Langsung ke konten utama

Persatuan Asali (Original Unity)




             Salah satu bagian TEOLOGI TUBUH yang diutarakan oleh YOHANES PAULUS II adalah persatuan asali (original unity). Hal ini tampak jelas termuat dalam Kitab Kejadian 2: 21-24. Pencipatan perempuan adalah awal masuk bagi terciptanya kebersatuan asali. Dalam pembahasan mengenai kesendirian asali kami telah menyinggung beberapa pokok sehubungan dengan penantian manusia (۱ādām) akan pribadi lain yang sepadan. Pencipataan perempuan adalah bagian tindakan pemulihan Allah atas kekurangan yang dialami oleh manusia, yakni untuk membangun relasi cinta. Oleh karena itu Allah terus berkarya untuk memenuhi kekurangan yang ada.
             Karya Allah terlaksana lewat tindakan-Nya membuat manusia laki-laki tertidur. Kemudian Dia membentuk manusia perempuan dari tulang rusuk manusia laki-laki.  Dalam ayat-ayat tersebut kita dapat menemukan ide yang menyatakan bahwa kehidupan yang sama ada dalam diri mereka, sehingga keduanya (laki-laki dan perempuan) sederejat. Ada dimensi homogenitas antara keduanya (bdk. TOB 8: 4; 7 November 1979).[1] Dalam penciptaan manusia perempuan, Allah tidak lagi menghembuskan napas hidup ke dalam tubuhnya karena daya hidup yang sudah ada dalam diri manusia (۱ādām) dengan sendirinya diteruskan ke dalam tubuh yang baru dibentuk-Nya.[2]
            Ketika manusia laki-laki terbangun, dia mengungkapkan ekspresi sukacita sejatinya yang pertama. Dia berkata,Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.”[3] Dengan demikian manusia tersebut  menanggalkan kesendirian asalinya (original solitude). Dalam kata-kata manusia pertama di atas tampak jelas ekspresi kekagumannya. Dalam pengalaman kekaguman tersebut, manusia (۱ādām) mengenal dan menemukan humanitas dirinya sendiri ‘dengan bantuan’ manusia perempuan.
             Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa perempuan adalah penolong[4] bagi humanitas laki-laki. Perempuanlah yang secara mendalam menyatakan siapakah identitas laki-laki sesungguhnya. Dialah penolong yang sepadan dengan laki-laki. Dia menyempurnakannya dan memenuhinya. Perempuan melengkapi ciptaan pribadi manusia (۱ādām). Tanpa perempuan, tidak ada kemungkinan untuk membentuk persekutuan dan relasi saling memberi dengan makhluk yang tidak sepadan dengannya. Dalam konteks ini, manusia diciptakan untuk berelasi, bukan saja dengan Allah pemberi hidup melainkan juga dengan manusia lain.
             Sampai di sini kita melihat bahwa realitas seks muncul dalam KS. Sebelumnya ketika KS berbicara mengenai manusia, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebelumnya hanya merujuk pada manusia. Dengan penegasan “tulang dari tulangku dan daging dari dagingku,” muncul di sana perbedaan seksualitas yang oleh YP II sebut “maskulinitas dan femininitas” manusia. Sampai di sini kita juga melihat ada satu perubahan besar. Tampak dalam penggunaan istilah yang dipilih oleh penulis kisah ini. Sebelumnya manusia yang dibentuk dari debu tanah dan diberi hembusan udara pada hidungnya oleh Allah tidak pernah menyebut dirinya sendiri sebagai ۱ādām. Setelah ia mengenal dirinya sendiri karena kehadiran tubuh lain (perempuan), ia menyebut dirinya sendiri  sebagai laki-laki (۱îsh). Tubuh perempuan yang sepadan dengannya disebut îshshāh karena diambil dari ۱îsh.
Perempuan dihadirkan sebagai manusia “yang lain,” yang serentak berbeda dan juga sama dengan laki-laki. Perbedaan itu dimaksudkan bagi sebuah persekutuan pribadi-pribadi (communion of persons) dan sebagai sumber suka cita. Manusia (۱ādām) meninggalkan zona kesendirian asalinya dan mengadakan sebuah jalinan persekutuan dengan yang sepadan dengannya, yakni perempuan. Tampak jelas bagi kita bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak dimaksudkan bahwa jenis seks yang satu lebih unggul dari yang lain. Perbedaan itu ada untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan kemanusiaan kedua jenis seks. Laki-laki sungguh tampil sebagai laki-laki karena relasinya dengan perempuan, demikian pula sebaliknya. Hal ini menggambarkan bahwa tanpa relasi mereka tetap berada dalam kesendirian dan berdiri sebagai pihak yang berada dalam kekurangan dan ketidaklengkapan. Adanya kekurangan justru menjadi daya dorong kepada manusia (۱ādām)  untuk keluar dari dirinya dan menjalin relasi dengan pribadi yang sepadan dengan dirinya.
 YP II mengangkat kata-kata  Kitab Kejadian, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging[5] untuk menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan bagi sebuah persekutuan yang intim antarpribadi dalam pemberian timbal balik. Menjadi satu daging” tentu tidak hanya  mengacu pada hubungan seks suami-istri. Ada hal yang lebih mendalam dari itu, di mana ini berarti “realisasi dari persekutuan yang sangat mendalam pribadi-pribadi” di dalam segala aspek kehidupan (bdk. TOB 10: 3; 21 November 1979).[6] Hal ini mau menggambarkan bahwa persekutuan antarpribadi manusia pertama terjadi dalam aspek seksualitasnya. Seks adalah bagian dari seksualitas.
Persetubuhan dalam arti bersatunya dua tubuh (laki-laki dan perempuan) selalu berarti bersatunya persona/ pribadi-pribadi. Tubuh yang mengungkapkan persona atau pribadi diciptakan oleh Allah untuk menjadi tempat di mana Dia yang tak kelihatan menjadi kelihatan. Dengan demikian, persetubuhan bukan semata bersifat biologis, melainkan juga bersifat teologis. Artinya, dengan bersatunya dua tubuh yang diartikan sebagai persatuan dua pribadi maka Allah yang tak kelihatan bisa “dilihat”. Manusia adalah gambaran atau citra Allah, secara lebih khusus dalam tindakan persetubuhan. Di dalam tindakan itu, ada communio personarum (persekutuan antarpribadi). Di dalam persekutuan tersebut ada semangat saling memberi secara total kepada pasangan.
             Hal ini juga mempertegas kenyataan bahwa seks pada manusia berbeda dengan seks pada binatang. Seks pada manusia bersifat manusiawi karena dalam kontak seks,  mereka dikendalikan oleh akal budi dan tidak sekedar sebagai pemuas nafsu. Persetubuhan pada manusia pertama  merupakan tindakan pemberian diri secara total yang berlandaskan cinta dan mengarah kepada perpaduan sempurna antar dua pribadi dari masing-masing jenis seks. Dengan demikian, tindakan persetubuhan menceriminkan diri sebagai citra Allah. Dalam persekutuan manusia pertama tersebut terjadi pemberian diri yang total yang secara nyata terekspresi lewat tindakan saling memberi diri yang dibangun atas dasar kebebasan dalam memilih.
Menjadi satu daging juga menyatakan secara eksterior apa yang sejati ada di dalam pikiran dan hati mereka, yakni semangat mencintai. Bagi YP II, dalam arah ini seharusnya kita menginterpretasi manusia sebagai citra Allah sebagaimana termuat dalam Kej 1: 27. Manusia sebagai citra Allah bukan saja dalam dirinya sendiri tetapi juga dalam tindakan persekutuan antarpribadi. YP II mencatat,
….manusia menjadi gambar Allah tidak hanya melalui kemanusiaannya, melainkan juga melalui persatuan pribadi-pribadi (communio personarum), yang sejak awal mula dibentuk oleh laki-laki dan perempuan…manusia menjadi sebuah gambar Allah baik dalam saat kesendirian, maupun dalam saat persekutuan atau persatuan. [7] (TOB, 9: 3; 14 November 1979)
Dalam pemaparan di atas disebutkan bahwa manusia adalah citra Allah juga dalam momen persatuan antarpribadi. Allah yang dimaksudkan di sini adalah Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Ketiga pribadi Allah membentuk suatu relasi yang sangat intim. Ketiganya tak terpisahkan. Oleh karena itu, ketika menyebut manusia adalah citra Allah juga dalam momen persatuan antarpribadi menyatakan bahwa walaupun pribadi manusia yang satu terpisah dari yang lain, tetapi mereka tak terpisahkan.
Inilah moment ketika YP II mengemukakan ide mengenai pemberian diri (gift) yang merupakan faktor yang menentukan untuk memahami seksualitas manusia.  Seksualitas manusia tidak hanya dimengerti dalam masalah biologis, tetapi di dalamnya termaktub pesan fundamental bagi manusia terutama dalam konteks membangun communio personarum. [8] Pertama,  communio personarum disadari  dan dihidupi dengan cara saling memberi diri dalam persekutuan tersebut. Kedua, perempuan merupakan karunia/gift dari Allah kepada laki-laki (dan sebaliknya laki-laki bagi perempuan).  Sebelum penciptaan perempuan, tidak ada kemungkinan adanya  relasi  antarpribadi karena tubuh animalia tidak mencerminkan pribadi. Dengan demikian manusia laki-laki dengan tubuhnya yang mencerminkan pribadi tidak bisa menemukan penolong yang sepadan dari antara tubuh animalia yang tidak mencerminkan pribadi.
             Tubuh manusia laki-laki dan perempuan  yang mencerminkan pribadi masing-masing memungkinkan adanya relasi timbal balik atas dasar cinta. Yang dicari dalam relasi tersebut bukan terbatas dalam tubuh. Artinya yang dicari bukan terutama tubuh, melainkan pribadi yang terpancar melalui tubuh itu. Yang dirindukan  adalah pertemuan pribadi. Hal ini menjadi mungkin dalam kondisi masing-masing yang bertubuh sebagai laki-laki dan perempuan.
             Mereka mampu saling memberi karena mereka diberikan satu kepada yang lain oleh Allah pencipta. Allah memberikan perempuan kepada laki-laki dan sebaliknya. Dalam relasi demikian mereka menemukan arti hidup. Hal ini juga ditekankan oleh YP II dalam ensiklik pertamanya yakni Redemptor Hominis (RH). Dalam art. 10 dia menulis,“Kehidupan manusia tanpa arti (senseless), jika tidak ada cinta.”[9]
             Cinta Allah adalah sumber pemberian yang fundamental yang mendahului tindakan saling memberi antara manusia laki-laki dan perempuan. Dengan mengikuti arah ini, dia selanjutnya berbicara mengenai prokreasi sebagai “sebuah tindakan member (gift) kehidupan.” Itulah sebabnya YP II sangat menentang tindakan hubungan seksual dalam tindakan perkawinan (satu daging yang mengambarkan kesatuan antara kedua pribadi) yang dilepaskan dari keterbukaan akan adanya hidup baru. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan yang bersatu atas dasar kebebasan mengemban status baru, di mana perempuan menjadi istri dan laki-laki menjadi suami (bdk. TOB 10: 4; 21 November 1979).[10]  



[1]Ibid., hlm160.
[2]Lih. Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku, hlm. 58.
[3]Kej. 2: 23.
[4]Penolong [Ibr. Ezer] tidak dimaksudkan sebagai pembantu seperti pemasak, tukang cuci dan lain-lain. Dalam Kitab Suci Perjanjina Lama, Allah pun sering disebut sebagai penolong [bdk. Kel. 18: 4; Mzm 33: 20]. Penolong yang dimaksudkan dalam ulasan bahwa manusia perempuan menjadi penolong bagi laki-laki  ditempatkan dalam konteks hubungan saling mencintai antara keduanya. Jadi penolong diartikan sebagai orang yang dapat mengingatkan orang lain dan membantunya untuk memenuhi tujuan terdalam dari hidup manusia, yakni mencintai. Sehingga, manusia laki-laki dalam konteks pembahasan kita membutuhkan perempuan agar dia menjadi manusia yang semakin penuh (to be fully human), sebagaimana juga perempuan membutuhkan laki-laki. Bdk. Mary Healy, Men & Women are from Eden. A Study Guide to John Paul’II Theology of the Body,  hlm. 23.
[5]Kej 2: 24.
[6]John Paul II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 168.
[7]“...man became the image of God not only through his own humanity, but also through the communion of persons, which man and woman form from the very beginning…man becomes an image of God not so much in the moment of solitude as in the moment of communion. “ Ibid., hlm. 163.
[8]Sexuality is more than a superficial, biological attribute. It is not manipulatable like hair or eye colour. Even the various methods that attempt to manipulate it surgically or pharmaceutically only change its exterior characteristics. Sexuality is integral to us as male and female persons.” Lih. Mary Healy, Men & Women are from Eden. A Study Guide to John Paul’II Theology of the Body, hlm. 24.
[9]“..his life is senseless, if love is not revealed to him.” Terkutip dalam: Ibid, hlm. 1.
[10]John Paul II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 169.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug