Langsung ke konten utama

Yesus: Model Bagi Kepemimpinan Kristiani




Pendahuluan                   
Pada tanggal 4 Oktober 2013, dalam sebuah kesempatan rekoleksi Jumat pertama untuk para frater skolastik MSC di Skolastikat MSC Pineleng Pastor Albertus Sujoko, MSC menguraikan poin-poin mengenai harapan-harapan umat tentang imamnya. Beberapa poin yang sempat saya catat sesuai dengan ulasan Pastor Sujoko, antara lain: imam itu adalah orang yang baik, tidak ingat diri, rela melayani, spiritual man, spiritual servant, bijaksana, wawasan luas, doanya didengarkan Tuhan, credible, tempat minta nasihat, tempat minta uang, ramah-proaktif dalam menyapa, orang yang harus bergembira, penuh iman, orang yang tabah-bertahan dalam penderitaan, orang yang berani/rela, mampu mengontrol dorongan seksual, matang secara psikologis, dan orang yang setia pada komitmen atua janji.
Dari uraian di atas sangat tampak bahwa umat sangat mengharapkan agar para imamnya, sebagai pemimpin dan pelayan pastoral memiliki kualitas dalam banyak dimensi. Ketika membaca kembali poin-poin di atas saya teringat akan sebuah pernyataan inspiratif dari Richard M. Gula. Dia menulis:”
Yesus adalah norma terakhir  bagi pemaknaan menjadi seorang pribadi dan hidup secara responsif dengan penuh terhadap Allah. Menerima Yesus sebagai model yang seharusnya kita hidupi dan yang seharusnya kita lakukan adalah memasuki jalan kemuridan.” [1]

Saya melihat bahwa harapan-harapan umat akan imamnya yang adalah pemimpin mereka mau tidak mau harus berpatok pada pribadi Yesus. Semangat hidup Yesus perlu dihidupi oleh para pemimpin Gereja (imam) agar bisa setia kepada Tuhan dalam tuntutan-tuntutan pelayanan. Bagi saya hal ini sangat beralasan. Dalam antropologi-teologis kristiani, usaha untuk menyingkapkan misteri manusia ditempuh melalui refleksi iman. Kita akan memahami manusia melalui pintu masuk kristologi. Manusia disingkapkan misterinya melalui misteri manusia Yesus Kristus. [2]Dengan merefleksikan pribadi Kristus kita dituntun pada suatu penemuan akan pertanyaan: apa makna dan tujuan hidup sebagai manusia? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan pokok bagi setiap umat manusia. Tujuan hidup kita adalah menjalankan kehendak Allah yang mengarah pada kebahagiaan hidup.[3] Hal ini telah ditunjukkan oleh Yesus dengan sempurna. Kedatangan-Nya ke dunia membawa misi utama yakni  memuliakan dan melaksanakan kehendak Bapa-Nya.[4] Dengan demikian Kristus adalah contoh yang mencahayai setiap umat manusia dalam menggapai tujuan hidup mereka di dunia ini sehingga pada akhirnya bisa menemukan kebahagiaan hidup yang sempurna.[5]
Saya juga melihat kepemimpinan kristiani dalam konteks ini. Dalam misi-Nya untuk mewarakan kehendak Bapa, Yesus mengedepankan unsur-unsur kualitas kepemimpinan. Sebagai pengikut Yesus, saya membahas kepemimpinan Kristiani dalam bingkai kepemimpinan Yesus. Tentu juga kepemimpinan kristiani yang tidak terlepas dari tujuan hidup yakni kebahagiaan dan kekudusan hidup.
Agar umat kristiani dan para pemimpin kristiani dapat mencapai kebahagiaan hidup, maka hal pertama dan utama adalah menjalankan kehendak Tuhan dengan meneladani Yesus Kristus. Untuk itu, kita perlu memahami pribadi Yesus Kristus yang merupakan teladan dalam menjalankan kehendak Bapa sehingga pada akhirnya kita juga seperti Dia mengalami situasi sukacita Paska (Kebangkitan bersama Yesus) atau mengalami kepenuhan hidup.
Di bawah ini, saya akan memaparkan secara garis besar pokok-pokok mengenai Yesus Kristus. Secara berurutan tentang Yesus Kristus adalah sungguh manusia serta inspirasinya bagi para pemimpin Kristiani. Dalam tulisan ini jhga saya sertakan dengan refleksi pribadi dalam konteks untuk mengikuti Yesus secara dekat dalam hal pelayanan.

1.Yesus Kristus Adalah Sungguh Manusia

1.1. Alasan Gereja Mengajarkan Bahwa Yesus Adalah Sungguh Manusia
Bukan tanpa alasan Gereja mengajarkan Yesus Kristus adalah sungguh manusia.Tak dapat dipungkiri bahwa bidaah-bidaah pertama kurang menyangkal ke-Allah-an Kristus daripada kemanusiaan-Nya yang benar (Doketisme gnotis). Untuk mengimbangi bidaah-bidaah yang bermunculan sehubungan dengan Yesus Kristus sungguh manusia, maka Gereja menjelaskan secara meyakinkan, karena kepercayaan akan penjelmaan Putra Allah menjadi manusia adalah tanda pengenalan iman  kristen yang paling khas:”demikianlah kita mengenal Roh Allah: Setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang kepada manusia, berasal dari Allah” (1 Yoh 4: 2). Itulah sebabnnya sejak awal mula keyakinan Gereja sangat menggembirakan.  Gereja menyanyikan “Sungguh agunglah rahasia ibadah kita”: Ia telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia” (1 Tim 3: 16).
Penegasan Yesus sebagai manusia memang bercorak teologis dan historis.Oleh karena itu dalam rangka merefleksikan Yesus historis, kita perlu bicara tentang Yesus sebagai manusia.Dia adalah seorang manusia historis, person konkret, pernah hidup dan mati di dunia dalam suatu kurun waktu tertentu.Bagi saya ini sangat memberi inspirasi bagi para pelayan pastoral atau pemimpin Gereja. Figur Yesus sebagai norma utama pelayanan. Untuk itu kita perlu data-data biblis untuk mengenal lebih dalam bagaimana Yesus telah hidup sebagai manusia secara historis.

