Langsung ke konten utama

TERSESAT DI HUTAN KALIMANTAN SETELAH MELAYANI DOMBA-DOMBA

TIM KATEKESE PAROKI DARIT MASUK DAERAH PEDALAMAN



KINI saya menjalankan misi di negara Perancis. Sebelum saya bertugas di negara sekular ini, saya pernah menjalankan tahun pastoral di daerah Kalimantan Barat, tepatnya di daerah Darit-Landak-Kalbar. Setiap hari minggu ada kebiasaan untuk tourney atau menjalankan pelayanan di daerah pedalaman. Salah satu tourney yang hingga kini masih membekas dalam  pikiranku adalah tourney pada hari Minggu, 17 Februari 2013. Boleh dibilang tourney kali itu adalah Pengalaman yang tak terlupakan selama berpastoral di daerah Darit-Kalbar. Begitulah kata-kata  yang pas untuk melukiskan pengalaman yang masih terngiang dalam benak saya hingga saat ini. Pengalaman tourney kali ini lain dari yang lain atau lain dari biasanya. Mengapa? Beberapa alasan yang bisa dikemukanan:
Yang pertama, dalam kalender Liturgi Gereja Katolik, pada hari Minggu, 17 Februari 2013 merupakan minggu pertama masa Prapaskah. Seperti biasanya, Panitia Paskah Paroki Darit dalam masa Prapaskah mengadakan katekese ke stasi-stasi. Panitia Paskah melalui seksi Katekese membagi panitia Paskah ke dalam 8 kelompok team Katekese. Masing-masing kelompok  dipandu langsung oleh biarawan-biarawati yang ada di Paroki St. Agustinus dan Mattias Darit. Saya masuk dalam team Pak Witono, Cs. Dengan demikian, dalam tourney pada hari Minggu, 17 Februari 2013 saya ditemani oleh team katekese pak Witono Cs. Kedua, dalam pengalaman ditemani oleh team katekese kami tersesat di hutan pedalaman Meranti-Kabupaten Landak-Kalimantan Barat. Saya tertarik untuk menuangkan lagi pengalaman indah ini sebagai berikut.
***********************************************************************************
PASTOR DEDIAN MSC BERSAMA TIM KATEKESE BERISTIRAHAT SEJENAK


Pagi-pagi pada hari Minggu, 17 Februari 2013 sekitar pukul 08.00 WIB, pak Witono datang ke pastoran Gereja Paroki Darit untuk sama-sama berangkat ke stasi Sage-daerah Meranti. Di Pastoran sudah ada pak Anton dan Ibu Ana Maria yang juga adalah anggota team katekese yang akan berangkat ke stasi Jentaan bersama dengan pastor Dedian, MSC. Stasi Sage dan Jentaan sama-sama berada di daerah Meranti. Oleh karena itu, team katekese Sage dan Jentaan sama-sama berangkat dari pastoran. Saya dan pastor Dedian, MSC menggunakan motor yang sama “Kawasaki Trial”. Kami pun sama-sama berangkat ke Meranti pada pukul 08:15. Kami tiba di pusat kecamatan Meranti pada pukul 08:35. Kami singgah di dekat masjid, di daerah jalan menuju kampung Ompeng, dst. Tujuannya adalah Kami menunggu Pak Witono, yang masih singgah di daerah Kayuara. Team Katekese Pak Witono, Cs yang bersedia pergi ke stasi Sage hanyalah pak Witono. Ibu Helena, yang berasal dari stasi Kayuara sebelumnya sudah memberitahukan kepada saya bahwa dia tidak bisa ke Sage karena baru 3 bulan dioperasi. Tak lama menunggu, Pastor Kor MSC datang bersama Dewi hendak ke stasi Sedagok menggunakan rute jalan yang sama (hanya saja di kampung Ompeng melewati simpang kiri menuju kampung Sedagok, sedangkan Jentaan dan Sage melalui simpang kanan). Dia bertanya:”mau tunggu siapa? “Kami tunggu pak Witono”, jawab ibu Ana Maria. 2 menit kemudian, Pak Witono datang memboncengi ibu Helena. Kami semua terheran-heran padanya karena kami tau Ibu Helena baru saja dioperasi (kurang lebih 3 bulan sebelumnya). Kami heran karena dia juga mau ambil bagian dalam pelayanan ke stasi Sage dengan kondisi jalan yang buruk. Ibu Helena menjawab:”saya tidak bisa pergi ke Sage kalau mengendarai sendiri motor, kalau ada yang bawa…OK”. Itulah jawaban singkat ibu yang murah senyum itu. Jadilah team saya bertambah satu.
Mulai dari Meranti hingga kampung Ompeng, kelompok team katekese Pastor Kor, Pastor Dedian, dan saya berjalan bersama-sama. Perjalanan ke kampung Ompeng relatif lancar karena jalan tidak licin. Oh yahh….perlu diketahui jalan-jalan ke stasi-stasi yang disebutkan tadi tidak berasapal, dengan keadaan topogragi berbukit-bukit. Bisa dibayangkan jalan ke stasi-stasi tersebut harus menaiki dan menuruni bukit. Beberapa kali saya turun dari motor untuk mengambil gambar para team katekese yang lagi berjuang dengan motornya masing-masing. Senyum dan kecerian terpancar dalam diri para team katekese. Ini menunjukkan semangat yang bernyala-nyala dalam diri para anggota team katekese untuk  melayani umat stasi pedalaman.
Kami berpisah dengan team katekese dari pastor Kor (yang ada hanya ibu Dewi) di stasi Ompeng. Team Sage dan Jentaan langsung menuju rute jalan Sage Jentaan. Perjalanan ke stasi Sage relatif lancar. Hanya saja saya dan Pastor Dedian, MSC sempat jatuh satu kali. Ibu Ana Maria sambil berguarua berkata:”sudah tangkap berapa ekor katak”? hehehehehe……………Sepanjang jalan ke Sage, kami pun tak lupa mengabadikan momen penuh keceriaan lewat foto bersama.
Pengalaman di Stasi Sage
Sesampai di stasi Sage, Pastor Dedian, MSC membeli air mineral untuk dibagi-bagikan kepada para anggota team katekese. Kira-kira lima menit singgah di stasi Sage, team pastor Dedian, MSC terus menempuh perjalanan ke stasi Jentaan (kira-kira 3 km dari stasi Sage). Kami pun menuju ke rumah ketua stasi Sage yang berada di dalam kampung Sage. Setelah sampai di rumah ketua stasi, kami tidak menjumpai ketua stasi. Yang ada di rumah hanya anak-anaknya (tiga orang) yang masih kecil-kecil. Satu orang berumur 6 tahun, dua lainnya masih sangat kecil (baru kira-kira 2 tahun). [1]
Beberapa warga Sage yang melihat kami di depan rumah ketua stasi bertanya kepada kami:”mau ketemu siapa? Kami menjawab :”ketua stasi di sini”. Kami dari Gereja Katolik di Darit. Saya bertanya:” Bapak agama apa?” Agama Kristen, jawabnya singkat. Ketua stasi ke uma/ ladang, dia menambahkan.  Kami pun bersepakat untuk menyusul team Jentaan. Sayangnya, kami hanya memiliki satu motor. Saya sebelumnya bersama-sama dengan pastor Dedian, MSC. Dalam rencana, team katekese Sage menunggu team Jentaan supaya bisa bersama-sama pulang ke Darit. Ternyata di luar dugaan. Orang-orang Sage kebanyakan di kebun. Dengan demikian tidak bisa mengadakan kegaitan ibadah di Sage. Kebanyakann mereka berada di kebun sampai sore hari. Saya pun bertanya kepada seorang warga Sage untuk membantu mengantar kami ke Jentaan. Dia memberi tahu saya agar bisa menghubungi seorang yang bernama Jawa. Dia menunnjukkan rumah Jawa kepada kami. Saya pun memberanikan diri pergi ke rumah Jawa untuk meminta bantuan agar bisa mengantar ke Jentaan. Dia pun bersedia. Jawabnya:”nanti saya makan dan mandi”.
Di Stasi Jentaan
Setelah Jawa mempersiapkan diri (kira-kira dua jam), kami sama-sama ke Jentaan. Sesampai di Jentaan, kami langsung ke rumah ketua stasi. Dalam perkiraan saya, di stasi Jentaan sudah mengadakan kegiatan katekese dan misa. Ternyata belum. Di stasi Jentaan ada kegiatan ucapan syukur padi baru yang dilaksanakan menurut adat Dayak. Adanya kegiatan tahun baru padi membuat umat tidak bisa masuk Gereja. Maklum adat masih lebih diunggulkan keteambang agama. Nanti pukul 12.00 WIB misa baru bisa dilaksanakan di gereja Stasi Jentaan. Yang hadir hanyalah anak-anak kecil dan empat orang  anak muda, ketua stasi, dan dua orang umat stasi Sage yang mengantar team kami ke Jentaan. Setalah misa kami diundang untuk makan beras baru oleh seorang umat yang juga ikut dalam misa. Seorang bapak lain lagi datang mengundang kami untuk makan beras barunya. Kami pun mengiyakan permintaannya. Jarum jam di rumah kedua yang mengundang kami makan beras barunya sudah menunjukkan pukul 15:15 WIB. Kami bersepakat untuk segera berpamitan dengan keluarga di rumah itu agar bisa segera pulang ke Darit. Mereka meminta kepada kami agar menginap karena hari sudah mulai hujan. Perlu diketahui, jalan-jalan di pedalaman Meranti sangat licin kalau hujan. Kami pun nekat pulang ke Darit. Kami meminta clue dari orang-orang Jentaan agar bisa pulang melalui jalan yang lebih rata. Kata meraka, ada satu jalan yang lumayan rata, tetapi sudah jarang dilalui, tepatnya di dekat Sage. Kami pun menuju Sage dan menuju jalan yang telah ditunjuk. Ternyata betul, jalan tersebut tampak tidak pernah dilewati. Baru sekitar 500 meter dari simpang Sage pastor Dedian, MSC sudah jatuh dari motornya, karena kondisi tanah sangat licin dan mendaki. Mulai dari tempat pastor Dedian jatuh kami mulai bersusah payah. Kami mulai mendorong motor team katekese satu persatu. Begitulah ritme perjalanan ketika menemuai jalan mendaki. Sama sekali tidak bisa naik. Ban penuh lumpur yang melekat.
Di tengah perjalanan tampak para team katekese merasa kecapaian yang luar biasa, karena selalu mendorong motor. Apalagi hari mulai gelap. Di sebuah jembatan kecil, pak Witono terjatuh ke air sungai bersama dengan motornya. Saya cepat-cepat menyelamatkan knalpot motornya agar tidak dimasuki air. Ternyata walaupun tidak masuk air, motor tetap saja macet. Setiap kali mau digas, mesin mati. Dengan segala kemampuan yang ada pak Witono dan pak Anton mulai memperbaiki motor. Baru bisa jadi nanti jam 7 malam. Kami pun meneruskan perjalan ke kampung Ompeng. Sudah lama di tengah hutan, tidak ada tanda-tanda akan sampai kampung Ompeng. Masuk keluar hutan Sengon. Hanya mengandalkan bekas ban motor sebagai clue. Raga kami mulai capek. Di sana-sini gelap gulita. Saya, ibu Helena, dan Ibu Ana Maria jalan kaki. Pak Witono, Pak Anton, dan Pastor Dedian, MSC berjuang dengan motor masing-masing agar bisa melewati jalan yang licin. Kami yang jalan kaki pun penuh perjuangan karena jalan sangat licin. Sudah 3 jam di dalam hutan, tidak ada tanda-tanda akan sampai ke kampung Ompeng. Kami memutuskan untuk berhentin sejenak dan menelpon kenalan-kenalan di Meranti. Syukurlah seorang dari kami memiliki nomor hp dari kepala puskesmas Meranti yang biasa keluar masuk hutan Meranti. Kami bertanya mengenai keberadaan kami. Apakah tersesat atau tidak. Kami meminta bantuan agar mengirimkan bantuan orang Meranti yang bisa mencari tahu keberadaan kami sekaligus membawa bensin untuk motor yang sudah mulai habis. Pak Urip (kepala puskesmas Meranti) siap mengirimkan bantuan. Kami menunggu di sebuah persimpangan lain antara kampung Ompeng dan Sage. Lama tunggu di dalam hutan, datanglah bantuan dari Meranti. Dua anak muda dengan menggunakan motor bebek. Mereka membawa serta bensin. Kami pun memutuskan untuk segera ke kampung Ompeng. Ternyata masih jauh. Kami sampai ke Ompeng pada pukul 23.00 WIB. Di Ompeng kami singgah di sebuah rumah umat. Mereka menawarkan agar kami tidur di rumah mereka. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Meranti. Perjalanan dari Ompeng menuju Meranti masih jauh. Apalagi dalam kondisi jalan yang lumpur. Tentunya aktivitas mendorong motor ketika jalan menanjak menjadi kegiatan berualang sepanjang menemui jalan mendaki.
Saling Pegang Ala Out-Bound
Jalan yang becek, licin membuat saya beberapa kali jatuh. Saya teringat akan ibu Helena yang baru saja dioperasi. Saya takut dia jatuh seperti saya. Beberapa kali ketika mendorong motor, saya jatuh sampai tangan keseoleo. Berapa kali saya membantu pak Witono untuk membawa motornya. Hal yang sama untuk membantu pak Anton. Saya tidak bisa lagi membantu mereka ketika tangan saya keseleo waktu jatuh. Selama perjalanan dari Ompeng menuju Meranti saya membantu Ibu Helena dan Ibu Ana Maria untuk memegang tangan mereka. Beberapa kali ibu Ana Maria jatuh. Saya berjuang menahan agar mereka tidak jatuh. Ibu Helena kelihatan pandai jalan di tempat yang licin. Dia dengan penuh perasaan jalan di tempat yang licin. Namun demikian, saya tetap siap sedia untuk memegang tangan mereka. Beberapa kali ibu Helena sempat hampir jatuh. Saya cepat-cepat menahannya. Sekali lagi saya ingat akan operasinya. Puji Tuhan, sampai di Meranti dia tidak jatuh sekali pun. Hanya saya dan ibu Ana yang jatuh. Saya jatuh berkali-kali karena mendorong motor. Di dalam kegelapan mendorong motor, dengan pijakan yang licin. Walaupun badan penuh lumpur, badan sakit, tangan sakit, perut lapar, saya merasa sangat senang ketika sampai di Meranti. Kami sampai di Meranti pada pukul 01.00 pagi hari Senin, 18 Februari 2013.
        Pak Urip dan Istrinya menyambut kami dengan penuh keramahan. Dia menawarkan kami agar membersihkan diri di kamar mandi. Maklum badan dan pakaian kami penuh lumpur. Keluarga pak Urip memberikan pakain mereka untuk kami pakai sementara. Maklum pakaian di badan sudah basah kuyup. Setelah mengganti pakain, kami disuguhi makan. Makan nasi, sayur singkon, dan telur goreng, ditambah sambal……………hmmmmmmmmmmmmmmm rasanya enak sekali. Enak karena dalam kondisi yang sangat lapar. Maklum saya makan siang di Jentaan hanya sedikit saja. Team katekese setelah makan, tampak mulai mengantuk. Rupanya kami sudah tidak mampu lagi pulang ke Darit (pusat paroki). Pak Urip meminta kami agar tidur di rumahnya. Kami pun tidur di rumah pak Urip. Bangun pagi kami siap-siap kembali ke Darit. Tiba di Darit pukul 09. 30 WIB. Pengalaman tourney kali ini memang mengajarkan banyak nilai bagi hidup dan jalan panggilanku. Yang utama adalah: siap sedia untuk meninggalkan zona nyaman (comfort zone).
Nilai-nilai Lainnya:
1.    Kesiap-sediaan
2.    Sense of Mission
3.    Perjuangan
4.    Keramah-tamahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug