Pendahuluan
PEMBAHASAN
mengenai harta benda tarekat religius dalam tulisan ini dilihat dari perspektif
Kitab Hukum Kanonik 1983, secara khusus dalam kanon
634-640.Dari nomor-nomor dalam Kanon tersebut saya
mengangkat beberapa hal krusial.Saya sengaja mengangkat tema ini didorong oleh
beberapa alasan berikut:
1.
Saya sendiri adalah seorang biarawan yang
mengikrarkan kaul kemiskinan. Oleh karena itu itu bahan ini dijadikan rujukan
dalam cara bersikap dan cara bertindak sehubungan dengan harta benda dalam
tarekat.
2.
Secara pribadi saya mempelari topik ini agar mampu
menjelaskan kepada orang lain perihal apakah para selibater boleh mengelola
harta benda duniawi padahal mereka
mengikrarkan kaul kemiskinan.
3.
Di samping itu, pemilihan topik ini didasarkan
atas keprihatinan saya akan realitas kaum selibater yang tidak tahu mengelola
harta benda gerejawi yang dipercayakan kepada mereka.
4.
Hal lain yang mendorong saya untuk menulis
bagian ini adalah kebingungan saya apakah harta benda tarekat masuk dalam
kategori harta benda Gereja?
Pertanyaan yang terakhir ini muncul di ruang
kuliah Mayor ketika kelompok persentator
mengenai “harta benda” gereja membawakan materi. Saya belum merasa puas dengan
penjelasan dalam waktu singkat dari kelompok.Walaupun kelompok presentator
sudah berusaha menjawab pertanyaan, namun toh belum sepenuhnya saya pahami.Oleh
karena itu, dalam paper in saya mengangkat secara khusus tema ini agar lebih
dipahami.
Untuk mengerti maksud-maksud ini, maka saya
menguraikan secara sistematis pokok-pokok penjelasan di bawah ini.Saya mengangakat sejumlah nomor kanon yang bagi
saya sangat relevan untuk menggambarkan perihal harta benda tarekat religius.
1. Kaum Religius Hidup dalam Semangat Kemiskinan
Selain kaul ketataan dan kemurnian, para
religius mengikrarkan kaul kemiskinan.Kemiskinan religius memiliki pengertian
yang cukup luas.Kadang dipahami secara berbeda oleh masing-masing
biarawan-biarawati sehingga dalam penghayatannya menjadi kurang jelas atau kabur.Hampir
jarang kita menjumpai biara-biara yang hidup pas-pasan saja.Tampak sekali saat
ini kehidupan di dalam biara boleh dikatakan serba berkecukupan.Dalam satu
bagian konstitusi tarekat MSC dikatakan bahwa:”hidup kita para biarawan hendaknya menjadi sebuah protes nyata terhadap
penyalahgunaan anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia, dan
suatu kesaksian yang penuh
kegembiraan tentang hidup kita
bersama Kristus.”(Konst.Tarekat MSC no. 36).Inilah tantangan besar bagi
para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan yang menawarkan
rupa-rupa hal duniawi.Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius
terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk
yang baru (bdk.PC.n. 13).
Saya secarapribadi
melihat bahwa inti hidup miskin bagi seorang biarawan lebih pada sikap terhadap
barang-barang duniawi atau hubungan manusia dengan harta benda.[1]Dalam
hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap lepas bebas (detachment) terhadap harta benda.Hidup
miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta
mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka
andalkan.
Kepada para murid-Nya, Yesus meminta agar
meninggalkan segala harta bendanya.Hal ini adalah langkah dasar untuk menjadi
muridNya demi Kerajaan Allah.Dengan demikian kita bisa melihat bahwa yang
dimaksudkan Yesus dengan kemiskinan adalah dasar tuntutan Kerajaan Allah yang
lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan
kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan atau kebulatan hati
dalam mengikuti Yesus.Jika harta benda membuat hati mendua dari Yesus, maka
harus ditinggalkan.Hal ini juga ditegaskan juga di dalam Kons.Tarekat MSC no.
47.Dijelaskan dalam nomor itu bahwa dengan mengikrarkan kaul kemiskinan, para
biarawan MSC memutuskan untuk merelahkan diri dan harta-milik kita seutuhnya
demi melayani Allah dan Kerajaan-Nya sama seperti yang dilakukan oleh Yesus.”
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa
“pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang
dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan
kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan
bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah
dinamik hidup rahmat sendiri.
Bagaimana dengan penjelasan dalam Kitab Hukum
kanonik mengenai tema kemiskinan dalam tarekat religius?Dalam
Kan. 634 §1 dijelaskan bahwa lembaga religius dibenarkan untuk memiliki harta benda.Hal
yang perlu dihindari adalah perilaku yang mengancam
pudarnya semangat kemiskinan dalam lembaga religius(Kan. 634§ 2).Dalam
penggunaan harta benda itu selalu harus diingat bahwa tujuan penggunaan itu
adalah bagi
lembaga religius dan Gereja semata.[2] Beberapa
tarekat religius cukup memperhatikan hal ini.Dalam Konstitusi OFMCap misalnya
digarisbawahi mengenaiharta benda yang
digunakan untuk keperluan-keperluan hidup, keperluan
kerasulan dan amal kasih. Tidak diperkenankan atau tidak dibenarkan untuk
memiliki harta benda secara pribadi, karena tidak sesuai dengan semangat
kemiskinan yang diabdi. Harta benda itu hanya dipakai sebatas keperluan dan atas milik bersama.[3]Hal yang hampir serupa digarisbawahi dalam
konstitusi religus MSC.Dalam Konst. Tarekat MSC no. 47 dikatakan bahwa:” dengan kaul kemiskinan kita melepaskan hak
untuk mempergunakan dan mengatur harta benda duniawi tanpa ijin pemimpin kita.
Bersamaan dengan itu, semangat kemiskinan mendorong kita untuk menyerahkan
segala bakat, waktu dan usaha kita demi melayani komunitas dan tugas
perutusannya.”Pater Jules Chevalier, pendiri tarekat MSC juga pernah
menulis:”Mereka (para biarawan MSC)
dilarang untuk menyimpan atau memperbesar harta milik mereka.”(Jules
Chevalier, 1864).
Kembali ke fokus
kita dalam Kan. 634
§2, tampakada kutipan butir-butir penting dalam Prefectae Caritatis (PC). Inti yang hendak disampaikan dalam poin ini adalah
bahwa lembaga-lembaga tetap dapat memiliki harta benda demi
kebutuhan hidup. Di samping itu harta benda dalam tarekat religius
dipergunakan untuk kegiatan pengembangan karya-karya
lembaga itu. Dalam pengelolahan dan penggunaan harta benda tentu tetap memperhatikan sikap-sikap
yang pantas. Dalam hal ini perlulah sikap hidup sederhana, dihindari sikap hidup mewah, serakah, mencari keuntungan
dan penimbunan harta.Dalam menggunakan barang-barang perlu juga
dengan cara yang benar dan
dibawah izin dari Pemimpin. Para anggota tarekat religus diharapkan
lebih memfokuskan untuk mencari harta surgawi (lih. Mat 6:20). Atau dalam bahasa Paulus kepada Timotius yang
juga dikutip oleh Pater Jules Chevalier dalam tulisan-tulisannya:” Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.”
(1 Tim 6: 8). Namun demikian, lembaga religius tetapmemiliki hak untuk mempunyai segala sesuatu yang perlu
untuk penghidupan dan karya-karyanya. Di dalamnya mereka perlu menjaga semangat kemiskinan tersebut dan tetap diingat juga
bahwa itu semua demi tujuan mulia dari lembaga itu dan
demi Gereja.Dalam teks Prefectae Caritatis (PC) 13 dan KHK Kan. 634 §2
diingatkan
juga agar para biarawan/ti hidup seturut semangat itu
bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga satu
kesaksian bagi dunia.
2. Lembaga Religius: Badan Hukum yang Mampu Memilikidan
Mengelola Harta Benda (Kan.
634 §1)
Kalau kita lihat secara seksama dalam Kan 634 §1 tampak bagi kita bahwa lembaga religius yang
memiliki harta benda memiliki dasar yang kuat. Dalam nomor kanon tersebut
dijelaskan bahwa:”tarekat-tarekat,
provinsi-provinsi dan rumah-rumah, sebagai badan hukum menurut hukum itu
sendiri, mampu memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-millikan harta
benda, kecuali da lam kemampuan itu ditiadakan atau dibatasi.” Lewat
nomor ini dapat dilihat bahwa dasar kepemilikan lembaga
religius adalah hukum kodrat.Sebagai badan hukum baik
menurut hukum sipil maupun menurut hukum kanonik, lembaga religius mampu
memiliki sarana-sarana penunjang kehidupan dan karya-karya lembaga itu.Harta benda dapat dimiliki sebagai sarana pencapaian
tujuan lembaga religius dan Gereja yang berkecimpung di
banyak bidang.Lembaga provinsi dan biara sebagai badan hukum mampu
memiliki. Dalam hal milik atau kemampuan untuk memiliki tersirat kemampuan atau
hak untuk memperoleh dan mengalih-milikan harta benda. Kemampuan ini dalam
lembaga religus dapat dilihat dalam prinsip subsidiaritas, yaitu untuk
menghindari ketergantungan yang terlalu besar dan demi kelancaran tugas dan
pertanggungjawaban administratif tanpa merugikan kelancaran karya lembaga. Di
lain pihak pembatasan kemampuan memiliki atau peniadaan kemampuan itu
dimungkinkan dan dinyatakan dalam konstitusi.
Dapat kita lihat dalam
Kan. 638, bahwa hukum tarekat (lembaga religius) sendiri menentukan
tindakan-tindakan yang telah melampaui batas dalam hal kepemilikan harta benda
dan cara pengelolaannya yang biasa dan luar biasa. Untuk melihat cara pengelolaan harta benda ada
ketentuan yang hendak dipegang dalam Kan,1284 §2 No 2.[4]
3. Pengaturan atau Pengelolaan Harta Benda Gerejani Kan.
635
Kan.
635 § 1
|
Harta-benda milik tarekat religius,
sebagai harta- benda gerejawi, diatur menurut ketentuan Buku V Harta-Benda
Gereja, kecuali secara jelas dinyatakan lain.
|
Kan.
635 § 2
|
Setiap tarekat hendaknya merumuskan
norma-norma yang tepat mengenai penggunaan dan pengelolaan harta-bendanya,
agar kemiskinan yang khas padanya dipupuk, dilindungi dan diungkapkan.
|
Dari kedua nomor kanon di atas tampak jelas bahwa
harta benda lembaga religius merupakan harta benda
gerejani. Hal ini dapat dilihat dalam buku V. Buku V dalam Kitab Hukum Kanonik
menjelaskan harta benda lembaga religius, yang memiliki suatu kesejajaran dalam
kan.635 §1.
Dalam Kan.
1257 §1 dijelaskan bahwa seluruh harta benda yang tergabung Gereja universal atau
badan hukum publik lain dalam gereja adalah harta benda gerejani.
Dalam hal ini diatur dalam buku V dan
peraturan atau norma dari masing-masing lembaga religius. Perlu
juga melihat konteks serta situasi yang sesuai dengan
tujuannya untuk karya gereja. Dalam Kan. 1257 § 2
dijelaskan bahwa:”harta benda badan hukum
privat diatur oleh statunya sendiri… .” Berdasarkan bunyi dalam kanon ini
yang dimaksudkan dengan badan hukum privat
salah satunya adalah tarekat-tarekat religius. Statuta yang diatur
sendiri oleh sebuah tarekat misalnya untuk penghidupan para petugas, karya amal dan orang yang tidak
mampu (bdk. Kan.1257 § 2).Apabila seorang religius memiliki harta pribadi yang tidak
sesuai norma dari lembaga religius tersebut, maka hal ini tidak
termasuk harta benda gerejani
Harta benda gerejani
tidak hanya disusun atau ditata oleh hukum universal (Buku V, kan 1254), tetapi
hal ini tersusun juga menurut badan hukum masing-masing. Kan. 635 §2
menjelaskan suatu penegasan terhadap lembaga religius atas penggunaan dan
pengelolaan harta benda lembaga religius tersebut. Hal ini diberi suatu
kejelasan yang tepat untuk memelihara, melindungi dan menerangkan kemiskinan
yang khas dari masing-masing lembaga religius. Setiap lembaga religius
mempergunakan hukum umum dari gereja. Untuk mendirikan sesuatu biara atau
lembaga religius harus diperhatikan kanon dalam buku V dan memperhatikan juga
ciri khas kemiskinan dari lembaga religius yang bersangkutan. Hal ini berdasar
dari lembaga religius yang mengikrarkan kaul kemiskinan (harta benda), yang
sesuai dengan tujuannya. Seluruh bentuk kemiskinan ini dari lembaga religius
dapat disatukan ke dalam hukum partikular masing-masing lembaga religius dan
dengan pertimbangan ekonomis.
3. Pengelola Keuangan dalam Lembaga Tarekat
Religius
§1: Ekonom
Dalam kanon 636 § 1,
dinyatakan perlunya seorang ekonom yang mengawasi dan mengatur harta benda di
dalam sebuah lembaga tarekat religius. Seorang ekonom bukan dari kalangan Pemimpin Tinggi dari lembaga itu sendiri. Ekonom itu
diangkat menurut norma hukum atau konstitusi lembaga itu. Pelaksanaan
kegiatan pengelolaan keuangan seorang ekonom tetap berada dalam pimpinan atau kontrol pemimpinnya masing-masing.Prinsip
yang sama juga diterapkan untuk ekonom pada komunitas lokal. Seorang ekonom
hendaknya tidak melaksanakan tugas rangkap, yakni
tugas sebagai pemimpin dan tugas sebagai
ekonom, karena lingkup kerja dan jumlah kerja lebih besar dan membutuhkan
tanggungjawab yang lebih besar.Dalam tarekat MSC hal ini secara jelas
ditegaskan dalam Statuta. Tarekat no. 136:”Setiap komunitas hendaknya mempunyai
seorang bendaharawan yang, kalau hal itu mungkin, bukan pemimpin. Bendaharawan
bertanggung jawab atas pengelolaan harta benda duniawi komunitas di bawah kuasa
Pemimpin. “
§ 2: Perlunya Pertanggungjawaban Ekonom
Ekonom mempertanggungjawabkan
tugas yang iaemban itu. Ekonom memberikan laporan pertanggungjawabankepada kuasa yang
telah mempercayakan tugas itu kepadanya. Hal ini dilaksanakan menurut norma atau konstitusi
yang ada berlaku dalam lembaga itu sendiri. Mengenai
pertanggungjawbaan ini, dalam tarekat MSC secara khusus digariskan dalam Statuta tarekat no. 248:” Demikian pula
setiap tahun suatu laporan tertulis dari penerimaan dan pengeluaran untuk
seluruh Provinsi dan suatu laporan tertulis mengenai anggaran belanja untuk tahun yang akan datang, setelah
diperiksa dan disetujui oleh Pemimpin Provinsi
bersama Dewan dan ditandatangani oleh Pemimpin Provinsi, harus disampaikan
untuk disetujui oleh Pemimpin Umum bersam Dewan.”
4. Pengelolahan Harta Benda Biara Mandiri dan
Biara Tingkat Diosesan
Kan.
637
|
Biara-biara mandiri yang disebut
dalam kan. 615 harus memberikan pertanggungjawaban
pengelolaan setahun sekali kepada Ordinaris wilayah; disamping itu Ordinaris
wilayah mempunyai hak untuk mengetahui urusan-urusan ekonomi rumah religius
tingkat keuskupan.
|
Pemimpin tertinggi dalam
biara mandiri yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penggunaan harta
benda harus melaporkan pertanggungjawaban tersebut kepada waligereja setempat
sebagai instansi langsung yang tertinggi. Dalam hal ini uskup di keuskupan setempat. Keuskupan berhak mengetahui
kondisi biara mandiri karena termasuk dalam anggota dari wilayah keuskupan yang
bersangkutan.
Harta benda yang dimiliki
oleh religius adalah harta benda gerejawi yang kemudian diatur dalam ketentuan
buku V dari Kitab Hukum Kanonik. Harta benda gerejawi akan sangat berguna
apabila penggunaan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
kan 635.
Biara yang berstatus
tingkat Diosesan berada dibawah pengawasan waligereja setempat atau keuskupan
dimana biara tersebut berdomisili. Uskup sebagai otoritas tertinggi berhak atas
pengawasan yang atas biara-biara tersebut. Pengelolaan dan penggunaan harta
benda oleh setiap biara wajib melaporkan pertanggungjawabanya sebagaimana
mestinya. Laporan pertanggungjawaban penggunaan harta benda kepada waligereja
setempat dilakukan atau dibuat oleh setiap ekonom-ekonom dalam masing-masing
biara. Dapat juga pemeriksaan laporan pertanggungjawaban ini dilakukan di
setiap biara-biara oleh orang yang diberi kewenangan oleh pemimpin tertinggi
wilayah untuk melihat dan memeriksa laporan-laporan pertanggungjawaban
tersebut. Dari kanon 637 jelas bahwa setiap biara-biara baik itu biara mandiri
maupun biara tingkat Diosesan harus melaporkan pertanggungjawaban atas
pengelolaan dan penggunaan harta benda gerejawi.
5.Kesaksian Cinta Kasih dan kemiskinan
Kan.
640
|
Tarekat-tarekat, dengan mengingat
situasi masing- masing tempat, hendaknya sebagai kelompok memberikan
kesaksian cinta-kasih dan kemiskinan, serta sesuai kemampuannya memberikan
sesuatu dari harta-miliknya bagi kebutuhan Gereja dan untuk membantu mereka
yang berkekurangan.
|
Kan. 640 ini bersumber pada PC 13 mengenai kesaksian kolektif kemiskinan dan
cinta kasih.Segi-segi hakiki nasehat
injili kemiskinan yang diikarkan dalam lembaga religius
perlu dihidupi. PC 13 dan Kan 634 § 2 tidak
mempersoalkan benar tidaknya lembaga
relegius itu mewah, serakah dan meninbum kekayaan. Yang lebih ditekankan
adalah menghindari kesan yang negatif
dari cara hidup demikian. Nasihat
injili untuk hidup miskin yang diikrarkan oleh
seorang religius tidak hanya untuk diri
sendirinya
sendiri, melainkan juga sebagai
kesaksian bagi dunia.Dari pernyataan dalam Kan 640, kita mendapat dua pokok penting yang perlu
diperhatikan oleh lembaga relegius: Memberi
kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan. Cinta kasih kiranya harus dihubungkan dengan permintaan
agar lembaga relegius memberi sesuatu dari harta-miliknya, baik bagi kebutuhan
gereja, maupun guna membantu mereka yang berkekurangan.
Dalam PC 13 yang menjadi
sumber kan 640 ini dianjurkan juga solidaritas antar lembaga
religius. Dengan demikian tarekat religius yang berkecukupan hendaknya membantu
yang kurang mampu.Dimensi sosial ditonjolkan dalam aspek ini. Dengan kata lain,
dimensi sosial hak milik dan nasehat injili kemiskinan yang
diikrarkan dalam lembaga religius tampak dalam
saling memberi dan mendukung dalam karya lewat tindakan solidaritas antar
lembaga religius. Hal ini yang kiranya menjadi perhatian semua lembaga religius
agar tidak mendirikan menara gading “comfort-zone”
bagi tarekatnya sendiri, tetapi perlu
juga mengembangkan semangat solidaritas
antar tarekat agar makna kaul kemiskinan yang diikrarkan benar-benar dilakasanakan dalam praksis hidup
kaum religius atau biarawan-biarawati.
Penutup
Keingintahuan saya terjawab lewat ulasan
singkat nomor-nomor dalam Kan. 634-640.Saya merasa terbantu dengan ulasan dalam
bagian ini secara khusus dalam kaitannya dengan identitas saya sebagai seorang
biarawan yang mengikrarkan kaul kemiskinan. Lewat pendalaman bagian ini dalam
semangat pilihan sadar, saya diingatkan akan dua pokok penting pada bagian
terakhir dari ulasan saya, secara khusus dalam Kan 640. Lewat nomor ini saya
diingatkan untuk memberi kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan.Dua poin
ini menjadi fondasi dalam pengelolahan harta benda dalam lembaga religius. Dua
hal ini menjadi perhatian saya, agar saya dapat mengembangkan spirit yang sama
dalam pengelolahan harta benda tarekat
yang dipercayakan kepada saya kelak.Kerajaan Allah hanya dapat dibangun
dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai
kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1). Sekian…
DAFTAR PUSTAKA
Go, Piet. Hukum Kanonik : Lembaga Hidup Bakti dan Serikat
Hidup Kerasulan (KHK Kan. 573 – 746). Malang : STFT Widya Sasana, 1984.
Morrisey, F.G. “Temporal Goods and Their
Administration” dalam Exegetical Commentary on the Code of Canon Law Vol
II/2, Angel Marzoa (ed.). Montreal dan Chicago: Wilson & Lafleur dan
Midwest Theological Forum, 2004.
Ladjar,Leo
L. OFM. Inti Hidup Religius.
Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Peraturan Hidup Kapusin, no. 59 Roma: [tanpa penerbit],
1982.
Konsili Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no
13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Ende: Nusa Indah, 1970.
Konstitusi
Tarekat MSC
Komentar
Posting Komentar