang kristen
perlu terlibat dalam rasa tanggung jawab yang sama, sesuai dengan panggilan
hidup yang diemban. Misi selalu dikaitkan dengan evangelisasi dan humanisasi. Menurut
YP II, kedua hal ini tidak
bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi dari uang logam.
Dunia tidak dapat mencapai kesatuan dan kedamaian kecuali hidup dalam
kebenaran; yang secara penuh ditemukan dalam diri Yesus Kristus. Humanitas
tidak dapat dicapai kecuali melalui transformasi personal dalam Kristus, dengan
partisipasi dalam kekudusan-Nya. Sadar akan hal ini, YP II berani menantang dunia untuk tidak takut,
tetapi sebaliknya membuka pintu lebar-lebar bagi Yesus Kristus.
10. Evangelisasi (Evangelization). Bagi
YP II evangelisasi adalah
keseluruhan proses untuk membawa dunia
agar sadar dan taat pada Kristus sebagai penebus, yang melalui-Nya
pencipataan dapat menemukan kepenuhannya. Tanggung jawab dalam menyebarkan Injil
dan pelayanan sakramen-sakramen adalah mereka yang tertahbis.
Namun bagi YP II kaum tertahbis juga harus merangsang dan
mengarahkan umat dalam proses evangelisasi.
Dengan
demikian, kaum awam
juga dipanggil untuk menjalankan evangelisasi
melalui kesaksian hidup mereka mengenai
Kristus.
11. Humanisasi (Humanization). YP
II menggambarkan dunia saat ini dipenuhi
dengan bahaya kelaparan, anak-anak yang tidak diperhatikan, dan orang-orang
dewasa yang hidup dalam kecemasan politik dan petaka ekonomi.
Gereja dipanggil untuk bekerja sama dalam membangun
sebuah ”peradaban cinta” sebagaimana
dikatakan oleh Paus Paulus VI. Di dalamnya termasuk karya untuk menggalang
perdamaian,
solidaritas antar umat manusia dan bangsa, keadilan serta Hak Asasi Manusia.
12. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Alam (Social and Natural
Sciences).
Bagi YP II hal yang paling mendasar adalah hak asasi dari setiap individu yang
kudus dan tidak boleh dilecehkan.
Termasuk di dalamnya kebebasan atas suarah
hatinya dan memeluk agama. Individu-individu menyempurnakan diri mereka sendiri
dengan mencari kebenaran dan integritas moral dalam masyarakat, sambil saling
melayani satu dengan yang lainnya.
Masyarakat yang autentik pada saat ini diancam oleh arus utilitarianisme dan
kolektivisme yang melihat pribadi manusia seperti barang. Untuk kaum awam,
prinsip umum dalam menegakkan hak asasi manusia adalah dengan melibatkan diri
dalam berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat, yakni dalam bidang
politik, bisnis, dan profesi-profesi
sekular lainnya. Sementara para pemimpin Gereja harus mengingatkan kaum awam
akan tanggung jawab mereka dalam membawa suka cita Injil di tengah dunia yang
mengalami perubahan yang begitu cepat.
13. Kritik terhadap
budaya-budaya (Critiques
of Cultures). Dalam pandangan YP II, Injil tidak dapat diteruskan kepada
setiap individu dan masyarakat, kecuali telah terinkarnasi dan berbicara sesuai
dengan konteks budaya. Budaya Eropa Barat, walaupun dalam masa silam berada di
puncak kejayaan, tidak lagi mampu mencukupi Gereja dunia. Setiap
sektor budaya, termasuk di Asia dan Afrika, memiliki kontribusi yang berarti
dalam menyebarkan Kristus sebagai penebus. Dengan menanamkan Injil dalam aneka
budaya, Injil terpelihara sambil memurnikan budaya-budaya
tersebut, serta menambah hal yang mungkin kurang dalam budaya tersebut. Dalam
tulisan-tulisannya, YP II secara kontras
membedakan dua kebudayaan yang berbeda, yakni budaya kematian dan budaya
kehidupan. Yesus datang ke dunia agar setiap pria dan wanita memiliki hidup
dalam kelimpahan. Dengan demikian, Kristianitas juga memiliki komitmen akan
budaya kehidupan. Agar bisa menggemakan budaya kehidupan maka
perlulah kembali menatap kebenaran sejati dari Allah. Ini
berkebalikan dengan masyarakat yang mengagungkan budaya konsumeris, mode, dan
hiburan. Dalam kultur konsumerisme, manusia
menganggap bahwa dirinya sendiri adalah sumber kebenaran. Manusia mencari
kebebasan tanpa tanggung-jawab. Bahkan dalam kultur demikian manusia jatuh ke
dalam semangat hedonisme. Untuk konteks seperti ini,
Gereja dipanggil untuk memberikan evangelisasi tidak
hanya
kepada individu-individu, tetapi juga kepada budaya-budaya
dari masing-masing individu tersebut.
14. Harapan (Grounds for hope). Di
tengah budaya kematian, paus tidak putus asa. Gerakan cinta damai, keadilan,
hak asasi manusia dan perlindungan terhadap lingkungan hidup terus
dikumandangkan. Dalam harapan akan pencapaian kesatuan yang lebih besar dalam
kebenaran, YP II secara tetap melakukan undangan untuk berdialog dengan
Gereja-Gereja lain, dengan agama-agama besar di dunia, dan bahkan dengan mereka
yang tak beragama. Dialog-dialog tersebut dutujukan untuk
kesatuan dalam kepenuhan kebenaran.
15. Kedatangan Milenium ketiga (The Coming Millennium). YP II mendefinisikan kepausannya dalam bingkai datangnya Milenium Ketiga atau merayakan
tahun Yubulium Agung Kelahiran Yesus Kristus.
Sebagaimana setiap masa advent, kesempatan menyongsong Yubilium Agung menjadi
kesempatan untuk berdoa dan bertobat. Sadar akan segala
kegagalan masa lalu dan sekarang, orang
Katolik diajak untuk saling mengampuni, menatap
ke depan dengan penuh harapan sambil membaharui keyakinan kepada Roh Kudus,
yang melaluinya Yesus dilahirkan dari kandungan seorang perawan.
4.
Antropologi
yang Kristosentris sebagai Inti Teologi Yohanes Paulus II
Inti
pokok pemikiran YP II adalah menempatkan pribadi manusia sebagai
subyek yang diciptakan secitra dengan Allah-tercipta menurut gambar dan rupa
pencipta. Rocco Buttiglione, filsuf
dan politisi dari Italia dalam telaahnya atas pemikiran YP II menggarisbawahi
bahwa satu kata kunci pemikiran YP II (baik sebelum maupun
ketika menjadi Paus) adalah ”pribadi.” [26]
Bagi YP II manusia adalah seorang
pribadi. Hakikat dan jati diri manusia menurut
pandangan YP II tak tergantikan. Refleksinya atas pribadi manusia tidak
terlepas dari iman Kristiani yang berakar pada kasih. Pribadi manusia tidak
ditempatkan sebagai obyek, tetapi sebagai ciptaan yang di dalam dirinya memiliki dimensi ilahi. Dengan
demikian, YP II menolak secara tegas praktek instrumentalisasi dan alienasi
terhadap manusia. Hal ini juga tercermin dalam pandangannya
tentang TOB yang akan didalami dalam bab II. Sebagai
pengganti Petrus, YP II mengembalakan kawanan anggota Gereja supaya dapat
bertumbuh dalam iman kepada Yesus Kristus yang adalah jalan, kebenaran, dan
kehidupan (bdk. Yoh. 14: 6). Tidak heran dalam ensiklik pertamanya, dia menulis,”Jalan masuk bagi Gereja
adalah manusia.”
(RH art. 14).
Dia menandaskan
bahwa manusia dapat benar-benar menemukan dirinya dalam
relasi dengan Kristus. Manusia dapat
menyingkapkan misteri hidupnya melalui misteri manusia Yesus Kristus. Dalam
arti bahwa dengan mengenal Kristus manusia dapat mengenal misteri hidupnya
sebagai manusia.[27] Tampak
bahwa YP II dengan setia mengulangi kembali apa yang diajarkan dalam KV II,
secara khusus dalam GS art. 22. Tidak heran dalam banyak karyannya, termasuk
dalam TOB dia menggemakan pokok ini secara berulang-ulang. Dapat dikatakan
bahwa teologi YP II adalah teologi yang berangkat dari manusia dan berkat
Kristus menuju Allah. Dengan demikian teologinya bericiri antropologis yang kristosentris.
5.
Yohanes Paulus II Guru bagi Keluarga dan
Perkawinan Kristiani
Dalam
awal bab ini kami telah memberikan pertanyaan penuntun: Mengapa YP II disebut sebagai guru bagi keluarga dan perkawinan
Kristiani? Bagi mereka yang kurang mengenal ajaran YP II mungkin akan
bertanya-tanya, bagaimana mungkin YP II
yang tidak pernah membangun hidup berkeluarga disebut sebagai guru bagi keluarga Kristiani?
Deshi
Ramadhani menulis, “Untuk mengetahui
bahwa membunuh itu jahat dan dosa, orang tidak usah menjadi seorang pembunuh
terlebih dahulu.” [28] Argumentasi yang sama
bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan
di atas. Untuk berbicara dengan baik
tentang keluarga, orang tidak harus berkeluarga dahulu baru bisa berbicara
mengenai hidup berkeluarga. Albertus Sujoko menulis, “Barangkali orang yang tidak berkeluarga justru bisa melihat secara
lebih jeli tentang hidup berkeluarga karena ia memiliki posisi sebagai seorang
pengamat yang berasal dari luar lingkup
keluarga itu sendiri.”[29] Oleh karena itu, walaupun
YP II tidak membangun hidup berkeluarga, dia bisa berbicara banyak tentang
keluarga dan perkawinan Kristiani. Dia pantas disebut guru bagi
keluarga-keluarga Kristiani. Ada banyak karya tulis yang lahir dari buah
penanya, secara khusus yang membahas mengenai hidup berkeluarga dan perkawinan
Kristiani.
Berikut
ini akan dipaparkan secara representatif beberapa poin penting mengenai
keluarga atau perkawinan Kristiani yang dibahas oleh YP II. Dia menuangkan
gagasan-gagasan penting mengenai keluarga dan perkawinan Kristiani melalui
berbagai audiensi, ensiklik, khotbah, maupun surat, dan banyak kesempatan
lainnya, sebagaimana dalam ulasan representatif
berikut ini.
Familiaris
Consortio (FC) adalah Himbauan atau Amanat Apostolik YP II
yang dikeluarkan pada tanggal 22
November 1981. Menarik bahwa FC
dikeluarkan pada saat dia belum lama menduduki tahta Petrus. Hal ini mau
menunjukkan bahwa aspek
hidup berkeluarga atau perkawinan Kristiani
menjadi salah satu topik yang sungguh-sungguh dia perhatikan. FC dikeluarkan berdasarkan permintaan para peserta
Sinode Para Uskup yang berlangsung di Roma sejak tanggal 26 September sampai 25
Oktober 1980. Pada akhir Sinode itu para Uskup menyampaikan” Pesan bagi
keluarga-keluarga Krisitini sedunia”, dan suatu dokumen yang berisi “43
Usulan” untuk diperhatikan oleh Bapa Paus dalam penyusunan Amanat Apostoliknya.
Walaupun dengan gaya bahasa dan perumusan yang baru, sebenarnya ajaran YP II
dalam FC menegaskan kembali ajaran tradisional Gereja Katolik tentang
perkawinan dan hidup berkeluarga Kristiani, bahwa perkawinan merupakan
persekutuan cinta yang utuh dan setia seorang laki-laki dan perempuan, yang
diangkat menjadi sakramen.
Apa
isi Himbauan Apostolik FC ini? Tentu dalam kesempatan ini tidak diuraikan
secara panjang lebar isi dari FC. Kami hanya mengangkat
beberapa poin sebagai berikut.
Salah satu topik yang diangkat adalah mengenai orangtua menurut FC.
Misalnya dalam FC 15, YP II memuat ulasan
mengenai persatuan
antarpribadi dalam perkawinan. Melalui hubungan itu setiap pribadi dihantar
masuk ke dalam keluarga manusia dan ke dalam ”keluarga Allah” yakni Gereja.
Dalam FC 18 ditekankan cinta sebagai dasar dan tujuan dari persatuan
antarpribadi dalam sebuah perkawinan. Dengan
demikian jika tanpa cinta,
perkawinan bukanlah persatuan antarpribadi. Tanpa cinta, keluarga tidak dapat
hidup dan menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi.
Dalam FC 19 digarisbawahi mengenai
persatuan utuh suami istri. Persatuan yang utama dalam perkawinan adalah
persatuan yang terjadi dan berkembang di antara suami istri. Melalui janji
perkawinan, pria dan wanita ”tidak lagi dua melainkan satu” dan mereka
dipanggil untuk senantiasa menumbuhkan persatuan mereka dengan selalu setia
pada janji perkawinan itu, yakni untuk saling memberikan diri secara
menyeluruh.
Dalam FC 22-24 ditekankan mengenai hak
dan peran wanita. FC 22 menggarisbawahi pentingnya kesederajatan martabat dan tanggung jawab antara pria dan wanita.
Kesamaan derajat ini diwujudkan secara unik dalam pemberian diri timbal balik
antara pria dan wanita sebagai suami istri maupun antara orangtua dan anak.
Selanjutnya FC 25 menggarisbawahi pria sebagai suami dan ayah. Di dalam
persatuan suami istri atau perkawinan, pria dipanggil untuk menghayati kharisma
dan peranannya sebagai suami atau ayah. Cinta kepada istri dan anak-anak
merupakan suatu cara kodrati untuk memenuhi peranannya sebagai ayah.
Dalam
kesempatan berziarah ke
berbagai daerah di dunia, YP II juga memberikan khotbah-khotbah yang menarik.
Beberapa khotbah mengenai perkawinan dan keluarga
Kristiani
dapat dilihat sebagai berikut.
5.2.1 Khotbah di San Fransisco,
1987
Dalam
kesempatan berkunjung ke San Fransisco pada tahun 1987, YP II mengungkapkan
beberapa gagasan penting dalam khotbahnya tentang keluarga. Dia berkata,
Kesaksian
akan Kristus dari seluruh komunitas Kristiani mempunyai dampak lebih besar
daripada kesaksian perorangan. Betapa pentingnya kesaksian Injili
setiap komunitas Kristiani, tetapi terutama yang paling dasar dari semuanya,
yakni keluarga Kristiani. Menghadapi banyak kejahatan umum, keluarga Kristiani
yang sungguh menghayati kebenaran Injil dalam kasih tentu merupakan tanda
pertentangan; pada saat yang sama, itu merupakan sumber pengharapan yang besar
bagi mereka yang berhasrat melaksanakan kebaikan.[32]
Berdasarkan isi khotbah tersebut
kita
bisa
melihat
bahwa YP II memberi harapan yang besar pada keluarga sebagai agen dalam
memberikan kesaksian Injili. Dengan demikian keluarga
bukanlah penonton pasif berhadapan dengan kenyataan dunia di sekitar, melainkan
sebagai tanda pertentangan dan sumber pengharapan bagi mereka yang berhasrat
untuk melaksanakan kebaikan.
5.2.2 Khotbah di Santa Clara,
Kuba, 1998
Dalam
kunjungannya ke Kuba pada tahun 1998 dia berkesempatan memberikan khotbah tentang
perkawinan. Dia berkata,
Perkawinan dengan cirinya sebagai persatuan
yang eksklusif dan permanen, adalah suci karena asalnya dari Allah. Orang-orang
dalam menerima sakramen perkawinan mengambil bagian dalam rencana kreatif Allah
dan menerima rahmat yang mereka perlukan untuk melaksanan tugas perutusan untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, dan untuk menjawab panggilan kepada
kesucian. Perkawinan adalah persatuan yang berbeda dengan persatuan masyarakat
manusia yang lain, karena berdasar pada saling memberi dan menerima antara
suami dan istri untuk menjadi ”satu daging”(Kej 2: 24), hidup dalam komunitas
hidup dan kasih, panggilan menjadi ”kenisah kehidupan”. Oleh Persatuan yang
dilandasi kesetiaan dan ketahanan, pasangan itu menyumbang bagi kebaikan
lembaga keluarga dan menunjukkan bahwa seorang pria dan wanita mampu
memberikan diri mereka kepada satu sama lain untuk selamanya. [33]
Berdasarkan
khotbahnya ini, kita dapat melihat
beberapa poin penting yang digarisbawahi oleh YP II mengenai perkawinan, yakni:
·
Perkawinan sebagai sebuah communio (persekutuan) yang suci.
·
Communio
itu berasal dari Allah.
·
Yang terlibat dalam
perkawinan ikut ambil bagian dalam rencana Allah
yaitu mengambil bagian dalam tugas perutusan untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak yang dilahirkan.
·
Communio
tersebut didasarkan pada saling memberi dan menerima antara suami dan istri.
·
Communio
tersebut dilandasi semangat kesetiaan dan ketahanan untuk saling memberikan
diri selamanya.
5.2.3 Khotbah di Kolumbia,
Karolina Selatan, 1987
Pada
tanggal 10-20 September 1987, YP II memenuhi undangan para Uskup Regio
Selatan
dan Barat Amerika Serikat.
Dalam kesempatan itu dia menyampaikan mengenai masalah pluralisme, migrasi dan
sekularisme. Dalam kunjungannya ke Kolumbia, Karolina Selatan pada tanggal 11
September 1987, dia menyampaikan khotbahnya dengan
tema ”keluarga sebagai Gereja domestik”. Tema ini
diangkat sebagai respon atas masalah pluralisme,
migrasi dan sekularisme yang melanda wilayah Kolumbia pada saat itu. Bagaimana isi khotbahnya? Dia
berkata,
Masyarakat masa kini sangat memerlukan
kesaksian pasangan-pasangan suami istri yang bertahan dalam persatuan mereka
sebagai ”tanda” yang mengesankan, meskipun kadang-kadang menderita, dalam
kondisi manusiawi dari kesetiaan kasih Allah. Dari hari ke hari
pasangan-pasangan Kristen yang menikah dipanggil untuk membuka hati mereka
terhadap Roh Kudus, yang kekuatan-Nya tidak pernah gagal dan memampukan mereka
untuk saling mengasihi satu sama lain sebagaimana Kristus mengasihi kita.[34]
Pada
kesempatan yang sama dia menandaskan bahwa keluarga adalah ”Gereja mini” yang
dengan caranya sendiri merepresentasikan persatuan kasih abadi dari tiga
pribadi Tritunggal Mahakudus dalam
sejarah manusia. Selain itu, keluarga juga harus
menjadi tempat di mana Injil disampaikan.
Keluarga Kristiani juga dipanggil untuk menyinari keluarga-keluarga lain dan seluruh
masyarakat.[35]
5.2.4 Khotbah di Swaziland,
1988.
Pada
tanggal 16 September 1988 YP II berkesempatan mengadakan perayaan
ekaristi
kudus di stadion Samhlolo, Swaziland. Dia menyampaikan khotbah yang
menitikberatkan pada kewajiban setiap orang untuk mengusahakan perdamaian. Baginya
perdamaian perlu dimulai dalam setiap keluarga yang dibangun atas dasar cinta
dan kesetiaan.
Dia
berkata,”Sebagaimana keluarga kudus
Nazareth, setiap keluarga di Swaziland, juga setiap keluarga di seluruh dunia,
dibangun atas dasar kasih dan ada untuk mengasihi.”[36]
Dengan demikian, baginya cinta antara suami dan istri merupakan hal yang sangat
penting.
5.3
Surat kepada Keluarga-Keluarga
Pada
tahun 1994 YP II mengeluarkan Surat
kepada keluarga-keluarga. Pada tahun itu juga PBB
menetapkan sebagai
Tahun Internasional Keluarga. Surat tersebut ditulis bukan secara ”abstrak”
tetapi kepada setiap keluarga di segala penjuru dunia. Isi surat tersebut
pertama-tama adalah sebuah doa kepada
Kristus, supaya tetap tinggal dalam setiap keluarga. Ditekankan pula bahwa doa
harus menjadi unsur yang pokok dalam Tahun Keluarga dari Gereja: doa oleh
keluarga, doa untuk keluarga, dan doa bersama dengan keluarga. Dalam doa manusia
dapat menemukan secara sangat sederhana dan mendalam subyektivitasnya (aku-nya)
sendiri yang unik: di dalam doa ”aku” yang manusiawi dengan lebih mudah
menangkap sedalam-dalamnya apa artinya menjadi manusia. Hal ini juga berlaku
untuk keluarga, yang tidak hanya merupakan
sel dasar masyarakat, tetapi juga memiliki suatu subyektivitasnya sendiri yang
khusus.[37]
Dengan
melihat penegasan-penegasan yang disampaikan oleh YP II mengenai keluarga dan
perkawinan Kristiani
sebagaimana diungkapkan dalam surat, himbauan apostolik
FC, dan khotbah-khotbahnya, kita dapat menyebutnya
sebagai guru bagi keluarga dan perkawinan Kristiani.
Kalau kita menjejaki lebih jauh lagi, ternyata perhatian terhadap keluarga dan
perkawinan Kristiani
sudah diperhatikan
secara
serius
oleh YP II dalam lima tahun pertama masa kepausannya. Carl Anderson menunjukkan
bukti-bukti tersebut sebagai berikut:[38]
1.
The Theology of the
Body (1979-1984).
2.
Synod
on the Family (1980)
3.
Pontifical Council for
the Family (1981)
4.
Familiaris
Consortio (1981)
5.
John
Paul II Institute (1981)
6.
Charter of the Rights
of the Family (1983)
7.
New Ordering of
Marriage law in the 1983 Code of Canon Law.
Jauh sebelum menjadi paus
pun dia telah begitu konsern terhadap aspek hidup perkawinan Kristiani. Hal ini tercermin dalam
bukunya yang berjudul Love and
Responsibility. Salah satu gagasan penting dalam buku itu
adalah pembahasan tentang definisi cinta antara suami-istri. Bagaimanakah definisi
cinta menurut YP II? Menurutnya cinta adalah
antitesis dari ingat diri (selfish). Dia
menulis,
Kita
telah membuat definisi tentang cinta sebagai ambisi menjamin kebaikan sejati
seorang pribadi yang lain, dan karenanya (cinta) merupakan antitesis untuk
egoisme. Karena di dalam pernikahan seorang lelaki dan seorang perampuan saling
terlibat secara seksual maupun di dalam hal-hal lain, kebaikan itu pun harus
dicari di wilayah ini. Dari sudut pandang pribadi yang lain, dari sudut pandang
altruistik, perlulah ditekankan bahwa persetubuhan tidak boleh menjadi melulu
sebuah alat untuk membiarkan gairah seksual mencapai klimaksnya dalam diri
salah satu pihak, misalnya hanya dalam diri
laki-laki. Klimaks harus dicapai dalam harmoni, tidak dengan
mengorbankan salah satu pihak, tetapi dengan keduanya terlibat secara penuh. [39]
6.
Kesimpulan
Berdasarkan urain di atas ada beberapa kesimpulan berikut ini. Pertama, YP II lahir di Polandia dan dibesarkan serta dididik oleh
keluarga yang benar-benar religius. Bagi kami gagasan
YP
II yang segar dan mendalam tentang hidup
berkeluarga juga mengekspresikan pengalaman pribadinya di dalam keluarga.
Nilai-nilai yang sama selanjutnya juga diajarkan kepada keluarga-keluarga
Kristiani baik sebelum maupun ketika menjadi Paus Katolik Roma ke-264.
Kedua,
pemikiran teologis YP II sangat luas cakupannya. Salah satu poin yang diangkat
adalah mengenai hidup berkeluarga dan perkawinan Kristiani. Dalam
berbagai pemikirannya tentang keluarga dan perkawinan
Kristiani,
dia menitikberatkan pada makna terdalam dari keluarga, di antaranya adanya
saling memberi, menjadi saksi Injili di tengah-tengah dunia, dan menjadi agen
perdamaian di bumi. Dia pantas disebut sebagai guru bagi keluarga
dan perkawinan Kristiani. Walaupun YP II adalah seorang selibater namun bukan
berarti dia tidak bisa berbicara dengan baik tentang keluarga. Alasannya adalah orang tidak harus
berkeluarga dahulu baru bisa berbicara mengenai hidup berkeluarga. Justru orang
yang tidak berkeluarga, termasuk YP II bisa melihat secara lebih jeli tentang
hidup berkeluarga karena mereka memiliki
posisi sebagai seorang pengamat yang
berasal dari luar lingkup keluarga itu sendiri.
[1]Ulasan pada bagian ini diambil dari beberapa sumber sebagai
berikut: Stefanus
Suryanto, Santo Subito. Mengenang Saat-Saat Terakhir Yohanes Paulus II
(Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2008); Terry Ponomban, In Loving Memory of John Paul II
(Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2005); Michael
Walsh, John Paul II (London: Harper
Collins Publishers, 1994); Alison Behnke, Biography Pope John Paul II
(Minneapolis: Lerner Publications Company, 2006); George E. Stanley, Pope John Paul II. Young Man of the Church
(New York: Simon & Schuster Children’s Publishing Division, 2005); Avery
Dulles,“John Paul II Theologian,” dalam Communio International Review 24/3 (Winter
1997).
[3]Wadowice
adalah sebuah kota yang pada waktu itu jumlah penduduknya sekitar 15.000 orang.
Kota ini terletak di kaki pegunungan Beskidy. Lih. Walsh, John Paul II, hlm. 2.
[4]“Lolek” ternyata
hanya nama panggilan di dalam rumah saja (untuk keluarganya sendiri). Terbukti
pada hari pertama masuk Sekolah Dasar, ketika bertemu dengan Jan dan Michael
Poloniecki dia memperkenalkan diri dengan nama :
Karol Józef Wojtyła. Bdk. Stanley, Pope John
Paul II. Young Man of the Church, hlm. 52.
[5]Edmund adalah seorang dokter di Rumah Sakit Bielsko, yang
meninggal karena terjangkit dari pasiennya (penyakit scarlet fever). Bdk. Walsh, John Paul II, hlm. 4.
[7]“If you want to be a priest, then you must know about other things than soccer.” Lih. Stanley, Pope
John Paul II. Young Man of the Church, hlm. 53.
[8]Bdk. Walsh, John Paul II, hlm. 5.
[9]Bdk.
Garry O’Connor, Universal Father. A Life of John Paul II (New York,
London: Bloomsbury Publishing, 2005), hlm. 109.
[11]Bdk.
Gian Fanco Svidercoschi, Stories of Karol. The Unkonwn Life of John Paul II (Italia:
Liguori Publications, 2003), hlm. 56.
[12]Lih. Dulles,
“John Paul II Theologian”, hlm. 714.
[13]Ibid
[14]“As bishop he continued to work closely with youth
groups, and it was partly out of the experience that he developed the ideas for
his book, Love and Responsibility.” Ibid.,
hlm.715.
[17]Pemberitahuan secara resmi gelar Paus YP II
“yang agung” disampaikan oleh Kardinal Angelo Sadono, Sekretaris Negara Vatikan
dalam sebuah misa kudus pada tanggal 3 April 2005. Bdk. Stefanus
Suryanto, Santo Subito. Mengenang Saat-Saat Terakhir Yohanes Paulus II, hlm. iii.
[18]Lih. Giovanni Paolo II, E La Mobilita Umana. On the Move Anno
XIV-Avril 1984
(Vaticana: Pontificia Commisio de Spirituali Migratorum atque Itinerantium
Cura, 1984), hlm. 6-12.
[19]Bdk. Achille Silvestrini dalam kata
pengantar buku Pope John Paul II, A Pilgrim Pope, edited by Cardinal Achille Silvestrini and Jerome M. Vereb (New York: Gramercy Books, 1999),
hlm. ix
[20]David Aikman
menyejajarkan YP II dengan tokoh-tokoh besar dunia lainnya seperti Muder Teresa
dan Nelson Mandela. Dia melihat adanya kesamaan di dalam tokoh-tokoh besar
dunia tersebut, yakni: memiliki “Great
Soul.”
Mereka
memiliki kualitas watak yang besar dan pencapaian yang unggul dalam bidang yang
diemban. Lih. David Aikman, Orang-Orang Besar. Paus Yohanes Paulus II tentang Martabat Manusia, terj. Antowibowo Sutanto (Batam: Interaksara, 2002),
hlm. 13.
[21]Salah satu
syarat agar seseorang menjadi beato adalah mukjizat yang terjadi karena orang berdoa kepada Tuhan dengan perantaraannya. Untuk YP II,
mukjizat itu terjadi pada seorang biarwati yang bernama Sr Marie Simon-Pierre
dari Konggregasi Little Sisters of
Catholic Motherhood di Perancis. Pada tahun 2001, Suster Marie didiagnosa
mengidap penyakit Parkinson, jenis
penyakit yang sama diderita oleh YP II saat-saat terakhir hidupnya. Atas
permintaan superiornya, dia berdoa kepada YP II. Doanya tersebut membuahkan
mukjizat kesembuhan dari sakit Parkinson dan
akhirnya bisa bekerja kembali. Paus Benediktus XVI mengakui kesembuhan
suster tersebut sebagai sebuah mukjizat
yang diperlukan untuk proses beatifikasi YP II. Bdk.
Sylvia Marsidi, “Mukjizat Yohanes Paulus
II” dalam Hidup 65 (1
Mei 2011), hlm. 12.
[24]“The teaching of Karol Wojtyla, before and since he
became pope, has been vast and many-faceted. He writes as
a philospoher, a theologian, and a pastor. As
a bishop and pope he has sought to carry out faithfully the agenda set forth by
Vatican II. As a scholar he has roots deep in the tradition, and remains in
many aspects the faithful disciple of Thomas Aquinas and John of the Cross,
both of whom he studied in depth. But he is also at home with new currents in
personalist phenomenolog. A man of deep faith and prayer, he has broad
interests in literature, science, politics, and social studies. It is scarcely
possible to bring this great variety of interests and concerns into any kind of
schematic unity.” Lih. Dulles, “John Paul II Theologian,” hlm. 718.
[26]T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan (Jakarta: Obor,
2007), hlm. 6-7.
[27]Bdk. Albertus Sujoko, Identitas
Yesus & Misteri Manusia. Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 191.
[28]Lih. Deshi Ramadhani, Lihatlah
Tubuhku, hlm. 17.
[29]Lih. Albertus Sujoko, Teologi
Keluarga. Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris Consortio
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 16.
[30]Bisa digali lagi secara lebih mendalam dengan membaca
sumber-sumber ini: Yohanes Paulus II, Keluarga
Kristiani dalam Dunia Modern. Amanat Apostolik Familiaris Consortio, terj.
A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,
1994); I Wawang Setyawan, S.S. Tantangan
Menjadi Orangtua yang Efektif menurut Familiaris Consortio (Yogyakarta:
Yayasan Pustakan Nusatama, 2010); Albertus Sujoko, Teologi Keluarga. Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut
Familiaris Consortio (Yogyakarta: Kanisius, 2011).
[31]Isi khotbah YP II tentang
keluarga dan perkawinan bisa juga dilihat dalam buku Paus YP II, Dalam Kata-Kataku Sendiri. Anthony F.
Chiffolo (ed), terj. A. S. Hadiwiyata
(Jakarta: Obor, 2000), hlm. 60-67.
[36]“Like the Holy Family of Nazareth, every family in
Swaziland, every family in the world, is
built on love and exists for love.” Ibid., hlm. 164.
[37]Lih Paus Yohanes
Paulus, Surat kepada Keluarga-Keluarga, Seri Dokumen
Gerejawi No. 34, terj. J. Hadiwikarta. Ed. Alfons S. Suhardi, OFM (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1994), hlm. 9-12.
[38]Terkutip dalam catatan kaki no. 8 oleh Michael Waldstein dalam kata pengantar buku John Paul
II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body. Translation,
Introduction, and Index by Michael Waldstein (Boston: Pauline Books and Media,
2006), hlm. 4.
Komentar
Posting Komentar