Langsung ke konten utama

HARTA BENDA TAREKAT RELIGIUS DALAM PERSPEKTIF KITAB HUKUM KANONIK 1983



Pendahuluan

PEMBAHASAN mengenai harta benda tarekat religius dalam tulisan ini dilihat dari perspektif Kitab Hukum Kanonik 1983, secara khusus dalam kanon 634-640.Dari nomor-nomor dalam Kanon tersebut saya mengangkat beberapa hal krusial.Saya sengaja mengangkat tema ini didorong oleh beberapa alasan berikut:
1.        Saya sendiri adalah seorang biarawan yang mengikrarkan kaul kemiskinan. Oleh karena itu itu bahan ini dijadikan rujukan dalam cara bersikap dan cara bertindak sehubungan dengan harta benda dalam tarekat.
2.        Secara pribadi saya mempelari topik ini agar mampu menjelaskan kepada orang lain perihal apakah para selibater boleh mengelola harta benda duniawi padahal mereka mengikrarkan kaul kemiskinan.
3.        Di samping itu, pemilihan topik ini didasarkan atas keprihatinan saya akan realitas kaum selibater yang tidak tahu mengelola harta benda gerejawi yang dipercayakan kepada mereka.
4.        Hal lain yang mendorong saya untuk menulis bagian ini adalah kebingungan saya apakah harta benda tarekat masuk dalam kategori harta benda Gereja?
Pertanyaan yang terakhir ini muncul di ruang kuliah Mayor ketika kelompok  persentator mengenai “harta benda” gereja membawakan materi. Saya belum merasa puas dengan penjelasan dalam waktu singkat dari kelompok.Walaupun kelompok presentator sudah berusaha menjawab pertanyaan, namun toh belum sepenuhnya saya pahami.Oleh karena itu, dalam paper in saya mengangkat secara khusus tema ini agar lebih dipahami.
Untuk mengerti maksud-maksud ini, maka saya menguraikan secara sistematis pokok-pokok penjelasan di bawah ini.Saya  mengangakat sejumlah nomor kanon yang bagi saya sangat relevan untuk menggambarkan perihal harta benda tarekat religius.

1. Kaum Religius Hidup dalam Semangat Kemiskinan 

Selain kaul ketataan dan kemurnian, para religius mengikrarkan kaul kemiskinan.Kemiskinan religius memiliki pengertian yang cukup luas.Kadang dipahami secara berbeda oleh masing-masing biarawan-biarawati sehingga dalam penghayatannya menjadi kurang jelas atau kabur.Hampir jarang kita menjumpai biara-biara yang hidup pas-pasan saja.Tampak sekali saat ini kehidupan di dalam biara boleh dikatakan serba berkecukupan.Dalam satu bagian konstitusi tarekat MSC dikatakan bahwa:”hidup kita para biarawan hendaknya menjadi sebuah protes nyata terhadap penyalahgunaan anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia, dan suatu kesaksian yang penuh  kegembiraan  tentang hidup kita bersama Kristus.”(Konst.Tarekat MSC no. 36).Inilah tantangan besar bagi para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan yang menawarkan rupa-rupa hal duniawi.Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk yang baru (bdk.PC.n. 13).
Saya  secarapribadi melihat bahwa inti hidup miskin bagi seorang biarawan lebih pada sikap terhadap barang-barang duniawi atau hubungan manusia dengan harta benda.[1]Dalam hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap lepas bebas (detachment) terhadap harta benda.Hidup miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka andalkan.
Kepada para murid-Nya, Yesus meminta agar meninggalkan segala harta bendanya.Hal ini adalah langkah dasar untuk menjadi muridNya demi Kerajaan Allah.Dengan demikian kita bisa melihat bahwa yang dimaksudkan Yesus dengan kemiskinan adalah dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan atau kebulatan hati dalam mengikuti Yesus.Jika harta benda membuat hati mendua dari Yesus, maka harus ditinggalkan.Hal ini juga ditegaskan juga di dalam Kons.Tarekat MSC no. 47.Dijelaskan dalam nomor itu bahwa dengan mengikrarkan kaul kemiskinan, para biarawan MSC memutuskan untuk merelahkan diri dan harta-milik kita seutuhnya demi melayani Allah dan Kerajaan-Nya sama seperti yang dilakukan oleh Yesus.”
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa “pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah dinamik hidup rahmat sendiri.
Bagaimana dengan penjelasan dalam Kitab Hukum kanonik mengenai tema kemiskinan dalam tarekat religius?Dalam Kan. 634 §1 dijelaskan bahwa lembaga religius dibenarkan untuk memiliki harta benda.Hal yang perlu dihindari adalah perilaku yang mengancam pudarnya semangat kemiskinan dalam lembaga religius(Kan. 634§ 2).Dalam penggunaan harta benda itu selalu harus diingat bahwa tujuan penggunaan itu adalah bagi lembaga religius dan Gereja semata.[2] Beberapa tarekat religius cukup memperhatikan hal ini.Dalam Konstitusi OFMCap misalnya digarisbawahi mengenaiharta benda yang digunakan untuk keperluan-keperluan hidup, keperluan kerasulan dan amal kasih. Tidak diperkenankan atau tidak dibenarkan untuk memiliki harta benda secara pribadi, karena tidak sesuai dengan semangat kemiskinan yang diabdi. Harta benda itu hanya dipakai sebatas keperluan dan atas milik bersama.[3]Hal yang hampir serupa digarisbawahi dalam konstitusi religus MSC.Dalam Konst. Tarekat MSC no. 47 dikatakan bahwa:” dengan kaul kemiskinan kita melepaskan hak untuk mempergunakan dan mengatur harta benda duniawi tanpa ijin pemimpin kita. Bersamaan dengan itu, semangat kemiskinan mendorong kita untuk menyerahkan segala bakat, waktu dan usaha kita demi melayani komunitas dan tugas perutusannya.”Pater Jules Chevalier, pendiri tarekat MSC juga pernah menulis:”Mereka (para biarawan MSC) dilarang untuk menyimpan atau memperbesar harta milik mereka.”(Jules Chevalier, 1864).
Kembali ke fokus kita dalam Kan. 634 §2, tampakada kutipan butir-butir penting dalam Prefectae Caritatis (PC). Inti yang hendak disampaikan dalam poin ini adalah bahwa lembaga-lembaga tetap dapat memiliki harta benda demi kebutuhan hidup. Di samping itu  harta benda dalam tarekat religius dipergunakan untuk kegiatan pengembangan karya-karya lembaga itu. Dalam pengelolahan dan penggunaan harta  benda tentu tetap memperhatikan sikap-sikap yang pantas. Dalam hal ini perlulah sikap hidup sederhana, dihindari sikap hidup mewah, serakah, mencari keuntungan dan penimbunan harta.Dalam menggunakan barang-barang perlu juga dengan cara yang benar dan dibawah izin dari Pemimpin. Para anggota tarekat religus diharapkan lebih memfokuskan untuk mencari harta surgawi (lih. Mat 6:20). Atau dalam bahasa Paulus kepada Timotius yang juga dikutip oleh Pater Jules Chevalier dalam tulisan-tulisannya:” Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” (1 Tim 6: 8). Namun demikian, lembaga religius tetapmemiliki hak untuk mempunyai segala sesuatu yang perlu untuk penghidupan dan karya-karyanya. Di dalamnya mereka perlu menjaga semangat kemiskinan tersebut dan  tetap diingat juga bahwa  itu semua demi tujuan mulia dari lembaga itu dan demi Gereja.Dalam teks Prefectae Caritatis (PC) 13 dan KHK Kan. 634 §2 diingatkan juga agar para biarawan/ti hidup seturut semangat itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga satu kesaksian bagi dunia.  

2. Lembaga Religius: Badan Hukum yang Mampu Memilikidan  Mengelola Harta Benda (Kan. 634 §1)
Kalau kita lihat secara seksama dalam Kan 634 §1 tampak bagi kita bahwa lembaga religius yang memiliki harta benda memiliki dasar yang kuat. Dalam nomor kanon tersebut dijelaskan bahwa:”tarekat-tarekat, provinsi-provinsi dan rumah-rumah, sebagai badan hukum menurut hukum itu sendiri, mampu memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-millikan harta benda, kecuali da lam kemampuan itu ditiadakan atau dibatasi.” Lewat nomor ini dapat dilihat bahwa dasar kepemilikan lembaga religius adalah hukum kodrat.Sebagai badan hukum baik menurut hukum sipil maupun menurut hukum kanonik, lembaga religius mampu memiliki sarana-sarana penunjang kehidupan dan karya-karya lembaga itu.Harta benda dapat dimiliki sebagai sarana pencapaian tujuan lembaga religius dan Gereja yang berkecimpung di banyak bidang.Lembaga provinsi dan biara sebagai badan hukum mampu memiliki. Dalam hal milik atau kemampuan untuk memiliki tersirat kemampuan atau hak untuk memperoleh dan mengalih-milikan harta benda. Kemampuan ini dalam lembaga religus dapat dilihat dalam prinsip subsidiaritas, yaitu untuk menghindari ketergantungan yang terlalu besar dan demi kelancaran tugas dan pertanggungjawaban administratif tanpa merugikan kelancaran karya lembaga. Di lain pihak pembatasan kemampuan memiliki atau peniadaan kemampuan itu dimungkinkan dan dinyatakan dalam konstitusi.
Dapat kita lihat dalam Kan. 638, bahwa hukum tarekat (lembaga religius) sendiri menentukan tindakan-tindakan yang telah melampaui batas dalam hal kepemilikan harta benda dan cara pengelolaannya yang biasa dan luar biasa. Untuk melihat cara pengelolaan harta benda ada ketentuan yang hendak dipegang dalam Kan,1284 §2 No 2.[4]

3. Pengaturan atau Pengelolaan Harta Benda Gerejani Kan. 635
           
Kan. 635 § 1
Harta-benda milik tarekat religius, sebagai harta- benda gerejawi, diatur menurut ketentuan Buku V Harta-Benda Gereja, kecuali secara jelas dinyatakan lain.

Kan. 635 § 2
Setiap tarekat hendaknya merumuskan norma-norma yang tepat mengenai penggunaan dan pengelolaan harta-bendanya, agar kemiskinan yang khas padanya dipupuk, dilindungi dan diungkapkan.

Dari kedua nomor kanon di atas tampak jelas bahwa harta benda lembaga religius merupakan harta benda gerejani. Hal ini dapat dilihat dalam buku V. Buku V dalam Kitab Hukum Kanonik menjelaskan harta benda lembaga religius, yang memiliki suatu kesejajaran dalam kan.635 §1.
Dalam Kan. 1257 §1 dijelaskan bahwa seluruh harta benda yang tergabung Gereja universal atau badan hukum publik lain dalam gereja adalah harta benda gerejani. Dalam hal ini diatur dalam buku V dan peraturan atau norma dari masing-masing lembaga religius. Perlu juga melihat konteks serta situasi yang sesuai dengan tujuannya untuk karya gereja. Dalam Kan. 1257 § 2 dijelaskan bahwa:”harta benda badan hukum privat diatur oleh statunya sendiri… .” Berdasarkan bunyi dalam kanon ini yang dimaksudkan dengan badan hukum privat  salah satunya adalah tarekat-tarekat religius. Statuta yang diatur sendiri oleh sebuah tarekat misalnya untuk penghidupan para petugas, karya amal dan orang yang tidak mampu (bdk. Kan.1257 § 2).Apabila seorang religius memiliki harta pribadi yang tidak sesuai norma dari lembaga religius tersebut, maka hal ini tidak termasuk harta benda gerejani

Harta benda gerejani tidak hanya disusun atau ditata oleh hukum universal (Buku V, kan 1254), tetapi hal ini tersusun juga menurut badan hukum masing-masing. Kan. 635 §2 menjelaskan suatu penegasan terhadap lembaga religius atas penggunaan dan pengelolaan harta benda lembaga religius tersebut. Hal ini diberi suatu kejelasan yang tepat untuk memelihara, melindungi dan menerangkan kemiskinan yang khas dari masing-masing lembaga religius. Setiap lembaga religius mempergunakan hukum umum dari gereja. Untuk mendirikan sesuatu biara atau lembaga religius harus diperhatikan kanon dalam buku V dan memperhatikan juga ciri khas kemiskinan dari lembaga religius yang bersangkutan. Hal ini berdasar dari lembaga religius yang mengikrarkan kaul kemiskinan (harta benda), yang sesuai dengan tujuannya. Seluruh bentuk kemiskinan ini dari lembaga religius dapat disatukan ke dalam hukum partikular masing-masing lembaga religius dan dengan pertimbangan ekonomis.


3. Pengelola Keuangan dalam Lembaga Tarekat Religius

§1: Ekonom
Dalam kanon 636 § 1, dinyatakan perlunya seorang ekonom yang mengawasi dan mengatur harta benda di dalam sebuah lembaga tarekat religius. Seorang ekonom bukan dari kalangan Pemimpin Tinggi dari lembaga itu sendiri. Ekonom itu diangkat menurut norma hukum atau konstitusi lembaga itu. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan keuangan seorang ekonom tetap berada dalam pimpinan atau kontrol pemimpinnya masing-masing.Prinsip yang sama juga diterapkan untuk ekonom pada komunitas lokal. Seorang ekonom hendaknya tidak melaksanakan tugas rangkap, yakni tugas sebagai pemimpin dan tugas sebagai ekonom, karena lingkup kerja dan jumlah kerja lebih besar dan membutuhkan tanggungjawab yang lebih besar.Dalam tarekat MSC hal ini secara jelas ditegaskan dalam Statuta. Tarekat no. 136:”Setiap komunitas hendaknya mempunyai seorang bendaharawan yang, kalau hal itu mungkin, bukan pemimpin. Bendaharawan bertanggung jawab atas pengelolaan harta benda duniawi komunitas di bawah kuasa Pemimpin. “


§ 2: Perlunya Pertanggungjawaban Ekonom
Ekonom mempertanggungjawabkan tugas yang iaemban itu. Ekonom memberikan laporan pertanggungjawabankepada kuasa yang telah mempercayakan tugas itu kepadanya. Hal ini dilaksanakan menurut  norma atau konstitusi yang ada berlaku dalam lembaga itu sendiri. Mengenai pertanggungjawbaan ini, dalam tarekat MSC secara  khusus digariskan dalam  Statuta tarekat no. 248:” Demikian pula setiap tahun suatu laporan tertulis dari penerimaan dan pengeluaran untuk seluruh Provinsi dan suatu laporan tertulis mengenai anggaran belanja  untuk tahun yang akan datang, setelah diperiksa dan disetujui oleh Pemimpin Provinsi  bersama Dewan dan ditandatangani oleh Pemimpin Provinsi, harus disampaikan untuk disetujui oleh Pemimpin Umum bersam Dewan.”

4. Pengelolahan Harta Benda  Biara Mandiri dan Biara Tingkat Diosesan

Kan. 637
Biara-biara mandiri yang disebut dalam kan. 615 harus memberikan pertanggungjawaban pengelolaan setahun sekali kepada Ordinaris wilayah; disamping itu Ordinaris wilayah mempunyai hak untuk mengetahui urusan-urusan ekonomi rumah religius tingkat keuskupan.

Pemimpin tertinggi dalam biara mandiri yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penggunaan harta benda harus melaporkan pertanggungjawaban tersebut kepada waligereja setempat sebagai instansi langsung yang tertinggi. Dalam hal ini uskup di keuskupan setempat. Keuskupan berhak mengetahui kondisi biara mandiri karena termasuk dalam anggota dari wilayah keuskupan yang bersangkutan.
Harta benda yang dimiliki oleh religius adalah harta benda gerejawi yang kemudian diatur dalam ketentuan buku V dari Kitab Hukum Kanonik. Harta benda gerejawi akan sangat berguna apabila penggunaan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kan 635.

Biara yang berstatus tingkat Diosesan berada dibawah pengawasan waligereja setempat atau keuskupan dimana biara tersebut berdomisili. Uskup sebagai otoritas tertinggi berhak atas pengawasan yang atas biara-biara tersebut. Pengelolaan dan penggunaan harta benda oleh setiap biara wajib melaporkan pertanggungjawabanya sebagaimana mestinya. Laporan pertanggungjawaban penggunaan harta benda kepada waligereja setempat dilakukan atau dibuat oleh setiap ekonom-ekonom dalam masing-masing biara. Dapat juga pemeriksaan laporan pertanggungjawaban ini dilakukan di setiap biara-biara oleh orang yang diberi kewenangan oleh pemimpin tertinggi wilayah untuk melihat dan memeriksa laporan-laporan pertanggungjawaban tersebut. Dari kanon 637 jelas bahwa setiap biara-biara baik itu biara mandiri maupun biara tingkat Diosesan harus melaporkan pertanggungjawaban atas pengelolaan dan penggunaan harta benda gerejawi.


5.Kesaksian Cinta Kasih dan kemiskinan
Kan. 640
Tarekat-tarekat, dengan mengingat situasi masing- masing tempat, hendaknya sebagai kelompok memberikan kesaksian cinta-kasih dan kemiskinan, serta sesuai kemampuannya memberikan sesuatu dari harta-miliknya bagi kebutuhan Gereja dan untuk membantu mereka yang berkekurangan.
Kan. 640 ini bersumber pada PC 13 mengenai kesaksian kolektif kemiskinan dan cinta kasih.Segi-segi hakiki nasehat injili kemiskinan yang diikarkan dalam lembaga religius perlu dihidupi. PC 13 dan Kan 634 § 2 tidak mempersoalkan benar tidaknya lembaga relegius itu mewah, serakah dan meninbum kekayaan. Yang lebih ditekankan adalah menghindari kesan yang negatif dari cara hidup demikian. Nasihat injili untuk hidup miskin yang diikrarkan oleh seorang religius tidak hanya untuk diri sendirinya sendiri, melainkan juga sebagai kesaksian bagi dunia.Dari pernyataan dalam Kan 640, kita mendapat dua pokok penting yang perlu diperhatikan oleh lembaga relegius:  Memberi kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan. Cinta kasih kiranya harus dihubungkan dengan permintaan agar lembaga relegius memberi sesuatu dari harta-miliknya, baik bagi kebutuhan gereja, maupun guna membantu mereka yang berkekurangan.
Dalam PC 13 yang menjadi sumber kan 640 ini dianjurkan juga solidaritas antar lembaga religius. Dengan demikian tarekat religius yang berkecukupan hendaknya membantu yang kurang mampu.Dimensi sosial ditonjolkan dalam aspek ini. Dengan kata lain, dimensi sosial hak milik dan nasehat injili kemiskinan yang diikrarkan dalam lembaga religius tampak dalam saling memberi dan mendukung dalam karya lewat tindakan solidaritas antar lembaga religius. Hal ini yang kiranya menjadi perhatian semua lembaga religius agar tidak mendirikan menara gading “comfort-zone” bagi tarekatnya sendiri,  tetapi perlu juga mengembangkan semangat solidaritas  antar tarekat agar makna kaul kemiskinan yang diikrarkan  benar-benar dilakasanakan dalam praksis hidup kaum religius atau biarawan-biarawati.

Penutup
Keingintahuan saya terjawab lewat ulasan singkat nomor-nomor dalam Kan. 634-640.Saya merasa terbantu dengan ulasan dalam bagian ini secara khusus dalam kaitannya dengan identitas saya sebagai seorang biarawan yang mengikrarkan kaul kemiskinan. Lewat pendalaman bagian ini dalam semangat pilihan sadar, saya diingatkan akan dua pokok penting pada bagian terakhir dari ulasan saya, secara khusus dalam Kan 640. Lewat nomor ini saya diingatkan untuk memberi kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan.Dua poin ini menjadi fondasi dalam pengelolahan harta benda dalam lembaga religius. Dua hal ini menjadi perhatian saya, agar saya dapat mengembangkan spirit yang sama dalam pengelolahan harta  benda tarekat yang dipercayakan kepada saya kelak.Kerajaan Allah hanya dapat dibangun dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1).  Sekian…

DAFTAR PUSTAKA

Go, Piet. Hukum Kanonik : Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan (KHK Kan. 573 – 746). Malang : STFT Widya Sasana, 1984.
Morrisey,  F.G. “Temporal Goods and Their Administration” dalam Exegetical Commentary on the Code of Canon Law Vol II/2, Angel Marzoa (ed.). Montreal dan Chicago: Wilson & Lafleur dan Midwest Theological Forum, 2004.
Ladjar,Leo L. OFM. Inti Hidup Religius. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Peraturan Hidup Kapusin, no. 59 Roma: [tanpa penerbit], 1982.
Konsili Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no 13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Ende: Nusa Indah, 1970.
Konstitusi Tarekat MSC
Kitab Hukum Kanonik 1983.




[1]. Bdk. Leo L. Ladjar, OFM, Inti Hidup Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1983),  hlm. 43.
[2]. P. Go. HukumKanonik: Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan (Malang:[tanpapenerbit], 1984), hlm.53.
[3]. PeraturanHidupKapusin, no. 59 (Roma: [tanpapenerbit],1982).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug