Langsung ke konten utama

Revolusi Seks (The Sexual Revolution)




Revolusi seks atau the sexual revolution (juga disebut era "sexual liberation")  adalah gerakan sosial yang mengubah tatanan tradisional yang berkaitan dengan tingkah laku seksualitas pada manusia. Revolusi seks secara menonjol terjadi  dalam masyarakat Barat (Western World) sejak tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an. Revolusi seks mempengaruhi masyarakat, secara khusus penolakan terhadap relasi monogami dalam hubungan suami-istri. Dengan adanya revolusi seks, semakin banyak orang menerima kontrasepsi. Di samping itu, hubungan di antara para homoseks dianggap hal yang wajar.  Bahkan semakin banyak orang  mendukung adanya legalisasi terhadap tindakan aborsi.
             Faktor-faktor yang turut memicu perkembangan revolusi seks adalah  kemajuan dalam alat-alat komunikasi dan  perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan serta teknologi. Adanya kemajuan dalam bidang teknologi  yang terwujud dalam adanya penyediaan alat-alat kontrasepsi mempengaruhi semakin banyak  perempuan memakai alat-alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.  Salah satu bentuk dukungan terhadap gerakan ini adalah adanya penemuan pil pengontrol kelahiran (birth control pill) pada tahun 1960-an.[1]
             Margaret Sanger adalah penggagas lahirnya penemuan pil anti hamil. Latar belakang Sanger menggagas penemuan pil ternyata bertitik tolak dari pengalaman kematian ibunya yang meninggal pada umur 50 tahun setelah 18  kali mengandung/ hamil. Sanger berpendapat bahwa ayahnyalah yang menjadi penyebab kematian ibunya itu. Oleh karena itu di depan peti mayat ibunya dia marah kepada ayahnya,  katanya,”Kaulah penyebab kematian ibu.  Ibu meninggal karena terlalu banyak memiliki anak.”[2]
             Atas dasar alasan di atas Margaret Sanger bersama dengan beberapa temannya yakni Katharine Dexter McCormick, Gregory Pincus dan Rock mencari jalan keluar untuk menemukan pil anti hamil. Berbagai percobaan dilakukan, sampai akhirnya pada tahun 1957 mereka, secara khusus Pincus dan Rock  menemukan pil yang sangat efektif mencegah terjadinya ovulasi pada perempuan. Pada tahun 1959 “the pharmaceutical firm G.D Searle & Co” merekomendasikan kepada FDA untuk menyetujui pil  itu, yang akan dipasarkan dalam bentuk Enovid. Tepatnya pada tanggal 9 Mei 1960, FDA menyetujui pemasaran pil tersebut. [3]
Sanger sebagai penggagas penemuan pil tersebut tentunya mendorong para perempuan untuk mendukung gerakan revolusi seks, terutama dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi, termasuk pil. Baginya para perempuan tidak bisa menyebut diri mereka bebas jika mereka tidak benar-benar mampu mengontrol tubuh mereka. Baginya hubungan seks perlu bebas dari ketakutan adanya kehamilan. Oleh karena itu, hubungan seks dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi mutlak perlu. Tampak bahwa Sanger memiliki pandangan yang dangkal dan sempit mengenai seks pada manusia. Dia menempatkan seks semata-mata dalam hal kenikmatan bagi “users” atau “consumers.[4] Sanger mengaplikasikan kemajuan teknologi untuk mencapai kebahagiaan semu dan merusak moralitas manusia.
Kebebasan dalam cara pandang Sanger ditempatkan dalam konteks yang keliru. Bagi YP II, perlulah melihat kebebasan dalam terang cinta. Dalam bukunya yang berjudul Love and Responsibilty, YP II menulis,
Cinta terdiri atas komitmen yang membatasi kebebasan seseorang-cinta adalah pemberian diri, dan memberikan diri berarti membatasi kebebasan seseorang demi orang lain. Pembatasan kebebasan mungkin saja dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan, tetapi cintalah yang membuatnya menjadi positif, mengembirakan, dan berdaya cipta. Kebebasan ada untuk cinta [….] Manusia lebih memilih untuk dicintai ketimbang menjadi bebas. Kebebasan adalah sarana dan cinta adalah tujuannya. [5]
Faktor lain yang mendukung  gerakan revolusi seks adalah keyakinan bahwa dengan memakai alat-alat kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan membuat para perempuan  bisa bekerja di luar rumah dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan hamil dan yang baru melahirkan anak akan sangat sulit bekerja di luar rumah. Dengan demikian, untuk mencegah adanya kehamilan dan kelahiran anak yang dapat  “menghambat” para perempuan bekerja di luar rumah, maka alat-alat kontrasepsi adalah pilihan. Dengan bekerja di luar rumah para perempuan tidak memiliki  ketergantungan finansial pada laki-laki (financial independence). Salah seorang yang mencetus pandangan ini adalah feminist Simone de Beauvoir yang menyatakan bahwa “economic equality” memainkan peranan yang amat  penting bagi relasi yang positif antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu perkembangan dalam revolusi seks dipicu juga oleh tulisan-tulisan Wilhem Reich. Dia adalah murid Freud yang melihat dirinya sebagai penggagas (forefront) revolusi seks. Dalam karyanya yang berjudul Die sexuelle Revolution yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1936,  dia berkeyakinan bahwa adanya kepuasan atau kesenangan seksual akan menuntun manusia mencapai kesehatan dan kebahagiaan. Bahkan kepuasan seks (sexual pleasure) bisa mencegah adanya kelaparan dan perang. Dia juga bekeyakinan bahwa inti kehidupan manusia terletak dalam kebahagiaan yang bisa dicapai karena hubungan seks (sexual happiness). Dia menulis, ”inti kebahagiaan hidup manusia terletak pada kebahagiaan seksual.” [6]
             Yohanes Paulus  II (YP II) tentu berada dalam posisi yang berseberangan dengan pemikiran-pemikiran di atas. Dia melihat kemajuan dalam arti yang sebenarnya. Kemajuan sejati bagi YP II terletak pada kemajuan manusia (bdk. TOB 133: 3), sementara kemajuan menurut kaca mata gerakan revolusi seks ditempatkan dalam konteks dominasi atas alam oleh kekuatan manusia (the domination over nature by human power). Padahal hal itu secara jelas berdampak pada manipulasi atas tubuh manusia.
             YP II membela keluhuran tubuh manusia. Baginya,  tubuh tidak terlepas dari pribadi manusia. Tubuh adalah ekspresi pribadi manusia. Sesuai eksistensinya manusia selalu berada dalam relasi memberi karena cinta. Pemberian diri atas dasar cinta tampak jelas dalam relasi atau hubungan suami-istri. Dengan begitu, tampak jelas bahwa perhatian utama YP II dalam TOB-nya adalah membantu mengatasi dualisme antara tubuh dan jiwa.


[1]Bdk. “Sexual Revolution” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Sexual_revolution, diunduh pada tanggal 3 November 2011
[2]You caused this. Mother is dead from having too many children.” Terkutip dalam Nancy Gibbs, “Love, Sex, Freedom and the Paradox  of the Pill” dalam Time 3 May, 2010, hlm. 34.
[3]Bisa dalami lagi dengan membaca tulisan Nancy Gibbs, “Love, Sex, Freedom and the Paradox  of the Pill” dalam Time 3 May, 2010, hlm. 32-39; Tersedia juga dalam Amozon’s Kindle Store (www.amazone.com/kindlestore) atau dalam www.time.com/pillonkindle.
[4]Bdk. Michael Waldstein dalam kata pengantarnya atas buku John Paul II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 1-2.
[5]“Love consists of a commitment which limit one’s freedom-it is a giving of the self, and to give oneself means just that: to limit’s one’s freedom on behalf of other. Limitation of one’s freedom might seem to be something negative and unpleasant, but love makes it a positive, joyful and creative thing. Freedom exists for the sake of love […] Man longs for love more than for freedom-freedom is the means and love the end.” Terkutip dalam: Ibid., hlm. 41
[6]The core of life’s happiness is sexual happiness.” Terkutip dalam: Ibid., hlm. 1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug