Kita
menyaksikan begitu banyak pasangan keluarga yang hidup bersama tanpa ikatan
nikah secara resmi di Gereja yang sering disebut cohabiting couples atau de
facto couples. Dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya kumpul-kebo. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
kumpul kebo adalah sebuah eksperimen untuk menguji kecocokan dalam relasi
mereka. Kalau dianggap cocok maka hubungan tersebut dilanjutkan, dan
sebaliknya. Mereka yang memilih cara hidup bersama suami-istri seperti itu juga
didasarkan pada aneka penyebab lainnya. Misalnya karena kohabitasi tidak
menuntut tanggung jawab penuh dan total seperti dalam perkawinan (dalam hal
keuangan, pendidikan anak dan sebagainya). Di samping itu, pilihan untuk kumpul
kebo didasarkan atas tidak adanya tuntutan kesetiaan dalam hubungan seks
seperti dalam perkawinan. Tak dapat dipungkiri bahwa kohabitasi atau kumpul
kebo dalam cara pandang seperti ini ternyata merupakan eksperimen yang gagal.
Mereka yang kumpul kebo ternyata tidak lebih bahagia. Bahkan mereka cenderung
lebih menderita dari pada mereka yang menikah karena hubungan tidak didasarkan pada sebuah totalitas dalam cinta.
Fakta
menunjukkan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan dari ikatan hidup bersama
laki-laki dan perempuan dalam bingkai kumpul kebo begitu besar. Dalam studinya
Anne-Marie Ambert mengungkapkan beberapa dampak negatif dari pre-marriage cohabition terhadap
perkawinan yang menyusul atau sesudahnya. Di antaranya: (1) kerapuhan dan
ketidakstabilan dalam relasi suami-istri; kurangnya komitmen atau upaya
bersama; kurangnya pengorbanan timbal balik untuk kesejahteraan pasangan dan
keluarga; relasi seks yang tidak eksklusif dan setia, (2) problem solving yang kurang positif; kurang saling mendukung;
ketika menemukan masalah perceraian adalah cara yang lebih dipilih, (3)
suami-istri yang menikah dan telah melakukan kohabitasi biasanya kurang
religius.[1]
[1]Terkutip dalam
Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan
dalam Hukum Kanonik Gereja Katolik, hlm. 39-40.
Komentar
Posting Komentar