Setelah
membentuk manusia dari tanah liat
serta
menghembuskan napas
ke dalam tubuh manusia
tersebut, Allah menempatkannya di tengah-tengah taman Eden. Hal ini dengan amat
jelas terlihat dalam Kitab Kejadian 2: 18-20. Penemuan
pertama yang dibuat oleh manusia (۱ādām) adalah dia
menemukan dirinya berada dalam kesendiran yang radikal.
Allah sendiri mengetahui
hal ini:”Tidak baik manusia sendirian saja.”[1] Walaupun Allah menciptakan binatang-binatang
dan membawa kepada manusia pertama tersebut (sehingga dia memberi nama kepada
masing-masing mereka), dia tetap mengalami kesendirian karena tidak menemukan tubuh yang serupa dengan dirinya sendiri.
Dari
“kesendirian asali” kita menemukan ulasan yang sangat menarik seputar manusia. Pertama, manusia menemukan dirinya
berbeda dari semua jenis binatang, sehingga dia memahami bahwa dirinya unik.
Dia menjadi sadar akan superioritasnya berhadapan dengan animalia. Manusia menjadi sadar akan identitas dirinya, siapa
dirinya berhadapan dengan ciptaan yang tidak sepadan dengannya. Penemuan akan
kesendiriannya itu merupakan sebuah tindakan kesadaran diri (self-consciousness) atau auto-consciousness yang merupakan sebuah
karakter mendalam dari pribadi manusia.
Manusia sadar bahwa dirinya adalah “subyek” atau makhluk
yang mampu berkata “Saya.” Dengan kemampuan berefleksi mengenai dirinya sendiri, dia menjadi sadar akan siapa dirinya
sebagai seorang pribadi yang berbeda
dengan makluk lainnya. Dengan kemampuan yang ada juga, manusia menyadari bahwa dia bukanlah something, tetapi someone (bdk. TOB 5: 6; 10 Oktober 1979) . [2]
Kedua, sebagai someone atau sebagai subyek, dia memiliki kemampuan
untuk mengetahui dan mencintai serta bisa berinteraksi dengan Allah. Dalam
kesendirian tersebut manusia menemukan bahwa dia sendiri memiliki relasi yang
eksklusif dengan Allah. Dia dapat mengalami dan merasakan kehadiran Allah.[3] Allah
membangun sebuah perjanjian yang sejati dengan manusia. Dalam perjanjian itu manusia dilarang untuk memakan
buah pohon pengetahuan akan yang benar dan yang jahat. Melalui
larangan ini, manusia menyatakan dirinya mampu menentukan sikapnya sendiri (self determination) atau mememiliki
kebebasan dalam memilih
(freedom of choice). “Sadar akan
diri” dan memiliki kemampuan determinasi diri merupakan dua karakteristik
fundamental dari pribadi manusia (bdk.
TOB 6: 1; 24 Oktober 1979). [4] Dalam penemuan akan dirinya sendiri
sebagai seorang pribadi, yang bebas dan sadar akan dirinya sendiri, manusia
menemukan di dalam dirinya keserupaan pertama dengan Allah.
Ketiga,
manusia menemukan dirinya bahwa menjadi “pribadi yang unik” tidaklah cukup. Manusia (۱ādām) mengalami bahwa
ada yang kurang. Ada defisiensi yang sangat berat, yakni dia sendiri. Tidak ada makhluk hidup lain yang dapat membangun sebuah
relasi resiprositas atau relasi timbal balik dengan dirinya. Dalam kesendirian dia tidak merasa
bahagia.
Keempat,
pengalaman kesadaran akan kesendirian dengan demikian menyatakan sebuah
keterbukaan dan kerinduan akan manusia lain. Manusia pertama menyadari bahwa
tubuhnya membutuhkan tubuh lain atau lebih tepatnya tubuh lain yang
mencerminkan sebuah pribadi. Walaupun
makhluk lain memiliki tubuh, tetapi berbeda dengan tubuh manusia. Inilah yang
disadari oleh manusia pertama. Dia menemukan bahwa dirinya mengalami kesendirian asali. Dalam
realitas ini dia mengetahui dan mengalami suka cita pertamanya (real joy) ketika dia telah menemukan
perempuan yang membuatnya mengerti bahwa kedalaman yang paling dalam dari
eksistensinya yakni dia diciptakan untuk ada bersama dengan yang lain dalam
cinta dan persekutuan pribadi (communion
of persons).
[1]Kej 2: 18
[2]John Paul II, Man
and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 150.
[3]Bdk. Anthony Percy, The
Theology of The Body Made Simple. Discover John
Paul II’s Radical Teaching on Sex, Love, and the Meaning of Life (Philippines,
Paulines Publishing House, 2006), hlm. 19.
[4]John Paul II, Man
and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 150.
Komentar
Posting Komentar