1.2. Bukti Bahwa Yesus Adalah Sungguh Manusia.
            Bauer dalam tulisannya Christus un die Casaren menyebutkan bahwa pada abad XIX kritik historis terhadap eksistensi Yesus yang disebut Kristus menjadi semakin menggila dan semakin radikal bahkan beberapa ekstrimis sampai pada penegasan bahwa manusia Yesus yang diceritakan dalam injil, sesungguhnya tidak pernah ada. Menurut mereka cerita mengenai Yesus hanyalah mitos  belaka.[6] Penegasan seperti ini tentunya mendorong umat beriman untuk menggali kembali dasar iman mereka akan pribadi Kristus. Orang Kristen perlu mendapat kepastian bahwa iman mereka kepada Kristus tidak dilandasi oleh sebuah fantasi atau dusta belaka. Oleh karenanya butuh data historis untuk memberikan alasan masuk akal mengenai harapan iman mereka. Menurut hasil studi hingga sekarang ini, eksistensi Yesus dari Nazaret dapat ditemukan jejaknya dalam pelbagai catatan sejarah dan naskah-naskah tua baik dari lingkungan Yahudi, Romawi, maupun Kristen sendiri.[7] Misalnya tulisan dari para penganut Yudaisme seperti Flavius Josephus. Dia menulis:” sekitar masa itu (masa pembantaian orang Yahudi oleh Pilatus hiduplah Yesus orang bijak, seandainya bisa disebut sebagai manusia. Ia mengerjakan karya-karya luar biasa, mengajar orang-orang yang menerima kebenaran dengan sukacita, ia menarik banyak orang, baik kalangan Yunani maupun Yahudi”. [8]
Masih ada banyak data lain dalam tradisi Yudaisme yang mengungkapkan historisitas Yesus seperti termuat dalam Talmud. Di samping terungkap dalam catatan historis Yudaisme juga terdapat dalam catatan para penulis Romawi misalnya yang ditulis oleh Plinius Junior, Cornelius Tacitus, dan Svetonis Tranquilus.
Dengan demikian, berdasarkan catatan para penulis dari luar Kekristenan eksistensi Yesus tidak diragukan lagi. Informasi para penulis bukan kristen ini sangat bernilai karena memungkinkan kita membuat suatu kontrol atau verifikasi atas setiap data atau fakta dalam tradisi Kristen awal sehubungan dengan hidup dan karya Yesus.
Dari lingkungan Kristiani sendiri dapat dilihat informasi dari naskah-naskah kanonik yang secara resmi diakui oleh Gereja sebagai naskah dengan kewibawaan yang bersumber pada inspirasi ilahi dan karenanya menjadi ‘regula fidei’ patokan bagi iman. Dalam hal ini keempat injil dapat dikategorikan sebagai kitab sejarah dari kelompok kitab suci yang memuat historisitas Yesus. Oleh karenanya, secara selektif penulis mencoba mengangkat beberapa teks kitab suci yang menunjukkan historisitas Yesus Kristus sebagai representasinya. Dengan menampilkan masing-masing perikop yang dipilih, penulis akan menjelaskan makna Yesus sebagai benar-benar manusia, terutama bagi para pelayan pastoral.

1.2.1 Pembabtisan Yesus di Sungai Yordan.
Keempat injil memuat pembabtisan Yesus (Mat 3: 13-17; Mrk 1: 9-11; Luk 3: 21-22; Yoh 1: 29-33). Kenyataan bahwa Yesus menempatkan diri pada barisan orang-orang yang dibabtis oleh Yohanes Pembabtis diterima secara historis oleh para ahli.Baptisan Yohanes ialah tanda pertobatan dari dosa.Orang-orang yang datang kepada Yohanes minta dibabtis sebagai tanda pertobatan mereka.Dengan meminta dibabtis oleh Yohanes, Yesus menyatakan kemanusiaan-Nya.Dia bukanlah pendosa hanya saja Dia menyamakan diri-Nya dengan manusia pada umumnya yang berdosa dan terkena akibat-akibat dosa.Dengan demikian tampak bahwa berdasarkan data biblis ini Yesus dapat disebut sebagai manusia yang lemah lembut dan rendah hati; manusia yang solider dengan nasib sesamanya; manusia yang menampilkan diri dalam kerapuhan, dan bukan dalam kekuatan; manusia yang rela berkorban, dan bukan mencari keuntungan dirinya sendiri.

1.2.2 Yesus Hidup tanpa Menikah
Saya sengaja memasukan poin ini untuk menggarisbawahi relevansinya bagi para pelayanan Gereja yang tidak menikah (selibat) dalam uraian selanjutnya.Bagaimana kita tahu bahwa Yesus sebagai manusia tidak menikah?Jawabannya bisa kita telusuri lewat uraian singkat berikut ini.

1.2.2.1         Pandangan Kitab Suci Tentang Hidup Selibat Yesus (Perjanjian Baru)
Tidak ada teks dalam Perjanjian Baru yang secara tegas membicarakan tentang hidup selibat Yesus. Rasul Paulus, dalam menjalankan tugas pewartaanya ia tidak menikah. Ketika ia memberikan contoh tentang hidup selibat atau tidak menikah seumur hidup, dia tidak menjelaskan contoh hidup Yesus, tetapi justru sebaliknya dia membicarakan dirinya sendiri. “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang yang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunianya ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya mereka tinggal dalam keadaan seperti itu” (1 Kor. 7:7-8).Oleh karena itu pertanyaanya, bagaimana kita mengetahui, bahwa Yesus menikah atau tidak menikah?
Bagian manapun dalam Perjanjian Baru, berbicara secara langsung atau tidak langsung tentang kemungkinan perkawinan Yesus.Pada masa Tuhan Yesus, sebuah pernikahan disiapkan oleh orang tua.  Mereka biasanya menikah pada usia yang sangat muda ( usia 17 tahun untuk pria dan 13 atau 14 tahun untuk wanita). Tanpa keraguan, hidup membujang dari Yesus selama hidupnya di Nazaret agak menyolok.Jelas bahwa Yesus tidak memiliki keluaraganya sendiri, dalam hal ini anak laki-laki ataupun anak perempuan.Dia dipanggil sebagai anak, saudara laki-laki, namun tidak pernah dipanggil sebagai ayah.
Dalam kitab suci perjanjian baru.ada sebuah teks yang bisa memberikan titik terang kepada kita tentang Yesus yang tidak kawin yaitu, Mat. 19:12. “Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunya sendiri oleh karena kerajaan sorga”.Memang teks ini tidak secara langusung mengatakan tentang diri Yesus yang tidak menikah. Tetap dari pernyataan ini hal penting yang mau diangkat oleh Yesus adalah bahwa ada orang-orang yang tidak menikah atau hidup selibat, bukan karena paksaan orang lain tetap suatu kehendak bebas demi kerajaan Allah.
Dari teks ini kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa Yesus adalah salah satu dari para sida-sida bagi pemerintahan Allah.Meskipun beberapa dari para penulis menduga bahwa kebersamaan dalam hidup atau konteks dari teologis Yesus, ditolak oleh mereka yang memusuhi-Nya disebabkan oleh hidup-Nya yang membujang seumur hidup. Yesus akan mencoba mempertahankan diri-Nya sendiri dengan menawarkan alasan yang paling dalam bagi pembujangan-Nya yaitu demi Kerajaan ALLAH. Ekspresi dari Yesus ini dapat juga menjadi pertahanan bagi bentuk penyingkapan eskatologi kehidupan pelayanan pemerintahan ALLAH.

1.2.3 Penderitaan Yesus di Getsemani
Penderitaan yang dialami oleh Yesus di taman Getsemani sungguh luar biasa[9], bahkan Ia sendiri mengalami rasa takut dan gentar. Kesedihan Yesus bukan hanya terungkap dengan kata, melainkan juga terekspresi lewat tubuh-Nya.Dari penderitaan-Nya di Getsemani kita bisa mengenal manusia Yesus yang membawa di dalam diri-Nya kerapuhan manusiawi.Di situ, tampak bahwa Yesus bukan superman, seperti kesan umum. Dia sesungguhnya seorang manusia yang juga takut akan kematian.

1.2.4 Kematian Yesus di Golgota
Penderitaan Yesus di kayu salib[10] melampaui semua pengalaman penderitaan akibat dosa. Pengalaman-Nya ditinggalkan oleh Allah sebagai akibat kedosaan yang memutuskan perjanjian dialami oleh Yesus sebagai momen di mana Ia sedang melewati “ saat” dan sedang “meminum cawan”. Meminum cawan berarti mengalami penderitaan sebagai konsekuensi dari kedosaan manusia. Kenyataan bahwa Yesus bukanlah pendosa semakin menonjolkan tragisnya salib, yang bagi manusia berdosa saja tidak tertahankan. Namun demikian dasar kematian-Nya adalah konflik antara kerajaan Allah yang dibawa-Nya dan agama Yahudi yang telah membeku, yang di dalamnya bukan lagi Allah yang menjadi pusat kehidupan, melainkan Taurat dan adat istiadat. Justru karena hubungan Pribadi-Nya dengan Allah, Yesus berada dalam pertentangan dengan sistem keagamaan.[11]


2. Konsekuensi Kepercayaan Kepada Yesus Yang Adalah Sungguh Manusia Bagi Kepemimpinan Kristiani

2.1 Self-Sacrifice dan Self-Emptyness
Dari data-data yang dipilih ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang manusia autentik.Keaslian-Nya sebagai manusia tampak dalam pengalaman-pengalaman-Nya yang dikondisikan oleh keadaan-Nya sebagai manusia.
Semangat pengosongan diri Yesus salah satunya tampak lewat cara hidupnya yang tidak menikah. Dia meninggalkan kemapanan (comfort zone), termasuk keluarganya.Siapakah ibu-Ku dan siapakah saudara-Ku? Melalui jawaban-Nya, kita merasa bahwa Yesus “meninggalkan” keluarga-Nya, agar membentuk keluarga yang lain. Keluarga yang dimaksudkan Yesus adalah keluarga yang mendengar dan melaksanakan firman-Nya. “inilah ibuku dan inilah saudara-saudaraKu, sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapaku do sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu” (Mat. 12:46-50). Ini adalah hasrat dari hidup Yesus selama bertahun-tahun dalam menjalankan tugas perutusannya.Suatu panggilan hidup untuk membentuk keluarga atau komonitas yang baru yaitu keluarga atau komunitas yang melaksanakan kehendak Bapa di sorga.Keluarga kerajaan Allah atau yang berada dibawah pemerintahan Allah.
Melalui cara hidupnnya yang tidak menikah ini, Yesus membentuk komunitas baru dari para pengikut pria dan wanita dalam pelayanan Kerajaan Allah. Ini adalah komunitas yang memproklamirkan pemerintahan ALLAH, mengusir roh jahat, menyembuhkan orang sakit, memberikan kabar sukacita kepada orang miskin dan orang-orang kecil. Bagi mereka yang sudah diundang pada pesta perjamuan pemerintahan Allah harus segera menjawab undangan tersebut dengan cara yang positif. Yesus sama sekali tidak memberikan suatu ungkapan bahwa diri-Nya akan menikah, tetapi Dia mengajak orang baik laki-laki maupun perempuan untuk memberikan diri untuk melaksanakan kehendak Allah.
Bentuk dari hidup tidak menikah atau hidup selibat yang ada dalam Gereja tidak lain merupakan teladan dari hidup Yesus sendiri yang dipersembahkan untuk melaksanakan atau demi kehendak Bapa di sorga. Oleh karena itu bagi siapapun yang mau mengikuti Dia, harus siap siap sedia meninggalkan kemapanan atau zona nyaman dan  tidak melekatkan diri pada hal-hal duniawi.
Pengosongan diri yang ditunjukkan Yesus juga terbukti lewat penderitaan-Nya.Misteri Yesus yang demikian menyingkapkan misteri manusia utama yang rela menanggung penderitaan yang bukan disebabkan oleh kesalahannya sendiri.Orang yang menderita karena kesalahannya sendiri tidak bisa disebut manusia utama.Orang yang menderita karena faktor-fakor lain yang bukan kesalahannya sendiri mencuatkan suatu nilai yang berkaitan dengan moralitas. Dalam pengalaman penderitaan yang ditanggung oleh Yesus, keutamaan manusiawi mendapat dimensinya yang baru. Yesus membuka wawasan luas bagi realisasi kemanusiaan, yaitu bersedia menanggung derita sebagai akibat penyebab-penyebab lain dari luar dirinya. Kesediaan untuk menderita dengan motivasi  seperti ini adalah hal baru yang dibawa oleh Yesus. Saya melihat ini sebagai hal istimewa yang perlu dicontohi oleh segenap para pemimpin Gereja dalam kaitannya dengan pelayanan.
 Secara singkat dapat dikatakan bahwa visi antropologi kristiani membuka cakrawala dengan menawarkan “pengurbanan diri” (self-sacrifice) atau “pengosongan diri” (self-emptyness) seturut teladan Yesus sebagai keutamaan manusiawi yang mengandung imperatif moral. Manusia akan menjadi dirinya seperti seharusnya kalau menusia mengembangkan keutamaan berkurban. Nilai Pengorbanan justru terletak pada kenyataan bahwa orang menanggung penderitaan yang merupakan bagian dari tugas perutasannya.
Kita mengimani Kristus lewat inisiasi dalam sakramen permandian. Untuk persoalan ini Bernard Harring[12] menegaskan bahwa sebagai pengikut Kristus yang diinisiasikan lewat sakramen Pembabtisan ada konsekuensi moral bagi eksistensi kita sebagai manusia yakni sebagai ciptaan baru dalam Kristus. Ada dua pengertian yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni manusia sebagai ciptaan  baru menghayati hidupnya dalam kesatuan dengan Tuhan dan sesama, serta manusia menjadi Murid Yesus yang bebas dan setia secara kreatif dan bertanggung jawab. Ciri manusia baru adalah menjadi pribadi yang terbuka dan inklusif, bukan tertutup dan eksklusif. Manusia baru dalam Kristus menghayati hidupnya dalam relasi erat dengan Tuhan, dengan sesamanya dan dengan alamnya. Semakin orang terbuka, semakin ia menjadi dirinya sendiri. Dalam logika ini, jalan untuk menjadi diri sendiri bukanlah melalui self-fulfilment, melainkan melalui self-giving atau self- sacrifice.
Kualitas  pokok Yesus ini menggugah hati saya terutama dalam hal pengorbanan diri. Bagi saya kualitas seorang pelayan Kristiani perlu menghidupi aspek ini. Tanpa aspek pengorbanan diri pelayanan kita akan terasa hambar. Bahkan tak dapat dipungkiri akan berefek pada pencarian kepuasan bagi diri sendiri, bukan untuk tujuan pelayanan.
Sekarang ini di mana-mana para motivator gencar berbicara mengenai self-fullfilment. Dengan demikian menjauhkan publik dari usaha mengorbankan diri. Yang dicari pada zaman ini adalah usaha realisasi diri untuk tujuan produktivitas. Orang berlomba-lomba mencari jalan untuk mengembangkan diri ke arah produktivitas. Dengan demikian absen terhadap semangat pengorbanan diri. Padahal hal inilah yang menjadi pokok  yang ditunjukkan Yesus kepada kita umat-Nya. Saya secara pribadi menyadari belum mempraktekan secara optimal aspek ini karena masih dilandasi oleh semangat self-centered atau masih tinggal dalam zona kenyamana diri (comfort zone).
Jebakan atau tawaran dunia yang selalu mendengungkan self-fullfilment tak dapat dipungkiri juga merasuki para pelayan Kristiani dewasa ini. Kalau toh dalam kenyataannya para pelayan pastoral (termasuk saya) jatuh dalam semangat zaman ini, maka baiklah perlu kembali melihat pribadi Yesus sebagai dasar dan contoh dalam semangat pelayanan. Pelayanan para petugas pastoral, apa pun bentuknya merupakan tanggapan bebas atas panggilan Tuhan sendiri. Dengan demikian, tanggung jawab moral seorang pelayan pastoral bukan hanya kepada diri sendiri atau kepada mereka yang dilayani, melainkan terlebih kepada kepada Dia yang memanggil, yakni Tuhan sendiri. Yesuslah yang menjadi norma terakhir dari para pelayan pastoral. Sebagaimana Yesus dalam hidup-Nya selalu responsif terhadap sesama, demikian juga para pelayan pastoral Gereja dipanggil untuk mencontohi semangat hidup Yesus.Inilah jalan kemuridan sebagai seorang pelayan.Para pelayan bukan diajak untuk meniru perilaku lahiriah-Nya, namun yang terpenting adalah menghayati semangat-Nya supaya tetap setia kepada Tuhan dalam tuntuntan-tuntutan pelayanan.Selain itu, kriteria etis seorang pelayan pastoral didasarkan atas identitasnya sebagai sebagai citra Allah. Kesadaran dan keyakinan sebagai citra Allah mendukung para pelayan pastoral untuk memberikan diri secara lebih utuh  kepada mereka yang dilayani, demi kesejahteraan umum. Kriteria etis ini melawan usaha manusia untuk lebih mementingkan diri (self fulfillment).Kriteria etis ini meneguhkan para pelayan pastoral bahwa anugerah-anugaerah yang mereka terima dari Tuhan perlu disalurkan kepada sesama dan seluruh komunitas.[13]

2.2 Memiliki Visi yang Jelas dalam Pelayanan
            Dengan penjelmaan Yesus menjadi manusia menunjukkan bahwa kehadiran-Nya mendamaikan kita dengan Allah dan dengan demikian menyelamatkan kita.Allah telah mengasihi kita dengan dan telah mengutus anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita (1 Yoh 4: 10). Yesus sebagai manusia datang ke dunia untuk menjadi Juru Selamat dunia bahwa Ia telah menyatakan diri-Nya supaya ia Menghapus segala dosa (1 Yoh 3: 5).
Bahkan Gregorius dari Nisa menulis:
“kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter; manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali; yang kehilangan kehidupan membutuhkan seorang yang membawanya kembali kepada yang baik; yang tinggal dalam kegelapan merindukan kedatangan sinar; yang tertawan merindukan seorang penyelamat, yang terbelenggu seorang pelepas, yang tertekan di bawah kuk perhambaan memerluhkan seorang pembebas.  Bukankah hal-hal berarti dan penting untuk menggerakkan Allah, sehingga Ia turun bagaikan seorang dokter yang mengunjungi kodrat manusiawi, setelah umat manusia terjerat dalam situasi sangat menyedihkan dan memprihatinkan”.[14]
           
            Secara pribadi saya mengagumi Yesus yang rela turun ke dunia untuk misi penyelamatan.Dia rela melepaskan kenyamanan bersama Bapa di surga dengan kesediaan menempati dunia yang sakit ini.Ini merupakan ajakan bagi saya untuk sekali lagi untuk siap sedia meninggalkan kenyaman-kenyamanan diri yang meninah-bobohkan saya dalam pencarian makna hidup yang semu, kering dan hampa.
            Dilihat dari perspektif ini saya melihat pentingnya sebuah visi dalam pelayanan bagi seorang pemimpin Kristiani.Jangan-jangan kita hanya bekerja dan bekerja tanpa fokus atau arah. Dalam bahasa Stephen Covey, hendaklah seorang pemimpin memiliki kualitas:”begin with the end in mind”. Maksudnya adalah sebelum bertindak, seorang pemimpin perlu memilki visi yang jelas dalam pikiran.Yesus datang ke dunia untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Dapat dikatakan bahwa Yesus adalah a good planner.Dengan kata lain Yesus adalah seorang Master Planner. Saat Dia mulai mau menyusun organisasi Nya Dia sudah tahu apa yang dibutuhkan dan siapa yang akan Dia panggil. Kemana arahnya bahkan bagaimana melakukannya.Para pelayanan pastoral pun diajak untuk memiliki fokus yang jelas dalam pelayanan sesuai dengan keadaan umat yang dilayani. Tentunya semuanya perlu terarah pada pelayanan bagi keselamatan jiwa-jiwa kaum beriman.Hal ini didasarkan juga pada konteks wilayah pelayanan dan tingkat kualitas iman umat di tempat pelayanan masing-masing.
            Agar bisa fokus dalam pelayanan, menurut hemat saya setidaknya seorang pelayan pastoral perlulah memiliki kompetensi-kompentensi dasar bagi pelayanan:[15]
Kompetensi Teologis
Ò  Dapat dilaksanakan lewat studi pribadi, ambil bagian dalam program professional, dan ambil kuliah waktu libur dan masa sabatikal serta aktif membuat refleksi teologis sebagai ahli yang terspesialisasi.
Pelayanan Kebutuhan Umat untuk Keselamatan
Ò  Seorang pelayan pastoral perlu  memilikikomitmen yang mendalam kepada Gereja dan kesetiaan kepada tradisi-tradisi dan ajarannya  dengan cara membawa tradisi-tradisi  dan ajaran-ajaran itu dalam hubungan dengan hidup dan keadaan masyarakat yang dilayani.
Komitmen untuk Kepentingan Terbaik  bagi Sesama
Ò  Dalam hal ini seorang pelayan pastoral harus menjadi orang yang mudah dihubungi dan siap menolong sesama, menghargai keluhuran setiap pribadi dengan memberikan pelayanan tanpa memperhitungkan status ekonomi, usia, gender, ras, orientasi seksual, atau kemampuan fisik dan mental. Selain itu, seorang pelayan pastoral perlu memiliki ruang untuk pelayanan-pelayanan sewaktu-waktu, untuk “melampaui batas”, untuk luwes, dan untuk tidak diharapkan.

2.3 Menjadi Model bagi yang Lain: Contoh Kekudusan
Sabda menjadi manusia menjadi bagi kita contoh kekudusan. (bdk Mat 11: 29; Yoh 14: 6). Hal lain yang tidak kalah penting adalah dengan sabda menjadi manusia, supaya kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi (lih 2 Pet 1:14). Atanasius menulis:”Sabda Allah menjadi manusia, supaya kita di-ilahikan”. Thomas Aquinas juga berujar:”karena Putra Allah yang tunggal hendak memberi kepada kita bagian dari ke-Allahan-Nya, Ia menerima kodrat kita, manjadi manusia, supaya mengilahikan manusia.
Bagi saya, Yesus telah menjadi petunjuk atau kompas yang mengarahkan jalan hidup yang tepat.Bahwa sesungguhnya peziarahan saya di dunia ini adalah peziarahan hidup menuju kekudusan. Sebagai entry point-nya adalah: self-sacrifice. Implikasinya kepada para pelayan atau pemimpin Gereja adalah bahwa perlulah hidup kita menjadi contoh bagi umat yang dilayani. Jangan kita hanya berkata-kata banyak, tetapi pola perilaku kita tidak sesuai dengan apa yang kita katakan. Sebagai pemimpin Kristiani, kita pun diajak untuk menjadi model kekudusan bagi yang lain.
Pengaruh Yesus sungguh luar biasa sehingga orang Farisi “membenci-Nya”.Banyak orang yang mendengarkan kata-kata Yesus ketimbang kata-kata orang Farisi. Alasannya karena Dia menerapkan semangat  yang dalam bahasa Robert J. SchreiterTruth-telling. Maksudnya Yesus mengatakan benar jika benar, mengatakan salah jika salah.Mengatakan baik jika baik dan mengatakan tidak baik jika tidak baik.Sikap radikal Yesus inilah yang menjadikan Dia memiliki pengaruh dan pengikut.Yesus memiliki kualitas hidup yang baik yang patut diteladani.Kelebihan Yesus bukan sebatas berkata melainkan bertindak.Ia bukan sebatas bersabda Ia memberi kesaksian dalam diri-Nya.
I would rather die a meaningful death than to live a meaningless life” (saya memilih mati dengan sebuah arti, ketimbang hidup tanpa makna).Demikian diungkapkan oleh Corazon Aquino-Mantan Presiden Philipina.Memaknai hidup adalah pilihan mereka yang mau benar-benar mengikuti jalan Yesus.Di dalam FC art. 16, Yohanes Paulus  II menegaskan kembali kata-kata Yesus di dalam Injil Matius 5: 48. Dia menulis: “Tuhan Yesus Kristus adalah guru ilahi dan model dari segala kesempurnaan, yang mewartakan kekudusan hidup bagi setiap orang tanpa pembedaan ‘oleh karena itu hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapa di surga sempurna (Mat. 5: 48)”. Saya  sengaja membuat huruf  miring pada kata-kata “bagi setiap orang” untuk menegaskan bahwa panggilan menuju kekudusan adalah milik semua orang. Lewat kata-kata tersebut Yohanes Paulus  II menyatakan bahwa panggilan menuju kekudusan bukan hanya milik kaum berjubah. Panggilan menuju kekudusan adalah sebuah panggilan universal (universal call to holiness).Tentu untuk mencapai kekudusan, perlulah hidup sesuai rencana Allah sendiri, yakni menjalankan hidup sebagai citra Allah.Dalam konteks sebagai citra Allah,  maka panggilan untuk menjadi sempurna (kudus) tersebut perlu diwujudkan dalam  kesempurnaan cinta (the perfection of love).
Kita sebagai pemimpin tentunya tidak diharapkan  hanya sekedar mengetahui teori-teori tentang cinta, tetapi perlu mewujudkannya di dalam hidup harian. Kalau hanya mengetahui teori tentang cinta, itu namanya pengetahuan (sciences). Pengetahuan yang  terjelma dalam praksis, itu namanya kebajikan (virtue).
          Dengan menjalankan  kebajikan  cinta yang di dalamnya juga terkandung unsur kesiapsediaan (readiness), penyerahan diri, kepekaan, tanggung jawab, penghargaan, pengenalan, pengorbanan, serta  tidak mementingkan diri sendiri, maka panggilan untuk hidup di dalam kekudusan bisa tercapai. Dengan demikian, kita pun menghidupi kekudusan hidup dan menggarami dunia sekitar kita untuk sama-sama bangkit dan bergerak membangun cara hidup yang sama. Untuk poin ini baiklah para pemimpin Gereja merefleksikan kata-kata Paus Fransiskus ini:” para pelayan hendaknya menjadi garam dunia-yakni garam spiritual-berupa iman pengharapan, dan KASIH.”

2.4 Spiritualitas Pelayan sebagai Seorang Hamba
            Berdasarkan identitas Yesus yang menjadi landasan keberadaan kita, motivasi yang timbul bagi hidup moral yang baik adalah semangat solidaritas.Yesus Kristus telah tunjukkan ini dengan sempurna. Yesus telah menyamakan diri-Nya dengan manusia. Bahkan lebih ekstrim lagi Dia menghayati hidup-Nya sebagai seorang hamba, seorang yang terbiasa hidup taat, menurut, dan mengalah. Ciri mentalitas hamba adalah orang yang tidak berpikir tentang dirinya sendiri, melainkan tentang kewajibannya. Dengan pengalaman menjadi hamba, Yesus menjumpai keberadaan humanum kita. Dalam kehidupan rohani-Nya pun Yesus juga mengusahakan kerinduan untuk tetap terarah kepada Allah dan sesama.
            Di samping itu, Dia sungguh-sungguh seorang fully human fully alive, jika kita gunakan bahasa yang dipakai oleh John Powell.Kehadiran Yesus di dalam humanum adalah kehadiran dari suatu kepenuhan kepada suatu kekosongan. Manusia adalah sumber keberadaan yang rindu akan pemenuhan. Yesus adalah kepenuhan yang datang untuk menjawab kerinduan manusia itu.Relasi ontologis antara manusia dengan Yesus dari Nazaret yang de facto adalah Putra Allah mengubah identitas manusia dari keberadaan yang ambigu menjadi keberadaan yang terarah jelas kepada Allah.
Konsekuensi dari status ini adalah panggilan untuk hidup yang baik di dunia ini. Kehadiran Yesus Putra Allah dalam kemanusiaan tidak menghancurkan kemanusiaan kita. Kalau Putra Allah membuat kita “hamba” yang taat, ketaatan kepada hidup moral yang baik tidak menghancurkan kemanusiaan kita, melainkan justru membuat kemanusiaan itu akan mencapai kepenuhannya.
Jika kita terapkan kualitas ini bagi para pelayanan Gereja, maka hal yang tidak boleh diabaikan adalah kualitas pelayan sebagai seorang hamba.Yesus pernah bersabda: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 42-45). Dalam hal ini bonum commune(kebaikan/keuntungan bersama) dan bukan semata-mata demi mencapai bonum private (keuntungan pribadi) adalah dasar penting dalam pelayanan. Dengan demikian bukan tipe pemimpin Nato (no action talk only). Pemimpin adalah orang yang mau bertindak dan menyadari tanggung jawabnya. Ken Blanchard berkata: “Semua pemimpin yang berjuang untuk menghasilkan hal-hal baik harus dapat mengeluarkan yang terbaik dari dalam dirinya dan orang lain. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam diri, yakni melalui hati yang mau melayani, lalu keluar untuk melayani orang lain.”[16]
Mentalitas boss dalam diri para pelayanan Gereja dewasa Ini semakin nampak. Ketika mengadakan pelayanan, rasanya tidak lengkap kalau tidak dijemput. Padahal seharusnya sang pelayan yang bersangkutan bisa pergi sendiri ke tempat tugasnya itu. Hal ini jelaslah membolak-balikan esensi penting kepemimpinan dalam kristiani yakni “to be a leader is to be a servant”.

Kesimpulan: Sebuah Refleksi Pribadi
Pada bagian pendahuluan saya menulis tujuan hidup kita adalah menjalankan kehendak Allah yang mengarah pada kebahagiaan hidup.Hal ini telah ditunjukkan oleh Yesus dengan sempurna.Kedatangan-Nya ke dunia membawa misi utama yakni memuliakan Bapa-Nya dan melaksanakan kehendak-Nya.Dengan demikian Kristus adalah contoh yang mencahayai setiap umat manusia dalam menggapai tujuan hidup mereka di dunia ini sehingga pada akhirnya bisa menemukan kebahagiaan hidup yang sempurna.
Agar saya dapat mencapai kebahagiaan hidup, maka hal pertama dan utama adalah menjalankan kehendak Tuhan dengan meneladani Yesus Kristus.Untuk itu, saya perlu memahami pribadi Yesus Kristus yang merupakan teladan dalam menjalankan kehendak Bapa sehingga pada akhirnya kita juga seperti Dia mengalami situasi sukacita Paska (Kebangkitan bersama Yesus) atau mengalami kepenuhan hidup.
Dengan menjadi manusia, Yesus sebenarnya mau menunjukkan kepada manusia bahwa self-sacrifice dan self-emptyness menjadi pokok penting yang harus dipraktekan oleh pengikut-Nya, juga sebagia seorang pelayan Gereja. Alasan lain Dia rela menjadi manusia adalah Mendamaikan Kita dengan Allah dan menjadi contoh kekudusan serta  agar kita bisa ambil bagian dalam Kodrat Ilahi.
Yesus adalah Tuhan atas dunia dan sejarah, berarti saya sebagai  manusia tidak boleh menaklukkan secara mutlak kebebasan pribadi saya di bawah kekuasaan duniawi, tetapi hanya kepada Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Gereja percaya bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan guru-Nya.
Berdasarkan identitas Yesus yang menjadi landasan keberadaan kristiani, motivasi yang timbul bagi hidup moral yang baik adalah semangat solidaritas.Yesus Kristus telah tunjukkan ini dengan sempurna. Yesus telah menyamakan diri-Nya dengan manusia. Bahkan lebih ekstrim lagi Dia menghayati hidup-Nya sebagai seorang hamba, seorang yang terbiasa hidup taat, menurut, dan mengalah. Ciri mentalitas hamba adalah orang yang tidak berpikir tentang dirinya sendiri, melainkan tentang kewajibabnya. Dengan pengalaman menjadi hamba, Yesus menjumpai keberadaan humanum kita. Dalam kehidupan rohani-Nya pun Yesus juga mengusahakan kerinduan untuk tetap terarah kepada Allah dan sesama.
Semua penjelasan ini mau mengetengahkan kepada saya bahwa sesungguhnya untuk belajar menjadi manusia sebagai orang Kristen, saya harus belajar dari Yesus yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Jesus ist der weg, die warheit und das leben). Dengan merefleksikan Yesus Kristus seperti yang dipaparkan di atas saya ditantang untuk mendasarkan arah dan tujuan hidupku terutama sebagai seorang pelayan dalam Gereja Katolik  berdasarkan semangat yang ditunjukkan Yesus, sehingga pada akhirnya saya pun bisa menikmati kebahagiaan hidup bersama Yesus.  Dengan mengikuti dan meneladani Yesus, saya yakin misteri  pribadiku bisa tersingkap terutama sehubungan dengan mencari jawaban terhadap tujuan hidup saya sebagai manusia.
Di samping itu, saya secara personal ditantang untuk menghidupi Keutamaan perjanjian dan moral yang seharusnya diacu oleh semua pelayan adalah sebagai berikut:
a.     Kesucian. Dalam aspek kesucian berarti seorang pelayan pastoral memiliki relasi yang intim dengan Tuhan. Dia menemukan arah dalam pelayanan teristimewa karena relasi yang erat dengan Tuhan. Relasi yang erat dengan dipupuk selalu dipupuk terus melalui praktek doa pribadi, kebaktian umum, dan praktek disiplin rohani yang mengungkapkan suatu hidup dalam keterbukaan yang terus-menerus kepada Roh Kudus. Kesucian hidup ditampakan dalam pribadi yang asli, tidak defensif, tidak memihak, luwes, menerima pengalaman-pengalaman dan orang-orang yang berbeda, kesadaran diri yang kritis, mengusahakan keseimbangan dama hidupnya, dan keadilan dalam hidup orang lain.
b.     Cinta Kasih/ Altruisme. Keutamaan ini dimulai dengan self-care. Cinta kasih digerakan oleh apa yang dialami  orang lain, mengerti makna pengalaman itu, dan tinggal dengan orang lain dengan cara apa pun yang diperlukan.
c.      Kelayakan untuk dipercayai. Seorang pelayan pastoral yang bisa dipercayai perlu memiliki kualitas kesetiaan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kemurahan hati, dan kerendahan hati. Dengan kualitas ini, seorang pelayan pastoral menjadi pelabuhan yang aman bagi mereka yang dilayani. Tentu juga menjaga kerahasiaan atas  hasil komunikasi batianiah yang telah disampaikan oleh mereka yang dilayani. Seorang pelayana pastoral yang dipercayai adalah dia yang memerhatikan mereka yang dilayani, menghargai batas-batas fisik dan emosional, memegang rahasia, menyampaikan sesutu dengan seperlunya, memenuhi komitmen-komitmen, terus mengembangkan pengetahuna dan keterampilan sebagai pelayan yang berkompeten dan terpercaya serta juga mengakui batas-batas kompetensinya. SEKIAN





Daftar Pustaka
Laux, John Catholic Morality. Rockford, Illinois, Tan Books and Publishers: 1990
Sujoko,Albertus. Identitas Yesus dan Misteri Manusia Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Sujoko, Albertus .Belajar Menjadi Manusia .Yogyakarta: Kanisius, 2008
Media Jurnal Filsafat dan TeologiSTF-SP Vol 3. no. 1 Januari 2004.
Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Katekismus Gereja Katolik . Ende, Arnoldus, 1993.
Winarto, Paulus. The Leadershp Wisdom . Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005.







[1]Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 233.
[2]Lih. Albertus Sujoko, Identitas Yesus dan Misteri Manusia Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 191.
[3]Lih. John Laux, Catholic Morality (Rockford, Illinois, Tan Books and Publishers: 1990), hlm. 1
[4] Ibd,.this ideal of perfect harmony between the human will and the divine will is realized in the life of the God-Man Jesus Christ. He came on earth, as Himself tells us, simply to glorify His Father and to do His will. He speaks of his Fathers’s will as His food and drink, as the atmosphere He breathes, as His unfailing consolation.
[5] Ibid,.Christ is, threfore, the bright and shining example for all who seek to attain their life’s purpose in its “height and breadth and depth”, and thus to lay the foundation of their own perfect happiness; for true happiness can be found in seeking God’s honor and glory by doing His will”.
[6] Dikutip oleh Julius Salettia “Jejak Historis dari Yesus yang disebut Kristus” dalam Media Jurnal Filsafat dan TeologiSTF-SP Vol 3. no. 1 Januari 2004, hlm. 17.
[7] Ibid,.hlm. 19.
[8] Ibid,.hlm. 20.
[9]Lih. Mrk 14: 33b-34; Luk 22: 44; Mat 26: 39.
[10] Lih. Mrk 15: 33-35; Yoh 19: 30.
[11] lih. Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 237.
[12] Dikutip oleh Albertus Sujoko, Belajar Menjadi Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 36.
[13] Bdk. Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 232-233.
[14] Katekismus Gereja Katolik, hlm. 119.
[15]Lih. Richard M. Gula, Etika Pastoral, hlm. 237-238.
[16]Terkutip dalamPaulus Winarto, The Leadershp Wisdom (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 48.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug