Langsung ke konten utama

MELIHAT INDULGENTIARUM DOCTRINA DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN DOGMA



Dalam tulisan ini, pokok-pokok penting yang hendak diangkat bukan pertama-tama mengenai isi dogma. Sesuai dengan nama mata kuliah ini yakni “Sejarah Perkembangan Dogma”, maka lewat tulisan ini sayalebih berfokus untuk membahas faktor-faktor penting yang mempengaruhi perkembangan ajaran Indulengentiarum Doctrina. Saya menguraikan tulisan ini dalam metode narration dananalysis. Melalui narration saya menguraikan secara singkat isi dogma Indulgentiarum Doctrina . Dalam analysis, saya menguraikan secara singkat faktor-faktor perkembangan dogma ini berdasarkan penelusuran data historis. Penjelasan masing-masing bagian dapat diikuti lewat ulasan sebagai berikut.
1.                    Narration
Ajaran IndulgentiarumDoctrina dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 1 Januari 1967 di Gereja St. Petrus Roma. Paus Paulus VI mempromulgasikan ajaran ini pada tahun ke-4 masa kepausannya. Konteks Gereja saat itu berada dalam semangat Konsili Vatikan II.Father Gordon Kennedy menulis:
The Church’s teaching on indulgences is very ancient and the basis for the original understanding of indulgences still stands. But over the centuries, the doctrine and practice suffered many unfortunate abuses, so upon the conclusion of the Second Vatican Council, Pope Paul VI formed a Commission to study the topic thoroughly. On January 1, 1967 a Apostolic Constitution (Indulgentiarum doctrina) was promulgated which constitutes the Church’s doctrine on indulgences for our time.” [1]
               
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dilihat bahwa ajaran mengenai indulgensi bukanlah hal baru dalam Gereja Katolik. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selama berabad-abad doktrin dan praktek indulgensi memiliki penyimpangan yang patut disayangkan.Oleh karena itu, Paus Paulus VI merasa perlu untuk membentuk sebuah komisi khusus yang membahas mengenai indulgensi sampai pada akhirnya dipromulgasikan pada tanggal 1 Januari 1967.
                Bagaimanakah isi doktrin ajaran Paus Paulus VI mengenai Indulgentiarum Doctrina?
Lewat tulisan ini saya hanya mengulas garis besar isinya. Ajaran yang dikeluarkan pada oktaf Natal tahun 1967 ini terdiri atas: 4 bab, 12 artikel, dan 20 norma, serta sebuah norma transisional. Dalam bab 1 terdiri atas 3 artikel, bab 2 terdiri 2 artikel (art. 4-5), bab 3 terdiri atas 1 arikel (art. 6), bab 4 terdiri atas 5 artikel (art. 7-11), bab 5 terdiri atas 1 artikel (art. 12). 
Pada bab I Paus Paulus VI menyatakan bahwa doktrin ini memiliki dasar yang kokoh dalam pewahyuan ilahi yang berasal dari Para Rasul dan berkembang dalam Gereja di bawah perlindungan Roh Kudus. Demi pemahaman yang lebih tepat akan doktrin ini, pengganti Petrus, uskup Roma, secara tetap mengembangkan doktrin ini sampai pada kesempurnaan kebenaran ilahi. Kebenaran ilahi menyatakan bahwa dosa-dosa membawa dampak hukuman baik bagi kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang. Hukuman yang diberikan oleh Allah dilaksanakan dalam penghakiman yang adil dan penuh rahmat bagi pemurnian jiwa-jiwa.Oleh karena itu perlulah reparasi/ pertobatan dari dosa yang tidak hanya berdampak pada perbaikan hubungan dengan Allah tetapi juga nilai-nilai personal dan sosial dan tatanan semesta diintegrasikan kembali dalam suatu tatanan yang teratur, yang mana lewat dosa tatanan itu dirusakan. Hal ini diperbaharuai atau diintegraskan kembali secara penuh entah melalui pertobatan sukarela maupun menerima hukuman yang diberikan oleh kebijkasanaan Allah yang mahakudus dan mahaadil, yang dengannya akan terbit ke seluruh dunia kekudusan dan kemegahan kemuliaan-Nya. Setiap orang di dunia ini yang memiliki dosa, paling tidak dosa ringan (venial sins), perlu belas kasihan Allah agar bebas dari hukuman akibat dosa.
Dalam bab II yang ditekankan adalah mengeni solidaritas dalam hidup kudus dan berdosa. Seorang beriman saling membantu dalam mencapai tujuan supernatural. Sebuah kesaksian telah ditunjukan oleh Adam sendiri bahwa dosa diteruskan kepada setiap umat manusia. Namun demikian, solidaritas supernatural yang merupakan dasar paling sempurna dan paling besar , dan yang merupakan dasar dan contoh adalah Kristus sendiri, di mana dengan persekutuan dengan-Nya, Allah telah memanggil kita. (art. 4). Sungguh Kristus tidak berdosa, namun Ia menderita bagi kita. Mengikuti jejak Kristus, orang beriman Kristiani berusaha untuk menolong satu sama lain dalam jalan menuju Bapa surgawi dengan doa, pertukaran benda rohani, dan penebusan penitensi. Semakin banyak mereka terlibat dalam tindakan cinta kasih, semakin tampak mereka mencontohi Kristus dalam penderitaan-Nya. Dengannya mereka dapat menolong saudara-saudara mereka untuk memperoleh keselamatan dari Allah Bapa penuh belaskasihan. Ini adalah dogma lama atau kuno mengenai Persekutuan Para Kudus, di mana kehidupan seorang individu anak Allah dalam Kristus dan melalui Kristus disatukan melalui sebuah jaringan yang mengagumkan bagi kehiduapn semua saudara berimannya dalam kesatuan supernatural Tubuh Mistik Kristus, sampai seorang pribadi mistik dibentuk. Para Kudus selain berusaha memperoleh keselamatan mereka sendiri, mereka juga bekerja sama bagi keselamatan saudara-saudara mereka dalam kesatuan Tubuh Mistik Kristus. Untuk Alasan inilah, terdapat hubungan antara mereka yang sudah mencapain kepenuhan hidup di surga dengan mereka yang masih dalam api penyucian serta mereka yang masih berziarah di dunia. Belas kasihan Allah menuntun pada pengampunan, sehingga para pendosa yang hendak bertobat harus berpartisipasi sesegara mungkin dalam suka cita yang penih dalam keluarga Allah.
Dalam bagian bab III, Paus Paulus VI menyatakan bahwa para Rasul sendiri, dalam kenyataanya mendesak para pengikut mereka untuk berdoa bagi keselamatan para pendosa (lih. Yak. 5: 16; 1 Yoh: 5: 16). Inilah cara paling kuno yang Gereja pelihara secara khusus dalam praktek orang-orang berdosa yang meminta partisipasi seluruh anggota komunitas. Tampak bahwa bantuan umat Kristiani lain penting bagi pertobatan dan penebusan si pendosa (the penitent was washed, cleansed and redeemed with the help of entire Christian people). Akan tetapi, tidak diyakini bahwa bukanlah seorang beriman dengan jasa-jasanya sendiri bekerja demi penghapusan dosa-dosa sesama mereka, tetapi seluruh Gereja sebagai sebuah persekutuan tunggal bersama Kristus sebagai kepalanya yang akan membawa pada kepuasan. Para Bapa Gereja secara penuh meyakini bahwa dalam rangka keselamatan haruslah seseorang  berada dalam komunitas, dan di bawah otoritas para Gembala yang  dibentuk oleh Roh Kudus sebagai uskup untuk memimpin Gereja Allah.
Dalam bab IV bebicira tentang keyakinan yang ada dalam Gereja bahwa para Gembala kawanan jemaat Allah dapat menyatakan bahwa seorang individu bebas dari bekas dosa dengan mempraktekan jasa-jasa Kristus dan para Kudus yang secara berangsur-angsur memimpin berabad-abad dan di bawa inspirasi Roh Kudus kepada umat umat Allah, untuk penggunaan indulgensi yang merepresentasikan sebuah kemajuan dalam doktrin dan disiplin Gereja dari pada sebuah perubahan. Dari akar-akar pewahyuan sebuah keuntungan bertumbuh bagi seorang beriman dan kepada seluruh Gereja. Penggunaan indulgensi menjadi fakta yang sangat nyata dalam sejarah Gereja bahwa Paus memutuskan  pekerjaan tertentu bagi kebaikan bersama Gereja “dapat mengganti semua praktek penitensi” dan bahwa kaum beriman yang “sungguh-sungguh bertobat dan mengakui dosa-dosa mereka” yang menjalankan pekerjaan tertentu yang diberikan “oleh belas kasihan Allah yang mahakuasa dan....percaya kepada jasa-jasa dan otoritas pada Rasul” dan dengan “kebajikan kepenuhan kekuasaan apostolik, tidak hanya mendapat pengampunan penuh dan melimpah, tetapi pengampunan yang paling sempurna atas dosa-dosa mereka yang mungkin.”
Pengahapusan hukuman sementara karena dosa-dosa telah diampuni sejauh rasa bersalah mereka dipusatkan secara khusus disebut “indulgensi”. Dalam sebuah indulgensi, dalam kenyataanya, Gereja menggunakan kekuasaannya sebagai pelayan penebusan Kristus, tidak hanya berdoa tetapi dengan sebuah intervensi otoritatif yang menyalurkan bagi kaum beriman harta kepuasan yang ditentukan secara sesuai yang mana Kristus dan para kudus menang bagi pengahapusan dosa sementara. Tujuan yang dikejar dari pihak otoritas Gereja dengan memberikan indulgensi bukanlah hanya untuk menolong kaum beriman untuk menebus hukuman akibat dosa tetapi juga mendesak mereka untuk menjalankan pekerjaan cinta kasih, sesal, dan amal- secara khusus untuk menuntun mereka dalam pertumbuhan iman dan menyokong bagi  kebaikan bersama. Dan jika kaum beriman mempersembahkan indulgensi dalam hak pilihnya bagi orang yang meninggal, mereka memperkuat cinta kasih dalam sebuah cara yang istimewa dan sambil menaikan pikiran mereka ke surga mereka membawa sebuah tatanan yang lebih bijaksana pada hal-hal di dunia ini. Magisterium Gereja telah mempertahankan dan mengilustrasikan ajaran ini dalam berbagai dokumen. Sayangnya, praktek indulgensi pada saat tertentu secara tidak pantas digunakan. Tetapi Gereja dalam penyesalan dan koreksi penggunaan yang tidak benar ini mengajarakan bahwa penggunaan indulgensi harus dipelihara karena sangat bermanfaat bagi umat Kristiani dan secara otoritatif disahkan oleh konsili-konsili yang suci; dan indulgensi menghukum dengan anathema bagi mereka yang menyatakan bahwa indulgensi tidak  berguna dan menolak kekuasaan Gereja yang memberikannya.” (art. 8). Gereja juga pada saat ini mengundang putra-putranya untuk merenungkan dan bermeditasi dengan baik mengenai penggunaan indulgensi yang memberikan manfaat bagi kehidupan mereka dan sungguh bagi semua umat Kristiani. Praktek yang bermanfaat mengajarkan kepada kita bahwa pada tempat yang pertama “betapa sedih dan pahitnya untuk meninggalkan Allah Bapa”. Sungguh kaum beriman ketika mereka mendapat indulgensi memahami dengan kekuatan mereka sendiri mereka tidak dapat memperbaiki bahaya yang telah mereka lakukan dan bagi seluruh komunitas oleh dosa mereka, dan oleh karena itu mereka digerakan untuk kerendahan hati yang bermanfaat. Penggunaan indulgensi menunjukkan kepada kita betapa dekatnya kita dengan yang lain yang disatukan dalam Kristus, dan betapa kehidupan supernatural dari masing-masing orang memberi keuntungan bagi yang lain. Dengannya membuat kita lebih mudah dan lebih dekat bersatu dengan Allah. Oleh karana itu penggunaan indulgensi secara efektif mempengaruhi cinta kasih dalam diri kita dan mempertontonkan bahwa cinta kasih dalam cara yang luar biasa ketika kita mempersembahkan indulgensi sebagai bantuan kepada saudara-saudara kita yang beristrahat dalam Kristus.
Bab V secara khusus sebagai introduksi atas norma-norma dalam indulgensi. Norma-norma yang disampaikan merupakan variasi yang tepat dalam disiplin indulgensi. Dalam memberikan norma baru tiga hal ini perlu dipertimbangkan: untuk membentuk sebuah ukuran baru bagi indulgensi sebagaian; untuk mengurangi jumlah nomor indulgensi penuh, yang biasa disebut indulgensi local dan ril, untuk mengurangi dan memberikan formula indulgensi yang lebih sederhana dan bermartabat. Selanjutnya terdapat norma-norma.

2.                   Analysis
Dalam bagian ini saya menguraikan secara singkat sejarah perkembangan ajarandalamIndulgentiarum Doctrina untuk melihat faktor-faktor perkembangan ajaran ini.  Dengan kata lain, saya mencoba melihat jejak-jejak sejarah sebelum ajaran ini dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI. Lebih tepatnya meminjam Henry Newman, boleh disebut benih-benih (germination) yang pada akhirnya menjadi lebih matang (maturation) sampai pada pemakluman ajaran ini.Doktrin mengenai indulgensi termasuk sebuah doktrin yang sudah lama ada dalam Gereja Katolik (very ancient). Paus Paulus VI sendiri mengatakan bahwa doktrin dan praktek mengenai indulgensi yang telah berlangsung lama dalam Gereja Katolik memiliki dasar yang kokoh dalam wahyu ilahi yang berasal dari para Rasul dan “berkembang dalam Gereja dengan bantuan Roh Kudus. Seiring bergantinya zaman, Gereja secara tetap bergerak ke arah kepenuhan kebenaran ilahi sampai Sabda Allah mencapai kepenuhan yang sempurna di dalamnya. (Indulgentiarum Doctrina, art. 1).
Sebelum ajaran ini secara resmi dikeluarkan, Paus Paulus VI pada 24 Juli 1963 menunjuk Kardinal Fernando Cento sebagai orang yang menyiapkan The Revision of the Sacred Indulgences. Pada 9 November 1965, kardinal Cento di hadapan dewan uskup (konsili) berbicara dan meringkaskan draft dokumen yang telah disebarakan secara rahasia kepada para uskup terseleksi. Tidak pernah ada perhatian untuk memperbolehkan para uskup untuk secara terbuka berdiskusi untuk merevisi dokumen ini. [2]
Dalam sebuah buku menarik “What Happened at Vatican II”, John W. O'Malley, S. Jmenulis:
In the written reports the episcopal conferences of Belgium, England and Wales, Scandinavia, Haiti, Brazil, Chile, Congo, Rwanda, Burundi, Dahomey, Japan, and Laos expressed dissatisfaction with the document… and the last three called for the abolition of indulgences.”[3]
Dari pernyataan di atas tampak bagi kita bahwa pada saat Konsili Vatikan II, ada laporan tertulis dari Konferensi Para Uskup Belgia, Inggris, Wales, Skandinavia, Haiti, Brazil, Chile, Kongo, Rwanda, Brundi, Dahomey, Jepang, dan Laos yang menyatakan ketidakpuasan terhadap dokumen yang dipersiapkan oleh Penintentiary (Kardinal Fernando Cento, Grand Penitentiary) dan tiga negara yang disebutkan terakhir melihat perlunya penghapusan terhadap indulgensi (the abolition of indulgences).Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1967, Paus Paulus VI mengeluarkan konstitusi apostilik (Apostolic Constitution) mengenai Indulgentiarum Doctrina yang terdiri atas versi yang lebih sederhana dengan 21 daftar norma yang berkaitan dengan hal-hal praktis. Dia menjawab problem diskontinuitas antara ajaran dan praktek Gereja awal dengan Gereja Pertengahan dengan pertimbangan pada perkembangan atau “kemajuan” (profectus) dari doktrin itu: Roh Kudusadalah agen yang dengannya doktrin ini tidak berubah (permutatio) tetapi berkembang (progress) dalam praktek. Oleh karena itu, Paus Paulus VI mengundang gereja pada saat itu agar menggunakan praktek indulgensi.
                Secara substansial, praktek indulgensi dalam doktrin tradisional direvisi. Paus Paulus VI membuat secara jelas bahwa tujuan Gereja tidak sekedar untuk menolong kaum beriman  mengalami penghapusan dosa, tetapi yang lebih utama adalah membuat mereka lebih  bersemangat dalam mempraktekan cinta kasih dan rasa sesal. Dalam ajarannya, Paus Paulus VI menulis:” indulegensi tidak dapat diperoleh tanpa sebuah pertobatan yang tulus (metanoia) dari mereka yang mencarinya dan persatuan dengan Allah”. (Indulgentiarum doctrina, art 11). Paus Paulus VI juga menyatakan bahwa daftar resmi indulgensi doa-doa dan kerja yang baik yang disebut Raccolta, direvisi dengan sebuah pandangan akan indulgensi dalam doa-doa, pekerjaan amal, cinta kasih dan pengampunan. Daftar doa dan kerja yang telah dihapus sekarang disebut Enchiridion Indulgentiarum.(Indulgentiarum doctrina, norm 13).
Pertanyaan penting pada bagian ini adalah, bagaimanakah praktek indulegensi pada Gereja awal dan yang dijalankan pada Gereja abad pertengahan?[4]Jika dirunut dalam sejarah atau asal usulnya, maka dapat dikatakan bahwa indulgensi pada awalnya adalah praktek yang memperbolehkan campur tangan mereka yang sedang menunggu kemartiran untuk mengurangi silih gerejawi yang dikenakan pada orang-orang berdosa publik. Hal ini dipraktekkan selamamasa penganiayaan pada abad-abad awal gereja. Selama Perang Salib Pertama, pada tahun 1099, Paus Urbanus II telah mengirimkan seluruh penebusan dosa gerejawi untuk "peziarah" bersenjata berangkat ke Tanah Suci. Sebagaimana doktrin tentang api penyucian berkembang, praktek dan pengajaran tentang indulgensi bergeser ke hukuman yang lebih singkat di api penyucian bagi seseorang  atau orang lain dalam pertukaran dengan perbuatan baik yang dilakukan dalam kehidupan ini. Pada akhir Abad Pertengahan praktek itu penuh dengan pelanggaran dan memicu Luther untuk menulis 95 dalil yang menandai awal Reformasi. Konsili Trente mengambil masalah ini dan dengan tergesa-gesa menyusun keputusan yang menegaskan kembali ajaran abad pertengahan tapi mengutuk pelanggaran. Pada abad pertengahan Gereja St. Petrus dibangun. Ada penyalagunaan penerapan praktek indulgensi pada masa ini. Namun demikian tidak menghapus akan kebenaran bahwa Gereja mempunyai kuasa untuk memberikan indulgensi. Beberapa penyalagunaan penerapan praktek indulgensi pada Gereja abad pertengahan tampak dalam beberapa contoh di bawah ini: [5]
a.                   Paus Leo X (1513-1521), memberikan indulgensi kepada orang-orang yang memberikan sumbangan untuk pembangunan Gereja St. Petrus, namun bukan karena mereka memberi uang, tetapi karena sebagai ungkapan perbuatan baik. Dan bukan itu saja, yang ingin mendapatkan indulgensi harus memenuhi kondisi yang disebutkan diatas, seperti: doa, berpuasa, dan sedekah, yang semuanya harus dilakukan dengan disposisi hati yang benar.
b.                   Johann Tetzel, seorang pengkotbah Dominikan diutus berkhotbah ke Juterbog, Jerman. Tema khotbah yang menjadi andalannya adalah mengenai  Derma (almsgiving). Derma adalah bentuk ungkapan kasih (lih. Mat 6:2). Khotbahnya ini dibuat dalam rangka menggalang dana untuk pembangunan basilika, dan ini dikaitkan dengan indulgensi. Namun demikian, Tetzel membuat suatu pantun yang memang “salah kaprah. ”Katanya: “Begitu terdengar bunyi emas di kotak, bangkitlah jiwa menuju surga.” Kesannya supaya masuk surga orang harus menyumbang. Padahal, jika kita membaca tentang ajaran indulgensi, terlihat bahwa yang dihapuskan dengan indulgensi itu adalah siksa dosa temporal dari dosa-dosa yang sudah diampuni (melalui Sakramen Tobat) dan bukan membebaskan seseorang dari siksa dosa dari dosa yang belum terjadi. Yang mengampuni dosa tetaplah Kristus melalui para imam-Nya, dan sesungguhnya, perbuatan apapun tidak dapat menggantikan peran Kristus untuk mengampuni dan menyelamatkan seseorang. Yang diperoleh dari indulgensi ‘hanyalah’ penghapusan siksa dosa yang harus ditanggung seseorang, dari dosa yang sudah diampuni oleh Tuhan Yesus. 
c.                   Ajaran indulgensi inilah yang mengundang protes Martin Luther. Dalam 95 thesis yang diletakkan di pintu gereja tersebut tak lama setelah Tetzel datang. Thesis no.27 Luther memprotes pantun Tetzel, dan thesis no. 50 dan 86 memprotes pembangunan basilika St. Petrus. Namun Luther sendiri sebenarnya tidak menolak prinsip pengajaran tentang indulgensi; ia hanya menentang penerapannya. Thesis no. 49 membuktikan hal ini di mana Luther mengatakan bahwa indulgensi sebenarnya “berguna”.
d.                   Beberapa konsili, the Councils of Fourth Lateran [1215], Lyons [1245 and 1274] and Vienne [1311-1312]. Dan di  Konsili Trente [1545-1563], Paus Pius V membatalkan segala peraturan indulgensi yang melibatkan transaksi keuangan. Maka sampai sekarang, derma tidak termasuk dalam perbuatan yang disyaratkan untuk memperoleh indulgensi. Namun demikian, Gereja tetap mempunyai kuasa untuk melepaskan umat dari siksa dosa temporal akibat dari dosa-dosa yang sudah diakui dalam Sakramen Pengakuan Dosa.
e.                   Indulgensi tidak pernah diperjualbelikan seperti yang dituduhkan. Meskipun indulgensi memang waktu itu dapat diperoleh dengan menyumbang, namun kemudian, hati yang bertobat, dan segala persyaratan religius lainnya harus ditepati agar indulgensi tersebut dapat sah diberikan. Jadi bukan semacam membeli surat dan setelah itu dosa diampuni. Bukan demikian, karena sebelum menerima indulgensi, seseorang harus tetap mengaku dosa dan menerima sakramen Tobat terlebih dahulu, dan juga memenuhi persyaratan religius lainnya. Maka, indulgensi bukan untuk menggantikan peran sakramen Pengakuan Dosa maupun silih dosa/ penance yang diberikan kepada umat pada sakramen tersebut oleh imam.

Pada saat Konsili Vatikan II Indulgensi juga dibicarakan. Sebelum konsili dimulai, sejumlah uskup meminta agar konsili memperjelas ajaran dan praktek indulgensi.  Pada bulan Juli 1963, Paus Paulus VI meminta Kardinal Fernando Cento untuk membentuk komisi khusus untuk mempelajari ajaran dan praktek indulgensi. Karenakonsili hampir berakhir, maka pada bulan November 1965, Paus Paulus VI meminta konferensi uskup nasional untuk mempelajari dokumen indulgensi yang dihasilkan oleh komisi khusus dan melaporkan penilaian mereka kepada konsili . Uskup pertama yang berbicara tentang hal ini di Basilika Santo Petrus adalah Melkite patriark Maximos IV Saigh.Ia menegaskan bahwa tidak ada kontinuitas antara praktek gereja awal dan doktrin abad pertengahan dan praktek indulgensi. Laporan dari Dahomey (sekarang Benin), Jepang dan Laos adalah yang paling radikal, menyerukan penghapusan lengkap indulgensi. Hal tersebut tidak melangkah lebih jauh pada saat konsili.

                Pada 1 Januari 1967, Paus Paulus VI mengeluarkan konstitusi apostolik Indulgentiarum Doctrina, instruksi panjang itu adalah pengerjaan ulang sederhana dari ajaran abad pertengahan mengenai indulgensi. Ajaran ini  berakhir dengan 22 norma pada doktrin dan beberapa revisi yang relatif sederhana tentang prakteknya. Definisi indulgensi yang dikemukan oleh Paus Paulus VI dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik: "Sebuah indulgensi adalah remisi atau pengampunan  dihadapan Tuhan atas hukuman sementara karena dosa-dosa yang kesalahannya telah diampuni" (No. 1471).


3.                   Conclusion
Dari pemaparan di atas tampak jelas  bagi kita bahwa selain faktor internal (Roh Kudus), ajaran ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor fenomenal, di antaranya adanya kesesatan pada masa sebelumnya, refleksi teologis,  dan kuasa mengajar gereja.
Pada bagian awal ajaran ini tertulis dengan jelas pernyataan ini: “doktrin ini memiliki dasar yang kokoh dalam pewahyuan ilahi yang berasal dari Para Rasul dan berkembang dalam Gereja di bawah perlindungan Roh Kudus. Demi pemahaman yang lebih tepat akan doktrin ini, pengganti Petrus, uskup Roma, secara tetap mengembangkan doktrin ini sampai pada kesempurnaan kebenaran ilahi. Kebenaran ilahi menyatakan bahwa dosa-dosa membawa dampak hukuman baik bagi kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang”. Dari pernyataan tersebut tampak bahwa doktrin ini berkembang di bawah perlindungan Roh Kudus. Dalam perspektif faktor yang mempengaruhi dan mendukung perkembangan dogma, Roh Kudus adalah sebab internal yang menuntun Gereja sepanjang sejarah kepada seluruh kebenaran (bdk. Yoh. 14: 26). [6] Berdasarkan pernyataan ini juga terlihat dengan jelas bahwa ajaran ini berasal dari kuasa mengajar (Magisterium) Gereja (Paus Paulus VI). Kuasa mengajar merupakan merupakan faktor fenomenal penting bagi sebuah perkembangan ajaran. Karena kuasa mengajar adalah memelihara harta iman, maka harus menghadapi dan meneliti ajaran-ajaran keliru dengan seksama.[7] Berkaitan dengan kuasa mengajar ini, Paus Paulus VI tidak  bekerja sendirian. Tampak dalam analisa di atas bahwa Paus mengikutsertakan para ahli dengan membentuk tim khusus yang pada akhirnya disampaikan dalam Konsili Vatikan II. Walaupun toh menuai berbagai kritik.
Hal yang tidak kalah penting sehubungan dengan faktor yang mempengaruhi ajaran ini adalah adanya kesesatan dalam praktek indulgensi pada masa sebelumnya.Ajaran mengenai indulgensi bukanlah hal baru dalam Gereja Katolik. Selama berabad-abad doktrin dan praktek indulgensi memiliki penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu, Paus Paulus VI merasa perlu untuk membentuk sebuah komisi khusus yang membahas mengenai indulgensi sampai pada akhirnya dipromulgasikan pada tanggal 1 Januari 1967. Benarlah apa yang dikatakan oleh Kardinal Mercier bahwa kesetatan merupakan teman seperjalanan tak terpisahkan dari kebenaran.[8]

Daftar Pustaka:
Hertanto, Gregorius. Faktor-Faktor Perkembangan Dogma. Pineleng, Traktat Kuliah Sejarah Perkembangan Dogma, 2013.

Kennedy,Gordon. Is there still such a thing as Indulgences?.http://saltandlighttv.org/blog/general/is-there-still-such-a-thing-as-indulgences, diunduh pada 12 Desember 2013.
               
               
O’Malley , John What Happened at Vatican II. Cambridge: Harvard University Press, 2008.

O’Malley, John W. The Complex Histroy of Indulgences,http://americamagazine.org/issue/692/signs/complex-history-indulgences, diunduh pada 11 Desember 2013.
Tay, Stefanus Katolik menyalahgunakan indulgensi atau surat pengampunan dosa, http://katolisitas.org/1665/katolik-menyalahgunakan-indulgensi-atau-surat-pengampunan-dosa, diunduh pada 14 Desember 2013.




      [1]Father Gordon Kennedy, Is there still such a thing as Indulgences?,http://saltandlighttv.org/blog/general/is-there-still-such-a-thing-as-indulgences, diunduh pada 12 Desember 2013.
                [3]John O’Malley S.J., What Happened at Vatican II (Cambridge: Harvard University Press, 2008), hllm. 282.

[4]John W. OMalley, S.J,  The Complex Histroy of Indulgences, http://americamagazine.org/issue/692/signs/complex-history-indulgences, diunduh pada 11 Desember 2013.

                [5]Lih.Stefanus Tay, Katolik menyalahgunakan indulgensi atau surat pengampunan dosa, http://katolisitas.org/1665/katolik-menyalahgunakan-indulgensi-atau-surat-pengampunan-dosa, diunduh pada 14 Desember 2013.

[6]Bdk. Gregorius Hertanto, Faktor-Faktor Perkembangan Dogma, (Pineleng, Traktat Kuliah Sejarah Perkembangan Dogma, 2013), hlm. 1
                [7]Ibid,. hlm. 12-13.
                [8]Ibid., hlm. 1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug