Oleh: Hendrikus Nyong Wawo
Pendahuluan
Hubungan
seksual sebelum nikah (premarital sex)
dalam kalangan remaja di Indonesia boleh dikatakan sudah pada tingkat yang
mengkwatirkan. Hasil penelitian Komnas Anak
tahun 2008 menunjukkan bahwa 62,7% remaja SMP sudah tidak perawan lagi. Dalam
beberapa koran dimuat mengenai fenomena hubungan seksual pada usia remaja. Generasi masa
depan bangsa kita yang kini hidup dalam kemajuan teknologi semakin manampilkan
sisi kebobrokan moral.
Pergaulan
bebas yang mengarah pada hubungan seksual pranikah dalam kalangan remaja bukan saja
terjadi di kota besar seperti Jakarta tetapi juga merambah sampai ke
daerah-daerah, bahkan sampai di desa-desa. Tidak heran fenomena tidak perawan
dalam kalangan remaja sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Sebut saja
misalnya di daerah Semarang. Berdasarkan pengamatan LK3 Kabupaten Semarang,
fenomena anak SMP yang melepas keperawanannya, tidak lagi menjadi dominasi
anak-anak perkotaan. Fenomena
ini sudah merambah ke wilayah pinggiran, dan kebanyakan anak-anak kurang mampu.[1] Di daerah Manado-Sulawesi Utara, menurut Dr. Heny Praktiknyo (seorang
dosen di Unsrat Manado) akhir-akhir ini semakin merebak praktek prostitusi
remaja yang dikenal dengan istilah ayam biru, ayam abu-abu dan ayam kampus. [2] Ayam
biru untuk menunjuk siswi SMP yang berhubungan seksual dengan “om-om” demi uang. Ayam abu-abu untuk merujuk siswi
SMA dan ayam kampus untuk anak kuliah. Ternyata hubungan seksual sebelum nikah dalam kalangan remaja tidak
hanya dijalankan dengan pacar sendiri tetapi juga dengan orang lain dan demi
tujuan untuk mendapatkan uang. Ini juga adalah masalah seks sebelum nikah. Hal tersebut memperlihatkan adanya
dekadensi moral dalam kalangan remaja dan tentunya sangat tidak sesuai denga
ajaran moral Katolik. Generasi sekarang
boleh dikatakan sudah terjebak dalam arus hedonisme. Dalam konteks ini tentu
ada pihak yang mencari kenikmatan seks semaksimal mungkin dan mengeksploitasi
daya seksualitas serta memperalat secara egois manusia lain. [3] Yang
menjadi korban kebanyakan adalah kaum remaja wanita. Tampak bahwa kebanyakan
manusia saat ini mencita-citakan adanya kebebasan dalam hidup seks dan variasi
partner seks. Tidak heran “om-om” mencari daun mudah (remaja) untuk dijadikan
obyek pemuas nafsu seks. Terlihat dengan jelas
bahwa selain adanya premarital sex
untuk kaum remaja, juga merebak praktek seks di luar nikah (extramarital sex) untuk “om-om” yang
sudah beristri.
Dengan melihat
kenyataan miris itu, dalam tulisan ini saya hendak mengangkat mengenai apa kata
Gereja Katolik Roma tentang hubungan seksual dalam prespektif moral Katolik,
secara lebih khusus pada masalah hubungan seksual sebelum nikah atau premarital
sex dalam kalangan remaja. Dampak lebih lanjut dari adanya premarital sex adalah abortus provocatus (tindakan aborsi yang
disengaja). Dengan demikian ada kasus moral yang sangat erat hubungannya, yakni
seks pranikah yang juga menimbulkan masalah moral baru yakni aborsi.
Saya menulis
topik ini dalam kerangka sebagai berikut: pertama-tama, mengulas secara singkat
terminologi remaja untuk mendapat gambaran secara sekilas mengenai arti kata
remaja yang saya maksudkan dalam tulisan ini. Kemudian membahas faktor-faktor
yang menjadi penyebab adanya hubungan seksual pranikah dalam kalangan remaja.
Selanjutnya melihat masalah itu dalam terang moralitas Gereja Katolik. Dan pada
bagian akhir saya akan membahas secara singkat saran-saran praktis agar
remaja-remaja kita tidak jatuh dalam tindakan hubungan seksual pranikah.
A.
Selayang
Pandang mengenai Masa Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Dalam masa ini ada perkembangan biologis dan juga
perkembangan psikologis.[4] Ada
perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam usia perkembangan
biologis dan psikologis. Biasanya anak perempuan satu atau dua tahun lebih awal
daripada anak laki-laki dalam masa akil baligh. Masa remaja untuk wanita
berlangsung dalam usia 13 sampai dengan 15 tahun dan untuk anak laki-laki dari usia 14 sampai 16 tahun. [5] Di samping juga tergantung
faktor gizi, lingkungan, keluarga, dan lain-lain. Selain itu,
perubahan yang terjadi pada masa remaja, antara lain:
1.
Perubahan Fisik
Pada remaja wanita ketika masa
akil baligh terlihat dengan jelas perubahan fisik berupa payudara yang mulai
berkembang, pantat membesar, tumbuhnya bulu di sekitar alat kelami dan ketiak,
panggul membesar, percepatan pada pertumbuhan tinggi badan, kulit dan rambut
berminyak serta mulai tumbuh jerawat, vagina mengeluarkan cairan vagina, indung
telur membesar dan mulai menstruasi (menarche). Di samping itu, rahim, sel telur, indung telur,
rongga panggul dan vagina tumbuh seakan bersiap untuk melakukan fungsi dan proses
reproduksi. Hormon yang mempengaruhi perubahan fisik emosi pada masa pubertas
wanita terutama hormon estrogen dan progesteron yang diproduksi oleh indung
telur.
Pada remaja pria secara fisik terjadi
perubahan suara (menjadi lebih besar), tumbuh bulu di sekitar alat kelamin,
ketiak, kaki, tangan, dada dan wajah (tumbuh kumis), adanya jakun, lebih
berotot bentuk tubuhnya dan mulai mengalami mimpi basah. Di samping itu
kelenjar prostat dan seminal, uretra (saluran kencing), testis (buah zakar),
dan penis juga tumbuh membesar dan mulai mengeluarkan cairan yang gunanya
sebagai tempat berkembangnya sperma. Hormon yang mempengaruhi perubahan fisik
dan emosi pada masa pubertas pria ini adalah hormon testosteron yang diproduksi
oleh testis.
2.
Perubahan Psikis
Perubahan psikis yang terjadi baik pada remaja perempuan
maupun remaja laki-laki selain terjadi perubahan, remaja juga mengalami
perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab.
Remaja lebih senang berkumpul di luar rumah dan kelompoknya, lebih sering
membantah/melanggar aturan orang tua, ingin meonjolkan diri ataupun bahkan
menutup diri, kurang pertimbangan maupun menjadi sangat tergantung pada
kelompok. Ini yang menyebabkan remaja menjadi mudah terpengaruh hal-hal yang negatif
dari lingkungan barunya. Secara umum perubahan psikologis yang
terjadi pada anak laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada bagian dibawah ini
: remaja laki-laki mulai tertarik pada lawan jenis dan menunjukkan kejantanan,
rendah diri, malu, cemas, bimbang, lebih
senang membantah, kurang pertimbangan,mudah terpengaruh. Sementara itu, remaja perempuan mulai tertarik pada lawan
jenis (ingin mempercantik diri), adanya kecemasan saat menjelang haid lebih
perasa, mudah sedih, marah, cemas serta suka menonjolkan diri.
Perubahan emosi pada masa remaja mempengaruhi gairah seks
yang muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya remaja merasa seksi dengan pakaian
tertentu, merasa sedih jika mendengar lagu tertentu, atau merasa bahagia kalau
berdekatan dengan orang yang diminati sebagai pasangan. Perubahan emosi yang
menjurus ke arah hasrat seksual bisa juga menimbulkan tanda-tanda fisik seperti puting remaja perempuan menegang
atau penis remaja laki-laki mengalami ereksi bila gairah seks timbul. Semuanya ini bisa menimbulkan konflik diri
di satu sisi seorang remaja menikmati perubahan yang terjadi pada tubuhnya,
namun di sisi lain ia merasa takut dan meragukan apakah yang dialaminya itu juga
dialami orang
lain.
3.
Perubahan Sosial
Pada usia remaja wawasan sosial
mereka bertambah luas sehingga pada masa ini remaja juga mengalami beberapa
perubahan remaja pada dunia sosial ini berusaha untuk mencapai kedewasaan, ia
ingin tenggelam dalam berbagai kegiatan dan berusaha dengan sekuat tenaga ingin
mendapatkan penerimaan dan dikasihi oleh orang disekitarnya. Hal ini sering
kali mempengaruhi tingkah laku dan penampilannya. Perubahan-perubahan yang
terjadi berkaitan dengan bagaimana remaja mengadakan interaksi dengan
lingkungannya baik dengan orang tua dan keluarga, lingkungan teman sebaya dan
masyarakat.
B.
Penyebab Hubungan Seksual Pranikah dalam
Kalangan Remaja
Kita telah melihat secara garis besar mengenai
pokok-pokok penting seputar masa remeja. Kini kita kembali ke masalah pokok yang diangakat pada bagian
pendahuluan di atas. Pertanyaan sentral untuk kita pada bagian ini adalah:” mengapa kaum remaja begitu mudah jatuh dalam
tindakan hubungan seksual sebelum
nikah?” Jawaban singkat untuk masalah
ini adalah karena masa remaja adalah masa krisis sehingga banyak kali
mereka jatuh dalam tindakan-tindakan yang kurang seimbang. Secara umum mereka
mengalami perubahan secara fisik, psikis dan emosi serta sosial. [6] Dalam masa krisis demikian
mereka akan sangat rentan jatuh dalam hubungan seksual pranikah, apalagi
didukung dengan faktor-faktor eksternal lainnya lain seperti:
§
Kurangnya Perhatian
dan Didikan dari Orangtua
Keluarga adalah pranata sosial yang memberikan
sosialisasi primer atau sebagai pendidik utama dan pertama. Proses sosialisasi
dimaksudkan agar anak-anak tidak berperilaku menyimpang (social deviant) dari segala tatanan dalam masyarakat. Oleh karena
itu, keluargalah yang pertama-tama menanamkan nilai-nilai yang berlaku di dalam
masyarakat bagi anak-anak. Dengannya atas salah satu cara
orangtua sedang melestarikan nilai dan norma masyarakat kepada anak-anak. [7] Hal yang amat penting sehubungan dengan
pendidikan anak adalah bahwa keluarga adalah tempat formasi religius. Orangtua yang mendidik anak tidak hanya mendidik
anak-anaknya, tetapi juga “mendidik diri” mereka sendiri lewat tindakan
tersebut. Orangtua yang
mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih (charity)
dan kebijaksanaan (virtue of prudence)
sebenarnya sedang menjalankan nilai kebajikan. Dalam arti ini sebenarnya
orangtua sedang “bersekolah”. Boleh dikatakan bahwa keluarga adalah sekolah
kebajikan (school of virtue).
Dalam masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi
seperti sekarang ini tampak sekali banyak orang tua yang bekerja di luar rumah. Para orangtua yang sibuk bekerja di luar rumah
hanya mengandalkan lembaga pendidikan formal dalam mendidik anak-anak mereka. Sejak bangun pagi mereka sudah berangkat ke tempat kerja, bahkan ketika
anak-anak mereka belum bangun. Kebanyakan orangtua yang sibuk bekerja kembali
ke rumah pada malam hari, entah karena tuntutan pekerjaan atau hanya sekedar
menghindari kemacetan di jalan. Ada yang bahkan kembali ke rumah ketika anak-anak mereka
sudah terlelap tidur. Ritme yang sama berulang terus-menerus setiap hari. Hal ini membuat anak-anak kehilangan panutan (lebih
banyak sang ayah yang bekerja di luar daerah dalam jangka waktu yang lama).
Tentu hal ini menimbulkan luka. Sang orangtua yang seharusnya berada di rumah
untuk menciptakan relasi pribadi yang mendalam dengan anak-anaknya justru tidak
hadir (absent father/ mother). Ada
jarak yang memisahakan antara anak dan orang tua secara emosional (distant father/ mother). [8]
Proses pendidikan primer dalam rumah tidak berjalan karena faktor kesibukan
orangtua dan tidak memilik waktu untuk anak-anak. Dalam keadaan demikian
anak-anak akan mencari rasa aman lewat teman sebayanya yang tentunya dalam masa
kerapuahan identas. Dalam kondisi
demikian mereka akan sangat rentan terlibat dalam pergaulan-pergaulan yang
tidak sehat, termasuk dalam hubungan seksual sebelum nikah.
§
.Kurangnya
keteladanan Guru
Faktor
keteladanan dari para guru turut mempengaruhi perilaku para remaja. LK3
Kabupaten Semarang mencatat angka yang cukup tiggi dari sebuah riset mengenai
tingkat perceraian di Kabupaten Semarang yang didominasi oleh para PNS,
terutama guru. Tingginya angka perceraian pada guru
PNS ini akibat dampak sertifikasi. Peningkatan pendapatan guru berbanding lurus dengan
perubahan gaya hidup yang cenderung hedonis.[9]
Tidak heran angka tindakan seks pranikah dalam kalangan remaja di Semarang
begitu tinggi.
§
Gaya Pacaran
yang tidak Sehat
Cara para remaja berpacaran dewasa ini berkisar dari melakukan ciuman bibir, raba-raba daerah sensitif, saling menggesekan alat kelamin (petting) sampai ada pula yang melakukan sanggama. hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun yang lalu seperti berciuman dan bercumbu, kini sudah dianggap biasa. Bahkan, ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini, misalnya terjadi dengan pandangan mereka terhadap hubungan seksual sebelum menikah. Kenyataan demikian dalam bahasa Dr. Kees Maas, SVD dikarenakan oleh sikap toleransi yang besar (permisiviness) masyarakat luas. [10] Dua puluh tahun yang lalu, hanya 1,2%-9,6% setuju hubungan seksual sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian angka itu naik menjadi 17% setuju, bahkan ada 12,2% remaja setuju free sex. [11]
§
Pengaruh Kemajuan Teknologi
Selain dampak
positif, hasil-hasil kemajuan teknologi dalam zaman modern ini memberi efek
negatif yang tidak sedikit kepada para remaja. Hasil teknologi seperti HP dan
internet jika tidak digunakan secara bijaksana akan membentuk mentalitas instant bagi anak-anak di dalam keluarga. Melalui
internet mereka dengan mudah menemukan apa yang diinginkan. Hal ini dipicu juga
oleh kenyataan bahwa pada zaman ini mereka semakin mudah mendapatkan akses
tersebut dengan harga yang relatif murah.[12] Dalam situasi
demikian anak-anak sekarang lebih suka menggenggam erat spiritualitas baru.
Mereka mendudukan teknologi sebagai impian, harapan, dan juga kepercayaaan. Hidup akan terasa hampa jika tidak
memiliki alat-alat teknologi. Dengan demikian generasi ini boleh dikatakan
sangat mendewakan teknologi. Teknologi seakan-akan adalah hal yang kudus (sacred techonology).[13]
Kurangnya perhatin
dan kontrol orangtua terhadap anak-anak dalam menggunakan dunia maya, seperti
internet menyebabkan remaja secara bebas menjelajah semua hal yang tersaji
dalam media tersebut. Padahal kita tahu bahwa usia anak-anak [remaja] berada
dalam situasi pencarian identitas diri. Salah satu cirinya adalah keingintahuan yang sangat besar
untuk mencoba hal-hal baru. Tak jarang mereka membuka situs-situs orang dewasa
yang menyajikan aneka hidangan berbau porno. Apalagi pesan-pesan yang tersaji
dalam internet sarat dengan muatan pornografi, karena pemilik kendali informasi
global dewasa ini adalah mereka yang oleh Asser Linberg disebut kaum penganut
seksisme.[14]
Anak-anak yang tidak memiliki karakter yang kuat tentu sangat rentan dalam
situasi demikian, karena hanya mereka yang memiliki keteraturan dan kekuatan
batin yang dapat mengolah informasi dan berperilaku secara bijaksana dan cerdas dalam menyikapi
pornografi. Sayangnya anak-anak zaman ini berada dalam kerapuan dan kedangkalan
serta kesadaran diri yang terbelah akibat budaya layar (the screen culture) yang mereka genggam. Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap yang
tidak cerdas dan bijaksana dalam mengolah berbagai informasi berbau porno
melalui media internet mengantar mereka pada dekadensi moral, misalnya
seks bebas (free sex) dalam kalangan
remaja.
Adanya pengaruh teknologi tersebut
yang didukung oleh kekaburan pemahaman mengenai arti tubuh dan seksualits,
membuat mereka terjebak dalam arus seks bebas. Paham mengenai tubuh dan cinta begitu kabur sehingga tidak jarang remaja terlibat dalam pergaulan yg
terlalu bebas dan permisif. Ternyata pemahaman mengenai yang kabur mengenai
kata “cinta” juga dilihat oleh Paus Benediktus XVI. Dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Komisi Kepausan “Cor
Unum” pada tanggal 23 Januari 2016 dalam
tema “"But the Greatest of These Is Love”, Paus
Benediktus XVI menjelaskan alasan mengapa tema kasih
diangkat dalam ensiklik pertamanya. Dia berkata:
“ Today the word “love” is so tarnished, so spoiled and so abused, that one is almost afraid to pronounce it with one's lips. And yet it is a primordial word, expression of the primordial reality; we cannot simply abandon it, we must take it up again, purify it and give back to it its original splendor so that it might illuminate our life and lead it on the right path.” This awareness led me to choose love as the theme of my first encyclical.” [15]
Dengan pemahaman yang kabur mengenai arti cinta tidak
heran apapun boleh dilakukan, asal dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak
ada lagi pertimbangan tentang sebab dan akibat. Tidak ada lagi pertimbangan
berdasarkan hati nurani dan akal sehat.
Saat ini juga banyak orang memiliki persepsi yang kabur atas
tubuhnya dan tubuh orang lain. Tidak heran kenyataan demikian menuntun manusia
pada dekadensi moral yang begitu hebat. Salah satu indikasi
adalah adanya prinsip atau filosofi hidup yang salah kaprah mengenai tubuh
manusia. Atas nama
kebebasan, manusia zaman ini misalnya memegang filosofi “I can do what I want with my body.”
Tidak heran dengan filosofi demikian kita menyaksikan semakin menjamurnya
praktek eksploitasi terhadap tubuh manusia,
secara khusus banyak diperankan oleh kaum remaja. Persepsi yang kabur dalam memandang tubuh manusia ternyata juga
tampak dalam anak-anak dalam keluarga Kristiani. Tampak bahwa tubuh direduksi dalam wilayah
seks semata demi pemuasan nafsu. Hal ini tidak sesuai dengan rencana Allah
sejak semula. Dengan kata lain, kenyataan tersebut memperlihatkan kepada kita
bahwa kebanyakan manusia saat ini sedang bingung dan tidak mengerti tentang
tubuhnya. Manusia lupa bahwa tubuh hanya memainkan peran dan tugasnya secara
benar dan penuh bila menjadi bentuk yang bisa mengungkapkan pribadi manusia.
Melalui tubuh seharusnya terjadi kontak
antara dua pribadi.
Berhadapan dengan kenyataan di atas tampak bahwa remaja
yang terlibat dalam premarital sex sedang menggenggam norma-norma yang salah.
Mereka menekankan aspek biologisme semata yang menekankan insting, di mana
dorangan seksual harus dipuaskan dan jika tidak akan mengalami neurosis. Mereka
melihat seks melulu sebagai kenikmatan (sex
as entertainment) dan mereka bertumpuh pada prinsip ikut arus massal (ikut
mode). [16]
C.
Premarital Sex dan Aborsi dalam Pandangan Moral
Gereja Katolik Roma
“Seks tanpa komitmen bersama penuh dengan bahaya penipuan dan eksploitasi
diri, khususnya pada wanita oleh pria.”
(Andrew Greely, “Sex and Single Catholic,” America 167(1992)345.
Makna unitif dan prokreatif hubungan seksual
Hubungan
seksual pranikah dalam masa remaja tentu tanpa komitmen untuk hidup dalam
persekutuan hidup bersama seumur hidup. Dengan memperhatikan ciri-ciri masa
remaja (fisik, psikis dan sosial) maka bisa dipastikan bahwa tindakan hubungan
seksual sebelum nikah yang mereka
jalankan berada dalam koridor eksploitasi diri (terutama remaja perempuan oleh laki-laik).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adalah sebuah “kebohongan” jika hubungan
seksual dijalankan oleh remaja. Mengapa? Karena tindakan seksual mereka tidak
didasarkan pada penghormatan dan persatuan yang utuh dalam sikap saling memberi
cinta seutuhnya (life-giving love or love
giving union). Seharusnya hubungan seksual hanya dapat dibenarkan bagi mereka yang sudah
nikah secara resmi dalam sakramen perkawinan. [17]
Hubungan seksual juga diarahkan pada
keterbukaan akan kelahiran anak atau dasar nilai prokreasi (with
the basic human value of procreation).[18] Pilihan untuk
menjalankan hubungan seksual pranikah
lebih terarah pada relasi untuk
memanfaatkan orang lain. Di dalamnya hanya ada afeksi sentimental (sentimental
affection) yang tentunya tidak sama dengan cinta (human
love and friendship). [19]
Padahal dalam hubungan seksual seharusnya ada pemberian diri seutuhnya. “In
and with sex, man, in a special sense, gives himself."[20] Singkatnya dapat dikatakan bahwa hubungan
seksual hanya bisa dilakukan oleh
pasangan suami istri dilandasi oleh dua dimensi utama hubungan seksual ual,
yakni aspek persatuan (The
Unitive Dimension of Sexual Intercourse) dan aspek prokreasi (The Procreative
Dimension of Sexual Intercourse). Inilah visi Gereja yang paling mendalam tentang seksualitas. Dengan
demikian Gereja melihat hubungan yang tak dapat dilepaspisahkan antara
kesetiaan perkawinan dan ungkapan seksual. Di dalam hubungan itu terkandung
komitmen, cinta tanpa syarat, dan penyerahan diri secara total. Tanpa aspek ini
maka tidak ada kesatuan cinta yang dapat menyambut dan mengasuh hidup yang
baru. Tragedi pengguguran (aborsi) sering kali terjadi dalam konteks hubungan
seksual tanpa komitmen seperti yang
terjadi dalam premarital sex. [21]
Aspek
persatuan dari tindakan hubungan seksual bisa kita lihat dalam kitab Kejadian.
Dalam Kitab Kejadian kita dikatakan bahwa perempuan dihadirkan sebagai manusia
“yang lain,” yang serentak berbeda dan juga sama dengan laki-laki. Perbedaan
itu dimaksudkan
bagi sebuah persekutuan pribadi-pribadi (communion
of persons) dan sebagai sumber suka
cita. Manusia (۱ādām) meninggalkan
zona kesendirian asalinya dan mengadakan sebuah jalinan persekutuan dengan yang
sepadan dengannya, yakni perempuan.
Tampak jelas bagi kita bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak
dimaksudkan bahwa jenis seks yang satu lebih unggul dari yang lain. Perbedaan
itu ada untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan kemanusiaan kedua
jenis seks. Laki-laki sungguh tampil sebagai laki-laki karena relasinya dengan
perempuan, demikian pula sebaliknya. Hal ini menggambarkan bahwa tanpa relasi
mereka tetap berada dalam kesendirian dan berdiri sebagai pihak yang berada
dalam kekurangan dan ketidaklengkapan. Adanya kekurangan justru menjadi daya
dorong kepada manusia (۱ādām) untuk keluar dari dirinya dan menjalin relasi
dengan pribadi yang sepadan dengan dirinya. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”[22] untuk menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan bagi sebuah persekutuan yang intim antarpribadi dalam pemberian
timbal balik. “Menjadi satu
daging” selain mengacu pada hubungan seksual suami-istri.
Ada hal yang lebih mendalam dari itu, di
mana ini berarti “realisasi dari persekutuan yang sangat mendalam
pribadi-pribadi” di dalam segala aspek kehidupan (bdk. TOB 10: 3; 21 November 1979).[23] Di dalam persatuan atau persektuan itu pasangan suami
istri berkomunikasi, merayakan, dan menyatakan ikatan cinta di antara mereka
yang juga mencakup pengembaraan mencari atau menemukan Allah (the adventure of seeking and finding God
together).
Cinta
Allah adalah sumber pemberian yang fundamental yang mendahului tindakan saling memberi antara manusia laki-laki
dan perempuan. Oleh karena itu,
pasangan suami istri pun dipanggil untuk terlibat dalam memaknai hubungan
seksual ual dalam makna prokreatif, yakni sebagai “sebuah
tindakan memberi (gift) kehidupan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan
yang bersatu atas dasar kebebasan mengemban status baru, di mana perempuan
menjadi istri dan laki-laki menjadi suami. Dalam Kan. 1055 ditegaskan mengenai keterbukaan
suami-istri untuk kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis) sebagai tujuan
perkawinan Kristiani. Dengan demikian,
persetubuhan atau hubungan seksual tidak
dimengerti sebagai ekspresi untuk
memuaskan nafsu, tetapi sebagai ekspresi
kasih. Tentu di dalamnya terkandung
kesadaran penuh dan tanggung jawab dari suami dan istri. Dengan
demikian, kelahiran anak merupakan anugerah yang sangat berharga bagi
perkawinan, karena semakin memperkuat cinta kasih suami-istri sendiri dan
mewujudkan kesejahteraan mereka.
Seksualitas
Yang Bersifat Manusiawi
Seksualitas adalah salah satu dimensi
dalam diri manusia sebagai citra Allah. Melalui seksualitas manusia dapat
berelasi dengan sesamanya. Dengan demikian seksualitas haruslah menjadi
ungkapan cinta antarmanusia dan dihayati menurut status dan dilangsungkan
dengan bebas, sadar, dan tanggung jawab. Hubungan seksual pranikah minus unsur-unsur ini, sehingga
mereka mengabaikan identitas mereka sebagai citra Allah. [24]
Hubungan seksual Pranikah “No Love, Just for Sex”
Hubungan seksual pranikah (premarital-sex) dalam kalangan remaja hanya didasarkan pada pencarian akan kesenangan pribadi. Slogan yang mereka anut adalah “no love, just for sex.” Hubungan seksual dalam kondisi demikian tidak didasarkan pada sikap penyerahan diri seutuhnya bagi pasangan (self-surrender). Dalam hubungan seksual pranikah ada kecenderung untuk mengobyektivir tubuh orang lain. Dengan demikian juga mengobyektivir pribadi lain. Dalam hubungan seperti itu hanya ada self-centeredness atau sikap ingat diri (egois). Hubungan seksual semestinya terjadi hanya bagi mereka yang sudah resmi menerima sakramen perkawinan di hadapan para saksi resmi Gereja. Hal tersebut penting untuk menggarisbawahi sikap saling menyerahkan diri seutuhnya (total surrender). Karena perkawinan adalah sebuah tindakan saling memberikan diri seutuhnya (reciprocal self-donation). Sangat sulit diterima bahwa seks pranikah sungguh-sungguh dijiwai oleh cinta altruis. Pada umumnya relasi demikian hanya didorong oleh keinginan untuk menikmati kepuasan seks itu sendiri dan bukan demi kebahagiaan orang lain, karena kemauan untuk membagiaan pasangannya belum mendalam dan menetap. Walaupun secara badani mereka memberikan diri satu sama lain, tetapi dalam hati belum sungguh-sungguh memberikan diri kepada pasangan itu. Mereka belum sungguh-sungguh memiliki kemurnian hati dalam relasi seperti itu. Padahal hal inilah yang sangat penting bagi terwujudnya pemberian diri bagi pasangan. Dalam bahasa Yan van Paassen, tindakan seks di luar nikah hanyalah sebuah permainan sandiwara.[25] Perjanjian nikah yang disaksikan oleh pihak resmi Gereja dan umat atas salah satu cara menjamin kekuatan aspek kesatuan di antara mereka. Melalui kesaksian publik, kedua mempelai diajak untuk secara serius menyadari komitmen untuk hidup bersama. Melalui sakramen perkawinan mereka tidak hanya membentuk persekutuan antarpribadi mereka sendiri tetapi juga disatukan dengan Kristus. Dialah yang menyemangati cinta dan pemberian diri mereka. Dia juga menyatukan pasangan suami-istri dengan diri-Nya. Kristuslah yang mengangkat persekutuan pribadi-pribadi yang menikah dalam persekutuan Trinitaris.[26] Mereka yang terlibat dalam hubungan seksual di luar nikah sebenarnya melecehkan hakikat martabat manusia sendiri. Mengapa? Karena dalam tindakan seks di luar nikah, mereka yang terlibat di dalamnya menodai martabat mereka sebagai citra Allah.
Dalam hubungan seksual semestinya terjadi pemberian diri secara total kepada pasangan atas dasar cinta dan mengarah kepada perpaduan sempurna antara dua pribadi dari masing-masing jenis seks. Dengan demikian hubungan seksual ual merupakan ekspresi penyerahan diri secara total kepada pasangan yang didasarkan atas semangat cinta dan komitmen. Dalam salah satu bagian Teologi Tubuh, Yohanes Paulus II menyatakan bahwa pengalaman kesendirian (solitude experience) mengantar manusia pada pengalaman kesatuan (experience of unity). Dalam kesendirian asali manusia tidak menemukan relasi yang sepadan. Walaupun ada binatang, tetapi manusia pertama mengalami bahwa dia sendiri dan tidak merasa bahagia. Ketika Allah menciptakan perempuan maka terjadilah kemungkinan adanya persekutuan antarpribadi. Penjelasan di atas menggarisbawahi bahwa hubungan seksual bukan hanya sekedar masalah fisik atau biologis semata. Hubungan seksual perlu dilihat dalam bingkai simbol dan cinta. Hubungan seksual bukanlah barang mainan. Tidak juga dilihat sebagai sebuah aktivitas eksperimental, sebagaimana latihan mengemudi. Tetapi lewat hubungan seksual pasangan suami istri saling memberi atau menyatakan cinta murni. Oleh karena itu, hubungan seksual perlu dilindungi dan membutuhkan komitmen dari pasangan suami-istri. [27]
Dalam level yang lebih dalam hubungan seksual dalam perkawinan menuntun pada pengalaman kesatuan yang mendalam. Hubungan seksual harus dilihat sebagai sarana untuk membahasakan cinta demi kebahagiaan bersama. Untuk maksud ungkapan cinta, maka hubungan seksual hanya dibenarkan dalam relasi suami-istri yang sah yang dikukuhkan dalam sakramen perkawinan. Dengan kata lain, keluarga adalah sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi. Dalam keluarga kedua pribadi yang berbeda jenis kelamin mengungkapkan cinta bukan untuk kepentingan satu pihak tetapi untuk kepentingan bersama. Di dalamnya mereka membentuk persekutuan pribadi yang tak terpisahkan (communio personarum) karena semangat cinta yang mempersatukan. Di dalamnya mereka yang mengikatkan diri dalam perkawinan saling memberi, menyempurnakan, belajar, dan memperkaya. Di dalamnya mereka belajar untuk keluar dari egonya dan tetap berusaha keras untuk memberikan diri dalam semangat cinta kepada pasangannya.
Hubungan seksual dalam konteks pranikah merupakan contoh ekspresi hubungan seksual atas dasar nafsu dan mementingkan diri sendiri. Mereka sebenarnya bukan dalam situasi saling mencintai, tetapi berada dalam nafsu. Tidak heran mereka yang mengadakan hubungan seksual pranikah tidak menemukan kebahagiaan karena hubungan mereka tidak didasarkan atas kasih. Hubungan seksual pranikah merupakan hubungan yang bersifat sementara. Dalam hubungan seksual pranikah yang ada adalah kecenderungan memanfaatkan atau mengeksploitasi pribadi lain. Tambahan pula, dalam relasi demikian mereka tidak menghidupi pengendalian diri (self-mastery). Padahal inilah unsur yang sangat penting (indispensable) agar manusia mampu memberikan dirinya sendiri secara tulus.
Aborsi[28]
Tidak jarang kita mendengar berita mengenai tindakan
aborsi, secara khusus mengenai abortus yang disengaja (abortus provocatus) dalam kalangan remaja. Mereka yang melakukan
tindakan aborsi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.[29] Salah satu
sebab adanya tindakan aborsi yang disengaja sebagaimana telah disinggung di
atas adalah ketidaksiapan seseorang
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya setelah bersenggama pranikah. Ada dua pandangan umum terhadap masalah ini, yakni Pro Life dan Pro Choice. Mereka yang berada dalam posisi Pro Life tentu memiliki
prinsip-prinsip moral yang dipegang. Di antaranya: melihat bahwa kehidupan
dimulai sejak terjadinya konsepsi, pemutusan kehidupan manusia yang tak berdosa secara langsung selalu
salah, sejak terjadi konsepsi maka ada kehidupan manusia yang tak berdosa. Dengan demikian tindakan-tindakan aborsi
secara langsung selalu bertentangan dengan moral.[30]
Mereka yang mendukung Pro Choice
mendukung bahwa titik awal personhood
terjadi pada usia kehamilan sembilan bulan. Melalui logika berpikir demikian,
maka aborsi pada usia kandungan sebelum
sembilan bulan diperbolehkan. Selain itu, para pendukung Pro Choice menggarisbawahi aspek kualitas hidup dalam pertimbangan melakukan aborsi.
Misalnya, bagi mereka seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga miskin secara
moral boleh digugurkan.
Tentu
pandangan ini berseberangan dengan cara pandang yang mendukung Pro Life. Bagi kelompok ini, segala kehidupan itu suci karena
berasal dari anugerah Allah sendiri. Martabat manusia tidak ditentukan oleh
sejumlah kriteria yang ditentukan secara sosial,
tetapi dari kenyataan bahwa semua manusia diciptakan menurut gambar dan citra
Allah. Dengan kata lain, setiap manusia termasuk mereka yang masih berada dalam
kandungan memiliki hak dasar untuk
hidup. Nilai hidup mereka tidak diukur berdasarkan prinsip bonum utile (nilai kegunaanya) tetapi dari martabatnya sebagai
manusia.[31]
Hak hidup mereka tidak berada di tangan orangtua mereka tetapi
berasal dari Allah sendiri.
Tambahan pula, aborsi yang disengaja sama sekali tidak
bisa diterima karena bertentangan atau melawan nilai dan martabat hidup
manusia. Secara biblis, martabat manusia ditemukan dalam kenyataan bahwa
manusia diciptakan secitra dengan Allah. Manusia mampu membedakan secara moral.
Itulah yang membuat manusia berbeda dengan binatang. Moralitas hanya berlaku
bagi manusia (human phenomenan).
Menyangkal keberadaan orang lain dengan meniadakannya berarti menyangkal
dirinya sebagai subyek moral.[32] Dengan begitu, keluarga-keluarga seharusnya perlu terus-menerus menggemakan Pro Life. Pilihan tersebut bahkan
seharusnya juga menjadi sebuah optio
fundamentalis setiap manusia sebab hidup adalah anugerah dari Allah
sendiri. Tugas manusia, secara khusus orangtua dari anak-anak adalah menjaga
dan merawat, serta mendidik secara bertanggung jawab.[33]
Hubungan seksual
pranikah tanpa komitmen dan ketika si remaja perempuan mengandung dan
memutuskan untuk “aborsi” memperlihatkan
bahwa mereka yang terlibat di dalamnya melihat tubuh dalam dimensi biologis
semata. Padahal Allah menciptakan manusia yang bertubuh dengan maksud yang
sangat mendalam. Tubuh manusia sendiri mampu membuat kelihatan (visible) sesuatu yang tidak kelihatan (invisble), yakni hal-hal spritual dan
ilahi. Tubuh diciptakan untuk mentransfer atau meneruskan kepada dunia indrawi, misteri yang
tersembunyi Allah. Tubuh
memberikan pesan penting atau rahasia terdalam Allah. Rahasia tersebut adalah
misteri cinta dan kehidupan Allah Trinitas (the mystery of Trinitarian Life and Love-of
Trinitarian Communion). Oleh karena itu, seharusnya manasia yang bertubuh
itu mewujudkan kasih sebagaimana Allah adalah kasih. Manusia dipanggil untuk
mencintai (life giving communion persons).
[34]
Masalah moral yang tampak dalam hubungan seksual pranikah secara jelas memperlihatkan kepada
kita bahwa mereka yang terlibat di dalamnya tidak sungguh-sungguh menghayati
panggilan Allah untuk mencintai. Mereka justru saling memanfaatkan demi
kepuasan dan kepentingan diri. Meminjam istilah Yohanes Paulus II, relasi
mereka lebih bercorak posesif. Artinya bahwa orang lain diperlakukan sama
dengan barang atau obyek yang bisa “dipakai” untuk memenuhi kepuasan dan
kepentingan pribadi.
Tampak
bahwa mereka yang terlibat dalam hubungan seksual pranikah tidak sedang berjalan menuju
kepenuhan hidup. Mereka juga tidak dapat menemukan diri sepenuhnya, karena
tidak memberikan diri seutuhnya kepada pribadi yang lain (bdk. GS art, 24). Padahal kita tahu bahwa manusia adalah pribadi atau makhluk
yang diciptakan untuk saling memberi (being-gift).
Hal ini didasarkan pada wahyu dan pengalaman kebertubuhan mereka.
D. Saran Praktis[35]
Menurut saya, masalah-masalah yang ada
di dalam keluarga-keluarga Kristiani baik dalam kasus premartial sex maupun aborsi
menyiratkan adanya kekurangpahaman mengenai makna tubuh manusia. Allah
menciptakan manusia yang bertubuh untuk saling mencintai. Tubuh adalah
ekspresi pribadi. Hubungan antarpribadi (tubuh) yang paling nyata tampak dalam
tindakan persetubuhan, yakni bersatunya dua tubuh (laki-laki dan perempuan)
yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Di dalam persetubuhan terjadi persatuan persona/
pribadi-pribadi. Tubuh yang mengungkapkan persona
atau pribadi diciptakan oleh Allah untuk menjadi tempat di mana Dia yang tak
kelihatan menjadi kelihatan. Dengan demikian, persetubuhan bukan semata
bersifat biologis, melainkan juga bersifat teologis. Artinya, dengan bersatunya
dua tubuh yang diartikan sebagai persatuan dua pribadi, maka Allah yang yang
tak kelihatan bisa “dilihat”. Di dalam tindakan itu, ada communio personarum (persekutuan antarpribadi). Di dalam persekutuan
tersebut ada semangat saling memberi secara total kepada pasangan. Dengan
demikian, tindakan persetubuhan menceriminkan diri sebagai citra Allah. Allah
yang kita imani berada dalam communio
atau persekutuan, yakni kesatuan Tritunggal Mahakudus.
Dengan demikian tampak bahwa
persetubuhan seharusnya dilihat sebagai ungkapan persatuan pribadi yang saling
memberi diri dalam semangat cinta. Dengannya manusia mencerminkan diri sebagai
citra Allah. Dengannya juga manusia membuat kelihatan Allah yang tidak
kelihatan. Dalam hubungan seksual pranikah dan hubunngan seks di luar nikah hal
itu tidak tampak. Oleh karena itu, untuk menuntun kembali manusia pada jalan
yang dikehendaki Allah, menurut saya hal
yang amat fundamental dalam menangani adanya kasus premarital sex yang tampak dalam seks bebas dengan memberikan pendidikan
seksualitas dan pendidikan nilai bagi anak-anak. Philip S. Keane menulis, “...orangtua-orangtua adalah pendidik yang utama
bagi anak-anak mereka dalam bidang seksualitas.”[36]
Pendidikan di dalam keluarga menjadi hal pertama dan utama, termasuk pendidikan
seksualitas kepada anak-anak. Orangtua perlu menyediakan suasana kondusif bagi anak-anak sehingga mereka merasa at
home tinggal di rumah. Kalau anak-anak sudah merasa betah tinggal di
rumah, maka orangtua dapat dengan mudah mendidik anak-anaknya, termasuk dalam
hal seksualitas.
Pendidikan seksualitas menjadi hal
yang amat penting bagi anak-anak. Maksud utama dari kegiatan pendidikan
seksualitas bagi anak-anak di dalam keluarga adalah untuk:
·
Membentuk
perilaku seks yang dewasa dan bertanggungjawab. Dalam hal
ini orangtua tidak sekedar memberikan informasi rasional, tetapi juga menaruh
perhatian pada kehendak, perasaan, dan emosi. Anak-anak perlu dididik agar
dapat bertingkahlaku sesuai dengan norma-norma serta ajaran agama. Perlu juga
mendidik keutaman-keutumaan yang perlu dipegang oleh anak-anak, seperti
kesopanan, pengendalian diri, hormat kepada diri sendiri dan orang lain, serta
keterbukaan kepada sesama.
·
Memampukan
seseorang memberikan cinta murni. Dengan pendidikan seksualitas dalam
keluarga diharapkan agar anak-anak dapat memberikan cinta murni atau cinta
altruistik kepada orang lain. Dengan demikian menuntun mereka agar memahami
seksualitas mereka, artinya menuntun mereka untuk sadar apa artinya menjadi
laki-laki dan perempuan.
·
Hidup murni. Dalam hal
ini, pendidikan seksualitas di dalam keluarga memampukan anak-anak untuk
mengembangkan pengharagaan terhadap tubuhnya dan tubuh orang lain sebagai citra
Allah, mengakui dan mengerti aspek-aspek fisik, psikologis dan spiritual
hidupnya sebagai sesuatu yang secara mendasar baik, terbuka menerima cinta dan
dapat mencintai orang lain sesuai dengan tingkat kedewasaannya, menghargai
tanggung jawabnya yang dituntut dalam masa transisi dari berorientasi pada diri
sendiri yang belum dewasa ke orientasi kepada orang lain, menghargai peranan
yang dimainkan oleh seksualitasnya di dalam membangun relasi yang bertanggung
jawab dan penuh kesetiaan, menghargai maksud dan tujuan mendasar perkawinan
Kristiani yang menekankan aspek prokreatif dan unitif hubungan seksual ual
suami-istri, dan hidup murni baik dalam perkawinan maupun dalam kehidupan
selibat. Hal ini sangat penting agar mereka bisa menerapkan gaya berpacaran
secara sehat ketika menginjak umur pubertas.
Perlu diingat bahwa dalam memberikan pendidikan
seksualitas di dalam keluarga perlu juga memeperhatikan prinsip-prinsipnya agar
bisa membawa efek yang diharapkan, di antaranya:
·
Pembinaan
diberikan secara individu. Maksudnya, orangtua perlu memperhatikan
keunikan masing-masing anaknya. Oleh karena itu, masing-masing anak perlu
didekati secara pribadi. Sebaiknya anak perempuan didampingi oleh ibu,
sedangkan anak laki-laki didampingi oleh bapak keluarga.
·
Pentingnya
dimensi moral. Dalam hal ini orangtua
perlu menjelaskan kepada anak-anak bahwa setiap orang dipanggil untuk
menghidupi seksualitasnya sesuai dengan rencana Allah bagi manusia, baik dalam
konteks perkawinan maupun dalam selibat. Dengan demikian, orangtua perlu
mengoreksi segala tindakan anak-anak yang bertentangan dengan maksud Allah bagi
seksualitas manusia.
·
Diberikan
dalam konteks pendidikan cinta. Pendidikan seksualitas perlu
ditempatkan dalam konteks cinta kepada Allah dan kepada sesama. Misalnya:
menghindari berbuat dosa, berbuat sopan, tekun berdoa, sering menerima
sakramen-sakramen, terutama ekaristi dan rekonsiliasi. Perlu juga membiasakan
anak-anak untuk bersikap kritis terhadap lingkungan sekitar, misalnya anak-anak
diajak untuk menolak segala bentuk penyimpangan tingkahlaku yang ada dalam
masyarakat termasuk dampak-dampak negatif dari teknologi.
·
Mempertimbangkan
tahap-tahap perkembangan anak. Ada tiga tahap perkembangan anak
secara psikologis (psikologi perkembangan) yang mesti diketahui oleh orangtua,
yakni masa kepolosan, pubertas, dan menuju kedewasaan. Dalam hal ini orang tua
perlu secara hati-hati dan bijaksana dalam memberikan informasi tentang
seksualitas berdasarkan umur dan tingkat perkembangan anak-anak dalam tiga
tahap itu. Misalnya dalam masa tahun-tahun kepolosan (umur 5 tahun-masa puber)
orangtua perlu memberikan informasi tentang seksualitas secara terbatas.
Misalnya dengan mengoreksi informasi yang salah dan tak bermoral atau
mengontrol bahasa cabul. Ketika anak-anak memasuki masa pubertas, maka orangtua
perlu mengarahkan dan membimbing secara bijaksana. Pada masa tersebut anak-anak
mulai merasakan perubahan-perubahan dalam dirinya (tahap pancaroba). Pada masa
puberas anak-anak remaja mulai memiliki rasa tertarik kepada lawan jenis
disertai naluri-naluri biologis seksualitasnya. Tugas orangtua adalah
membimbing anak-anaknya agar bersikap secara bijaksana berhadapan dengan
kenyataan alamiah itu. Dalam menghadapi masa dewasa, orangtua perlu membuka
dialog serta menghargai otonomi anaknya.
Orangtua perlu menjadi referensi acuan bagi anak-anak yang menginjak dewasa
baik melalui nasihat maupun dalam contoh hidup. Juga diharapkan orangtua
mendampingi anak-anaknya dalam persiapan membangung keluarga.
Ada dua metode
yang kiranya perlu diperhatikan oleh
orangtua dalam pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya, yakni metode dialog
dan contoh hidup yang baik.
·
Metode dialog. Dalam hal
ini orangtua perlu berdialog dengan anak-anaknya atas dasar penghargaan
terhadap tahap-tahap perkembangan anak-anaknya serta penghargaan terhadap
anak-anaknya sebagai individu yang khas dan tak tergantikan. Namun karena
orangtua tidak semuanya memiliki kompetensi dalam menghadapi problematika
seksualitas yang dihadapi oleh anak-anaknya, maka mereka juga dapat meminta
bantuan kepada pihak-pihak yang berkompeten. Mereka juga dapat meminta bantuan
kepada orangtua lainnya yang menghadapi masalah yang sama. Mereka juga perlu
membaca buku-buku dan sumber-sumber lain yang disetujui oleh otoritas gerejawi.
·
Contoh hidup
yang baik. Inilah metode yang paling efektif. Mengapa? Dengan
contoh hidup yang baik dari orangtuanya, anak-anak dapat memiliki penilain yang
positif terhadap seksualitas manusia. Contoh yang buruk dari orangtua akan
berdampak pada cara penilaian yang negatif terhadap seksualitas manusia dalam
diri anak-anak.
Di atas telah
dijelaskan bahwa salah satu problem
solving mengenai masalah premarital
sex adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anak di
dalam keluarga. Di samping pendidikan
seksualitas, perlu juga pendidikan nilai di dalam keluarga. Orangtua tidak
hanya memaksa anak-anaknya agar memegang nilai-nilai Kristiani, tetapi lebih
daripada itu mereka hendaknya menjadi sahabat yang baik bagi anak-anaknya
dengan memberikan teladan hidup dalam penghayatan terhadap nilai-nilai
Kristiani. Pendidikan nilai dalam cara
demikian akan membentuk gaya hidup “the
way of life” yang baik, sehingga anak-anak mempunyai karakter atau
kebiasaan hidup yang baik. Maka dalam rangka pendidikan seksualitas dan
pendidikan nilai sebagai problem solving
dalam menangani premarital sex, hal yang perlu dan mutlak dihidupi oleh
orangtua keluarga Kristiani adalah dengan
menghayati hidup perkawinan dengan baik, penuh kesetiaan, serta
kemurniaan dalam seksualitas.
Penutup
Adanya
masalah-masalah moral dalam keluarga inti (nuclear
family) secara khusus dalam masalah seks pranikah memperlihatkan kepada
kita akan adanya kenyataan bahwa manusia tidak mengerti secara mendalam maksud
Allah menciptakan manusia dengan tubuh dalam perbedaan seks manusia laki-laki
dan perempuan. Para teolog Katolik di
mana-mana berpendapat bahwa hubungan seksual pranikah merupakan dosa berat. [37] Demikian
juga dengan masalah aborsi. Mereka yang terlibat dalam aborsi dijatuhi hukuman
ekskomunikasi dari Gereja.
Dalam hubungan seksual pranikah tampak sekali
bahwa tubuh manusia hanya dilihat dalam bingkai biologis material semata.
Kekaburan pemahaman seperti ini mendorong remaja untuk menghidupi kebebasan
semu terhadap tubuhnya dan bahkan mengobyektivir tubuh orang lain (remaja lawan
jenis). Padahal perlakuan demikian adalah cerminan bahwa manusia yang sedang meremehkan
tubuh orang lain sedang melecehkan pribadi orang lain, karena tubuh tidak
dilepaspisahkan dari pribadi manusia. Masalah dalam hubugngan seksual pranikah
berefek pada tindakan aborsi. Hal ini
sangat bertentangan dengan rencana Allah sendiri. Sejak awal Allah menghendaki agar
manusia sebagai citra-Nya saling mencintai. Manusia dipanggil untuk mencintai
dengan tubuhnya. Tubuh manusia sejak semula tidak hanya dilihat sebagai
sumber prokreasi, tetapi menyatakan
kekuatan untuk mengekspresikan cinta.
Lust but not the least, marilah kita
menggemakan budaya cinta (the culture
of love) dan budaya kehidupan (the culture of life). Hal ini tentunya
berawal dari keluarga masing-masing sebagaimana dikatakan oleh Bunda Teresia
dari Kalkuta:”Love begins at home.” Maka Pendidikan seksualitas dan pendidikan
nilai mutlak dihidupi dalam keluarga-keluarga Kristiani. Hubugan seksual
pranikah dan aborsi dalam kalangan remaja mengindikasikan bahwa budaya saling memanfaatkan dan budaya
kematian. Marilah kita dengan lantang berseru:”say no to premarital sex and abortion.”
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
John Paul
II. Man
and Woman He Created Them. A Theology of the Body. Translation, Introduction, and
Index by Michael Waldstein. Boston: Pauline Books & Media, 2006.
Bria, Benyamin Yosef. Pastoral
Perkawinan Gereja Katolik menurut
Kitab Hukum Kanonik 1983.
Kajian dan Penerapannya. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2007.
Chang, William. Bioetika.
Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Kanisius, 2009
Cooke,
Bernard (ed). Perkawinan Kristen.
Terjemahan Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Darmawijaya,
St. Mengarungi Hidup Berkeluarga.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Effendy, Muhadjar Pedagogi Kemanusiaan. Sebuah
Refleksi Multidimensional. Malang:
UMM Press, 2004.
Gilarso,
T. Membangun Keluarga Kristiani. Pembinaan Persiapan
Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hadiwardoyo,
Al. Purwa. Surat untuk Suami Istri
Kristen Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Healy,
Mary. Men &
Women are
from Eden.
A
Study Guide to John Paul II’s Theology of the Body. Cincinnati, Ohio: Servant Books, 2005.
Hello,
Yosef Marianus. Menjadi Keluarga Beriman. Sebuah Cita-Cita dan Pergumulan. Yogyakarta:
yayasan Pustaka Nusatama, 2004.
Higgins, Gregory C. Dilema Moral Zaman Ini. Di Pihak Manakah Anda? Terjemahan Y. Mey Setiyanta. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hogan,Arnold. On
being Catholic. What
kind of person should I be?. Nort
Blackburn, Victoria: Collins Dove, 1993.
Hogan,
Richard M. & John M. Levoir. Covenant of Love. Pope John Paul II On
Sexuality, Marriage, and Family in the
Modern World. USA: Ignatius Press, 1985.
Hogan, Richard M. The Theology of the Body in John Paul II. What it Means, Why it Matters. Ijamsville, MD: The Word Among Us Press,
2006.
Keane, Philp S. Sexual Morality. A Catholic Perspective.
New York, Ramsey, Toronto: Paulist Press, 1977.
Kusmaryanto, C.B. Tolak
Aborsi. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Maas, Kees SVD. Teologi
Moral Seksualitas . Ende: Nusa Indah, 1998.
Paassen, Yan van Membangun Budaya Cinta. Himpunan Ceramah dan Permenungan.
Tangerang: Yayasan Gapura, 1997.
Percy, Anthony. The
Theology of The Body Made Simple. Discover
John Paul II’s Radical Teaching on Sex, Love, and the Meaning of Life
. Philippines, Paulines Publishing House,
2006.
Raharso,
Alf. Catur. Paham Perkawinan dalam Gereja
Katolik. Malang: Dioma, 2006.
Raho,
Bernard. Keluarga Berziarah Lintas Zaman.
Suatu Tinjauan Sosiologis. Ende: Nusa Indah, 2003.
Ramadhani,
Deshi. Lihatlah Tubuhku. Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
---------------------.
Adam Harus Bicara. Sebuah Buku Lelaki.
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Rausch, Thomas P. Katoliksisme. Teologi bagi Kaum Awam. Terjemahan Agus M. Hardjana. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Setyawan,
I Wawang. Tantangan Menjadi Orang Tua yang
Efektif menurut Familiaris Consortio. Yogyakarta: Yayasan Pustakan Nusatama,
2010.
Shelton,
Charles M. Moralitas Kaum Muda. Bagaimana
Menanamkan Tanggung Jawab Kristiani. Terjemahan Y. Rudiyanto. Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
Simon, Yves R. The Definition of Moral Virtue. Edited
by Vukan Kuic. USA:
Fordham University Press, 1986.
Sujoko,
Albertus. Teologi Keluarga. Memahami
Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris Consortio. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
INTERNET:
http://www.syababindonesia.com/2014/04/fenomena-anak-smp-tak-perawan-di.html, diunduh pada tanggal 2 Desember 2014.
http://lianovikaulya.wordpress.com/kesehatan-reproduksi-remaja-krr/, diunduh pada tanggal 2 Desember 2014.
http://www.ratzingerfanclub.com/blog/2006/01/pope-benedict-xvi-deus-caritas-est.html, diunduh pada
tanggal 24 September 2014
[1]http://www.syababindonesia.com/2014/04/fenomena-anak-smp-tak-perawan-di.html, diunduh pada tanggal 2 Desember 2014.
[2] Dalam menanggapi masalah aborsi dalam seminar mengenai
aborsi dalam rangka HUT Tarekat MSC ke-160 yang diselenggarakan oleh Kelompok
Studi Mitra, Sabtu, 06 Desember 2014 di Skolastikat MSC Pineleng.
[5] BKKBN memberi kisaran umur remaja antara
11-21 tahun yang terdiri atas usia 11-13 tahun yang dikenal dengan masa remaja
awal/pubertas, usi 14-18 tahun/masa remaja dan usia 19-21 tahun/masa pemuda.
Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam
dewasa atau bukan lagi remaja. Sebaliknya jika usia bukan lagi remaja tapi
masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri) maka dimasukkan kedalam
kelompok remaja.
[7]Bdk. I
wawang Setyawan, Tantangan Menjadi
Orangtua yang Efektif menurut Familiaris Consortio, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2010), hlm. 33-34.
[8] Bdk. Deshi Ramadhani, Adam
Harus Bicara Sebuah Buku Lelaki (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 110-111.
[9]http://www.syababindonesia.com/2014/04/fenomena-anak-smp-tak-perawan-di.html, diunduh pada tanggal 2 Desember 2014.
[11] Tito, “Potret Remaja dalam Data”, Harian Kompas, 3 Agustus 2001, hlm. 42.
[12]Dalam
dunia internet dikenal istilah Triple-A
Engine (Mesin Tiga-A), yakni affordability
(murah), anonymity (identitas pribadi
pengguna internet tidak dikenali atau rahasia), accessibility (mudah untuk masuk ke dalamnya, kapan, dan di
manapun). Lih. Deshi Ramadhani, “Terbiasa Melintasi Gerbang Bisikan Kidung
Agung untuk Pengguna Internet” dalam www.god.co.id .
Naning (ed) (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 45.
[13]Bdk. St. Hari Suparwita, “Zaman Baru Teknologi, Gaya
Hidup dan Spiritualitas yang baru.” dalam www.god.co.id . Naning
(ed)., hlm. 35.
[14]Bdk. Effendy, Pedagogi Kemanusiaan. Sebuah
Refleksi Multidimensional (Malang:
UMM Press, 2004), hlm.
43-44.
[15]http://www.ratzingerfanclub.com/blog/2006/01/pope-benedict-xvi-deus-caritas-est.html, diunduh pada tanggal 24 September
2014
[17] Bdk. Humanae Vitae 13 & 14; Persona Humana (Vatican
Declaration on Certain Questions of Sexual Ethics, December 29, 1975), Familiaris
Consortio, II.
[19] Karol
Wojtyla (Pope John Paul II), Love and Responsibility (New York: Farrar,
Straus, and Giroux, 1981), hlm. 109-114.
[20] Dietrich
von Hildebrand, In Defense of Purity (New York: Sheed and Ward, 1935),
pp. 12-14 (reprinted by Franciscan Herald Press, 1968).
[21] Thomas P. Rausch, Katolisme
Teologi Bagi Kaum Awam (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 245.
[22]Kej 2: 24.
[23]John Paul II, Man
and Woman He Created Them. A Theology of the Body. Translation, Introduction, and
Index by Michael Waldstein (Boston: Pauline Books & Media, 2006), hlm. 168.
[25]Bdk. Yan van Paassen, Membangun
Budaya Cinta. Himpunan Ceramah dan Permenungan (Tangerang: Yayasan Gapura, 1997), hlm. 150.
[26]Bdk. Richard M. Hogan & John M. Levoir, Covenant of Love. Pope John Paul II on
Sexuality, Marriage, and Family in the
Modern World (USA: Ignatius Press, 1985),
hlm. 87-88.
[27]Bdk. Percy, The Theology of
The Body Made Simple. Discover John
Paul II’s Radical Teaching on Sex, Love, and the Meaning of Life, hlm. 69.
[28]Beberapa sumber acuan untuk bagian ini: Bdk. Gregory C.
Higgins, Dilema Moral Zaman Ini. Di Pihak Manakah
Anda?, terj. Y. Mey Setiyanta (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hlm. 45-62; Lih. William Chang, Bioetika.
Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 38-39.
[29]Misalnya karena anak dalam kandungan adalah dampak dari
pemerkosaan dan incest. Di samping
itu, adanya kemajuan di bidang teknologi terkait pemeriksaan sebelum kelahiran
memicu adanya tindakan aborsi kalau mengetahui ternyata anak yang ada dalam
kandungan mengalami cacat. Yang lain lagi dipengaruhi oleh masalah ekonomi
(yang dikaitkan dengan masalah kualitas hidup bagi anak-anak yang dilahirkan
kelak). Di samping itu, secara sosiologis, tindakan aborsi dipengaruhi oleh
ketidaksiapan seseorang untuk mempertanggungjawabkan tindakannya setelah
bersenggama baik di dalam maupun di luar perkawinan (extramarital sex). Kelompok yang mendukung tindakan aborsi disebut Pro Choice. Bdk. Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini. Di Pihak Manakah Anda?, hlm. 45-62;
Lih. William Chang, Bioetika. Sebuah Pengantar, hlm. 38-39.
[31]Lih. C.B
Kusmaryanto, Tolak Aborsi
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 67-68.
[32]Ulrich J. Kӧrtner, “Life
in human hands? Genetics and medical ethics” dalam Theology Digest 47/2 (Summer
2000), hlm. 143.
[34]Bdk. Christopher West, Good News about Sex &
Marriage. Answers to Your Honest Questions about Catholic Teaching (Cincinnati, Ohio: Servant Books, 2004), hlm. 19.
[35]Dalam pembahasan bagian ini kami terinspirasi dari
beberapa sumber. Bdk. Pendampingan
Orangtua dalam Pendididikan Seksualitas Remaja (Jakarta: Komisi KWI atas
kerja sama dengan BKKBN dan UNFPA, 2000), hlm. 1-37; Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda. Bagaimana Menanamkan
Tanggung Jawab Kristiani, terj. Y. Rudiyanto (Yogyakarta: Kanisius, 1988),
hlm. 97-113; T. Gilarso, Membangun Keluarga Kristiani. Pembinaan Persiapan
Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 41-56; Ignatius Sukasworo, Seni Berkomunikasi dalam Membangun Keluarga
Kristiani (Jakarta: Obor, 1999), hlm. 9-128; St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 36-84; Al. Purwa Hadiwardoyo, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 1
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 19-39; William Roberts, “Teologi Perkawinan
Kristen” dalam Perkawinan Kristen.
Bernard Cooke (editor), terj. Komisi Liturgi KWI (Yogyakarta: Kanisius, 1991),
hlm. 57-82; Pontifical Council For the Family, The Truth and Meaning of Human Sexuality. Guidlines for Education
within the Family (Australia: St. Pauls,1996), hlm. 47-109.
[36]“...parents are the
primary sexual educators of their children.” Lih. Philp S. Keane, Sexual Morality. A Catholic Perspective
(New York, Ramsey, Toronto: Paulist Press, 1977), hlm. 17.
Komentar
Posting Komentar