Langsung ke konten utama

SPIRITUALITAS IMAMAT YANG DIHARAPKAN (MENYIKAPI GODAAN-GODAAN AKAN HARTA, TAHTA, DAN WANITA)


Pendahuluan

Dalam kenyataan tak dapat dipungkiri bahwa seorang imam dalam benak umat Kristiani adalah tokoh penting, pewarta suara Tuhan dan pemimpin umat. Umat melihat seorang imam sebagai  sosok yang mengetahui banyak hal teristimewa pengetahuan tentang Kitab Suci dan Teologi. Imam juga adalah sosok  yang dihormati.[1]  Yang lebih dalam lagi, pastor atau gembala adalah alter christus, man of God dan pakar rohani dalam pikiran umat.
Menjadi imam adalah sebuah panggilan dari Allah sendiri. Mereka yang menerima sakramen tahbisan menerima rahmat Roh Kudus yang membuat dirinya serupa dengan Kristus, menjadi alat Kristus dalam melayani Gereja-Nya. Dengan sakramen tahbisan yang didapatkan seorang tertahbis mendapat kuasa agar bertindak sebagai wakil Kristus, Kepala, dalam ketiga fungsi-Nya sebagai Imam, Nabi, dan Raja. (KGK, no. 1581). Sakramen Tahbisan memberi tanda rohani yang tidak terhapus dan tidak dapat diulangi  atau dikembalikan. (KGK,no. 1582)
Kristus sendiri yang mendatangkan keselamatan kepada umat manusia dengan pelayanan seorang tertahbis. Ketidaklayakan seorang tertahbis tidak dapat menghalangi-halangi Kristus untuk  bertindak. St. Agustinus berkata:”Pejabat yang angkuh harus digolongkan dengan setan. Anugerah Kristus tidak dinodai karena itu...” (KGK, no. 1584). Mereka yang menerima sakreman Tahbisan juga mendapat karunia Roh Kudus, di mana dirinya menyerupai Kristus, Imam, Guru, dan Gembala, yang harus dia layani. (KGK, no. 1585). Tampak bahwa pelayanan sebagai kaum tertahbis berdasarkan panggilan Allah untuk merasul atau melayani. Orang-orang yang tertahbis adalah wakil Kristus dan bertindak atas nama-Nya. Dalam arti menjadi sarana yang menunjuk kepada Kristus. Demikianlah imamat dalam Gereja Katolik. Soal bagaimana realitas kehidupan imam saat ini serta bagaimana spiritualitas imamat yang diharapkan akan saya bahas dalam poin-poin berikut ini.


A.    Realitas Kehidupan Imam Dewasa Ini
Harus diakui bahwa kehidupan seorang imam di zaman ini selalu penuh tantangan dan godaan dalam berbagai dimensi kehidupan. Berbagai godaan menghiasi setiap jalan seorang imam bagaikan berjalan menemui kerikil-kerikil tajam. Pelayanan sabda, sakramen, dan cinta kasih seorang imam tidak  berjalan sebagaimana mestinya karena godaan-godaan itu.  Tiga hal yang selalu menggoda manusia pada umumnya adalah keinginan untuk memiliki  kuasa (tahta),   banyak materi (harta), dan khususnya bagi kaum laki-laki kurang puas jika tidak menghamburkan hartanya untuk keinginan mata termasuk jatuh ke dalam pelukan “wanita” yang bukan istri atau pasangannya yang sah. Hal ini juga menggoda para imam.
            Berkaitan dengan belenggu harta tak dapat dipungkiri bahwa insting homo economicus juga menghantui para imam. Ada imam yang hidup dalam kelimpahan harta. Setiap hari menggunakan mobil mewah, makan di restoran elit, dan lain-lain. Kelekatan akan hal-hal materi tersebut membuat si imam sulit sekali dipindahkan. Dengan demikian tidak hidup dalam semangat injili kemiskinan dan ketaatan. Seorang imam projo atau religius yang tidak taat kepada atasan (provinsial atau uskup) memperlihatkan ketidaktaatan fundamental kepada Allah. Seorang imam yang menggenggam erat harta duniawi tidak menghayati cinta kasih kepada Allah dan sesama secara leluasa. Seharusnya Allah dicintai melampai segala macam barang dan kekayaan  serta nilai-nilai yang bersifat sementara di dunia ini. Jika masih tetap melekatkan diri pada harta duniawi maka si imam yang bersangkutan tidak mampu memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah yang mengatasi dunia ini.[2] Dengan keinginan yang besar akan harta duniawi tak jarang kita mendengar ada imam yang sangat selektif dalam pelayanan sakramen. Kalau yang datang meminta pelayanan sakramen tertentu dari kaum the have, si imam  dengan cepat menanggapi permintaan karena toh dalam pikiran si imam “pasti stipendiumnya besar.” Sebaliknya kalau yang datang adalah kaum the have not, maka si imam sangat sulit untuk menjalankan pelayanan sakramen tertentu, padahal umat sangat membutuhkan pelayanan si imam.
            Berkaitan dengan kuasa, tak jarang kita mendengar proses pemilihan uskup yang berlarut-larut karena baik imam projo maupun imam religius tidak rendah hati. Ada berbagai alasan yang dikemukakan. Misalnya imam projo merasa bahwa wilayah keuskupan adalah wilayah mereka dan oleh karena itu sangatlah pantas jika uskup dari imam projo yang memimpin tahta keuskupan. Imam religius di pihak lain merasa lebih berjasa terhadap keuskupan karena telah lama mengabdi. Tidak hanya posisi menjadi uskup, jabatan-jabatan lain lain juga diperebutkan. Argumen-argumen yang dilontarkan kelihatan masuk akal karena memang para imam adalah mereka yang terpelajar dan yang mampu mengungkapkan gagasan secara sistematis dan logis.
Imamat yang dihidupi dalam semangat menjunjung tinggi tahta tak jarang membuat si imam juga kerap kali marah-marah kepada umat. Di sakrisiti si imam marah-marah kepada para misdinar. Ketika khotbah si imam menyindir umat dan mengakhirinya dengan marah. Sebelum berkat penutup si imam juga masih sempat memarahi anggota koor yang dianggap tidak ada persiapan. Si imam dengan kekuasaannya tidak membuat umat merasa lebih tentram  datang ke Gereja. Yang ada adalah keresahan, sehingga umat melihat imam itu tidak profesional.
Dalam banyak keuskupan terlihat dengan jelas adanya imam-imam yang sulit diatur oleh atasannya. Ada imam yang tidak mau dipindahkan  dari paroki tempatnya bekerja. Dengan demikian tampak ada imam yang membangun statusnya setinggi mungkin tanpa tergoyahkan dan tanpa tandingan.
            Tak jarang kita mendengar juga bahwa banyak imam jatuh dalam pelukan biasa sampai pelukan mesra bahkan nafsu dengan wanita. Ada juga yang terlibat dalam ciuman biasa dan ciuman nafsu, bahkan sampai pada level  bersenggama. Mereka yang terlibat di dalamnya ada yang segera meninggalkan imamatnya dan ada juga tetap tinggal nyaman di dalam biara. Imam yang terlibat dalam skandal-skandal seks dengan lawan jenis tentu tidak menjadi tanda yang jelas dari dunia yang akan datang, kerajaan Allah yang eskatologis. Kerajaan Allah melampui dunia dan zaman sekarang ini serta semua nilai yang ada di dalamnya, termasuk nilai-nilai yang tertinggi yang terdapat dalam perkawinan Kristiani.
            Kelekatan kepada harta, keinginan untuk mendapatkan tahta dan wanita adalah bukti bahwa para imam tidak menghayatai nasihat-nasihat injili. Setiap imam sejatinya mengikuti jalan Yesus yang tidak mengejar keinginan-keinginan akan harta, tahta, dan wanita (bdk. LG 44).[3]
             
B.     Akar Masalah
Pertanyaan penting pada bagian ini adalah: mengapa para imam jatuh dalam keterikatan akan harta, tahta dan wanita? Pertanyaan ini dijadikan acuan untuk mengerti secara lebih mendalam alasan di  balik jatuhnya para imam dalam hal-hal duniawi tersebut.
Berkaitan dengan harta pada umumnya dilatarbelakangi oleh:
§  pola konsumsi yang berlebihan: ada imam yang berasionalisasi “sudah tidak kawin janganlah menyusahkan diri”. Agar bisa menikmati panggilannya, ada imam yang begitu konsumtif  baik dari segi makan minum, pakaian, atau pun gadget terbaru. Tidak heran si imam akan cenderung dekat dengan kaum the have.
§  keinginan untuk membantu keluarga: ada imam yang merasa menjadi tulang punggung bagi keluarga besar, sehingga anak-anak dari saudara-saudaranya disekolahkan, rumah-rumah sanak keluarga dibangun, dll.
§  keinginan untuk menumpuk harta: membeli barang karena daya tarik dari suatu barang, bukan ditinjau dari efisiensi dan efektivitas pengadaan barang. Tidak heran ada imam yang di kamarnya penuh dengan barang-barang berharga.
§  langkah antisipatif apabila terpaksa keluar dari jalan imamat: hal ini sangat jelas menandakan bahwa si imam yang besangkutan tidak memiliki motivasi yang mendalam. Dalam diri si imam masih ada bayang-bayang pengandaian-pengandaian, kecemasan-kecemasan akan masa depan sehingga tak jarang entah disadari atau pun tak disadari si imam menyimpan uang atau barang-barang berharga demi langkah antisipatif agar kelak kalau tidak menjadi imam lagi dia masih bisa hidup secara layak sebagai seorang awam.
§  Demi harta si imam menyimpan banyak uang. Uang dengan demikian dilihat sebagai simbol kebesaran sekaligus tanda kekuasaan, bahkan tanda pemenuh segala harga diri. Uang lantas dilihat dalam perspektif yang salah oleh si imam.
Adanya perebutan kekuasaan dalam Gereja tidak lain dipengaruhi juga oleh masalah:
§  gengsi dan harga diri pribadi: Godaan terbesar dengan adanya ilmu yang diperoleh selama masa pendidikan membuat  para imam tertentu jatuh dalam  keinginan untuk diakui sebagai seorang ahli atau sebagai pusat rujukan dibandingkan sebagai pelayan kebenaran (a servant of truth).[4] Talenta-talenta yang ada dalam diri si imam tidak digunakan untuk pelayanan secara tulus, namun lebih demi kemuliaan diri (keinginan  untuk menjadi terkenal). Si imam seakan menjadi sebuah ‘menara Babel’ berjalan.
§  gengsi tarekat
§  Ada umat yang masih memposisikan imam di atas segalanya. Imam yang haus kekuasaan memanfaatkan keadaan ini sebaik-baiknya untuk pemenuhan ambisinya dan statusnya. Akibatnya pola pelayanan pastoral sangat bercorak pastor-centris. Dengan demikian di paroki hanya ada penguasa tunggal. Si imam yang haus kuasa akan merasa diri sebagai manusia super, menjadi ‘idol’ di parokinya, dan bahkan tidak mau diganggu oleh intervensi atasan (uskup atau pater provinsial).
§  motivasi untuk menjadi imam tidak mendalam.

Adanya para imam yang jatuh dalam penghayatan hidup selibat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: [5]
§  faktor psikologis (intern). Kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Orang yang mampu mengontrol aspek afeksi besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Masa lalu sangat mempengaruhi kematangan afeksi. Seorang imam yang masa lalunya tidak bahagia, cenderung mencari sublimasi ketenangannya melalui tindakan seksual. Jika seorang imam sudah mulai jatuh dan mulai menjalankan tindakan seksual berupa hubungan seks, si imam yang bersangkutan akan akan sulit menghentikan perbuatannya itu. Semakin didapat, maka akan semakin dicari dan semakin dicicipi akan semakin didambakan.  
§  faktor globalisasi. Ada kecenderunga pada zaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila hal itu menyenangkan, membahagiakan, bersifat gebyar, hedonis, materialis, tidak menuntut askese, maupun matiraga, memiliki banyak uang, penyaluran seks secara bebas, dll.  Nilai dalam tataran spiritual dianggap sudah tidak relevan lagi. Semangat demikian juga merasuki para imam. Banyak imam yang tidak setia pada janji selibatnya karena dipengaruhi oleh faktor destruktif globalisasi tersebut. Alexandr I. Solzhenitsyn dalam tulisannya yang berjudul Ethics and Politics on the eve of twenty-first century merefleksikan bahwa salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dalam era kemajuan teknologi seperti sekarang ini adalah kemandegan dalam perkembangan spiritual manusia. Kemajuan-kemajuan yang ada dalam bidang teknologi tidak serta merta membawa kebahagiaan kepada manusia. Pengejaran pada harta dan kekayaan membuat manusia lupa untuk memberi nutrisi pada aspek spiritual hidupnya.[6] Nyatanya, kemenangan peradaban teknologi (technological civilization) secara berangsur-angsur membawa dampak pada ketidaktenangan spiritual di dalam diri manusia. Dengan kata lain, semakin memperbudak manusia yang menciptakannya.
§  faktor pemahaman teologi. Pemahaman yang dangkal mengenai hidup selibat mempengaruhi seorang imam bertindak di luar harapan Gereja dan kehendak Allah.  Dia tidak memahami konsekuensi dan akibatnya seperti yang tertulis dalam KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88.  Lebih lanjut bisa berakibat pada pemahaman yang keliru bahwa pelayanan adalah bagian dari kompensasi untuk mengusir rasa kesepian dalam diri. Konsekensinya adalah si imam yang bersangkutan bisa mengalami kekeringan dan kesepian lebih besar lagi karena tidak menemukan cinta dalam selibat bakti. [7]
§  faktor hidup rohani. Relasi yang erat mesra atau intim dengan Tuhan adalah hal penting bagi seorang imam.  Hal ini mengandaikan adanya sikap pasrah dan rendah hati sang imam untuk menimba kekuatan dari Sang Gembala Agungnya. Imam yang tidak setia pada janji selibatnya karena dia tidak menjadikan Kristus sebagai pusat segala hidup dan jalannya. Tidak heran Kecantikan atau pesona lawan jenis yang indah ditatap berpengaruh dalam membuat imam untuk tidak setia pada selibatnya jika hidup rohaninya dangkal.
§  Di samping itu seorang imam yang gagal dalam selibat yang dibaktikan dipengaruhi oleh ketidakmampuan membedakan antara relasi yang  mendalam, persahabatan, dan relasi yang romantis yang mengarah para persetubuhan. Dalam hal ini si imam yang bersangkutan mencampuradukkan antara persahabatan yang mendalam, romantisme dan seksualisme. Seorang selibater semestinya sampai pada tahan cinta radikal dan universal seperti yang diteladankan oleh Yesus sendiri.[8] Hal ini juga disebabkan oleh dangkalnya motivasi untuk menjadi seorang imam.
Dari ulasan di atas tampak sekali bahwa benang merah akar dari segala kelekatan akan harta, tahta, dan wanita tidak lain adalah keinginan untuk memonopoli segalanya dan ketakutan akan kekurangan sesuatu. Tidak heran energi diri  dan seluruh eksistensi si imam yang jatuh dalam godaan-godaan tersebut lebih tearah pada apa yang diingini tersebut. Tepatlah kata-kata pepatah Latin ini:” Radix enim omnium malorum est cupiditas!” (keinginan adalah akan dari segala kejahatan). Tentu imam yang jatuh dalam hal-hal di atas juga jatuh dalam tujuh dosa pokok: kesombongan, kerakusan, hawa nafsu, ketamakan, iri hati, dan kemarahan.

C.    Spiritualitas yang  Diharapkan

§       Imam yang Suci
            Paus Yohanes Paulus II pernah berkata: “Saat ini, dunia membutuhkan imam, membutuhkan banyak imam, tapi lebih dari semuanya itu, membutuhkan imam yang suci.” [9] Imam yang suci mendapat penekanan lebih besar karena memang di situlah letak kekhasan seorang imam. Imam perlu senantiasa mengarahkan dirinya kepada kekudusan agar ia pun juga dapat membawa umat Allah menuju kekudusan. Kekudusan itu berarti mencintai Tuhan di atas segalanya dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan (Mat. 22:37). Tugas pengudusan seorang imam menuntutnya untuk hidup dalam terang sumber kekudusan, yakni Tuhan sendiri. Perlu disadari  bahwa imam bukanlah sumber kekudusan itu sendiri, tetapi “alat” untuk mempersiapkan umat menerima kehadiran Tuhan dalam sabda dan sakramen. Tidak dengan sendirinya rahmat imamat menguduskan imam itu sendiri.
            Panggilan menuju kekudusan adalah sebuah panggilan universal (universal call to holiness), termasuk kepada para imam.  Tentu untuk mencapai kekudusan, perlulah hidup sesuai rencana Allah sendiri, yakni menjalankan hidup sebagai citra Allah. Dalam konteks sebagai citra Allah,  maka panggilan untuk menjadi sempurna (kudus) tersebut  perlu diwujudkan dalam  kesempurnaan cinta (the perfection of love). Kekudusan diartikan sebagai cinta kasih sempurna, sehingga para anggota lembaga hidup bakti sudah sewajarnya diharapkan menjadi pelayan cinta kasih yang membaktikan diri bagi Allah dan sesama.[10] Dengan kata lain, meminjam istilah dari pendiri tarekat SMM, St. Maria de Montfort, para imam hendaknya menjadi hamba cinta. Sebagai hamba cinta berarti para imam diharapkan agar selalu siap memberikan tenaga, pikiran, waktu, dan emosi kita demi melayani Tuhan Yesus Kristus.
            Dengan melayani penuh kasih/ sebagai hamba kasih si imam mampu memberikan kesaksian hidup di tengah-tengah umat dan masyarakat. Kesaksian hidup itu sangat mendukung efektivitas pelayanan pastoral. [11] Kesaksian hidup si imam menjadi tumpul kalau sudah dikuasai oleh sekelompok umat tertentu. Dengan pelayanan kasih yang menjangkau semua lapisan umat, si imam tidak lagi mencari aman pada kelompok the have tetapi juga menjangkau juga kelompok-kelompok yang termajinalkan dalam masyarakat dan dalam Gereja (option for the poor). Hal ini akan mendorong si imam untuk menghayati kemiskinan seara sukarela demi pengabdian suci (PO no. 17). Pelayanan mereka tidak lagi disilaukan oleh apa yang akan didapat dari  umat, tetapi yang terutama adalah semakin mampu menggunakan uang atau harta yang dimiliki demi pelayanan  Gereja atau orang miskin (bdk. KHK kan. 282; PO no. 17). [12]
          Menurut Konsili Vatikan II, panggilan hidup religius ialah panggilan untuk mencapai caritas perfecta, kasih sempurna. Para anggota lembaga hidup bakti, termasuk di dalamnya para imam diharapkan untuk terus menerus mengusahakan cinta kasih sempurna. Dalam kerangka membaktikan diri bagi Allah dan sesama secara total, maka para anggota hidup bakti  hidup dalam semangat selibat. Mereka tidak kawin. Namun demikian  bukan berarti mereka menolak dan membunuh sama sekali gairah seksual. Hanya saja mereka tidak mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual, seperti halnya suami istri yang sudah menikah. Para anggota hidup bakti tidak melakukan hubungan seksual demi pelayanan kepada umat seumur hidupnya, juga bisa menjadi fenomena yang alami/natural. Namun demikian, Gereja yakin dan percaya bahwa hidup mereka  merupakan cara hidup yang ideal bagi manusia di dunia ini. Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan:
Dalam keperawanan dan selibat, kesucian mempertahankan makna aslinya, yaitu, seksualitas manusia hidup sebagai tanda asli dan pelayanan berharga yang merupakan ungkapan cinta dan persembahan diri kepada orang lain”. [13]

Dapat dimengerti secara sederhana bahwa hidup selibat bertujuan agar bisa melayani sesama secara produktif dalam semangat cinta dan persembahan diri kepada orang lain. Hidup selibat hendaknya dilakukan karena rasa cinta dan penyerahan diri yang total kepada Tuhan semata. [14] Hidup selibat juga perlu didorong oleh semangat spiritual. Dengan motivasi spiritual ini, maka seseorang dapat melayani tanpa harus merasa kecewa kalau ternyata gagal, ataupun tanpa harus berbangga diri andaikata dia berhasil dalam tugas perutusannya. Dengan demikian fokus pelayanan bukan untuk tujuan kemulian diri (self-glorification), melainkan semuanya demi kemulian Tuhan (Ad Maioren Dei Gloriam).
Semangat spiritual seorang imam muncul melalui relasi yang mendalam dengan Tuhan. Doa-doa pribadi, meditasi dan kontemplasi adalah jalan menuju kekudusan.  Doa adalah sumber kekuatan bagi seorang imam. Allah adalah tempatnya bersandar. Dia bergantung sepenuhnya terhadap Allah. Dia sadar bahwa pelayanan kepada Allah akan sia-sia jika tanpa doa. Dia menempatkan doa sebagai puncak tertinggi (the highest pinnacle) dari semua latihan rohaninya. Para imam bisa menimba inspirasi semangat doa dari St. Fransiskus Asissi. St. Bonaventura memberikan kesaksian tentang hidup doa St. Fransiskus Asissi:
Prayer was his sure refuge in everything he did; he never relied on his own efforts, but put his trust in God’s loving providence and cast the burden of his cares on him in insistent prayer. He was convinced that the grace of prayer was something a religious should long for above all else. No one, he declared, could make progress in God’s service without it.”[15]

§       Imam memiliki Pribadi yang holistik
Pada tanggal 4 Oktober 2013, dalam sebuah kesempatan rekoleksi Jumat pertama untuk para frater skolastik MSC di Skolastikat MSC Pineleng Pastor Albertus Sujoko, MSC menguraikan poin-poin mengenai harapan-harapan umat tentang imamnya. Beberapa poin yang sempat saya catat sesuai dengan ulasan Pastor Sujoko, antara lain: imam itu adalah orang yang baik, tidak ingat diri, rela melayani, spiritual man, spiritual servant, bijaksana, berwawasan luas, doanya didengarkan Tuhan, credible, tempat minta nasihat, tempat minta uang, ramah-proaktif dalam menyapa, orang yang harus bergembira, penuh iman, orang yang tabah-bertahan dalam penderitaan, orang yang berani/rela, mampu mengontrol dorongan seksual, matang secara psikologis, dan orang yang setia pada komitmen atua janji.
Dari uraian di atas sangat tampak bahwa umat sangat mengharapkan agar para imamnya memiliki kualitas dalam banyak dimensi. Oleh karena itu perlulah kualitas-kualitas hidup yang sejatinya perlu dimiliki oleh seorang imam.  Santo Gregorius dari Nasiansa mengatakan sebagai imam muda:
Pertama-pertama orang sendiri harus murni, baru sesudah itu memurnikan; pertama-tama orang harus belajar kebijksanaan, baru mengajarkannya; pertama-tama menjadi terang, baru menerangkan; pertama-tama pergi kepada Allah, baru mengantar kepada-Nya; pertama-tama menguduskan diri, baru menguduskan orang lain, membimbing mereka dan memberi nasihat secara bijaksana.” [16]
Lewat pernyataan Santo Gregorius dari Nasiansa di atas dapat disimpulkan bahwa seorang imam perlulah memiliki kualitas dalam dimensi kepribadian, kerohanian, intelektual, hidup pastoral, afeksi dan emosional yang baik. Dengan kualitas-kualitas tersebut pada akhirnya pelayanan cinta kasih bisa diaplikasikan dengan baik seturut teladan Yesus sendiri.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kadang dengan penguasaan ilmu pengetahuan membuat si imam jatuh dalam godaan agar diakui dan dijadikan sumber rujukan. Seharusnya dimensi intelektual yang baik tidak dimaksudkan agar seorang imam mencari popularitas bagi dirinya. Para imam perlu belajar dari semangat St. Fransiskus Asissi. Misalnya mengenai pembelajaran terhadap Kitab Suci menurut St. Fransiskus Assisi para pelajar (the scholar of Scripture) hendaklah bukan pertama-tama mempelajari Kitab Suci demi pengetahuan semata, melainkan berusaha menghidupi nilai-nilai yang dikatakan dalam Kitab Suci. Kitab Suci yang adalah Sabda Allah sendiri yang tidak hanya dipelajari tetapi juga dijadikan bahan doa dan menjadi bahan permenungan untuk penyerahan diri. Oleh karena itu setiap Sabda Allah  perlu diterima dalam semangat kerendahan hati. Kata-kata Yesus dalam Injil perlu ditaati. St. Fransiskus menulis:” seseorang mati oleh huruf-huruf dalam Kitab Suci sendiri ketika dia ingin mengetahui kutipan-kutipan hanya agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang terpelajar dan dengannya dia dapat mencari uang  bagi keluarga dan sahabatnya. Seorang religius telah mati oleh huruf-huruf dalam Kitab Suci sendiri ketika dia tidak memiliki keinginan untuk mengikuti semangat dari Kitab Suci, tetapi hanya ingin mengetahui apa yang dikatakan dalam Kitab Suci agar bisa disampaikan kepada orang lain.” [17]
Pernyataan di atas disampaikan oleh St. Fransiskus Assisi kepada para sahabtnya. Baginya orang yang dihidupkan oleh roh Kitab Suci ialah mereka yang tidak menganggap setiap huruf yang mereka  ketahui atau ingin mereka ketahui sebagai miliknya sendiri, tetapi mengembalikannya kepada Tuhan Allah yang maha tinggi,  pemilik segala yang baik. [18]

§          Imam yang Mencontohi Yesus Kristus
Ketika membaca kembali poin-poin di atas saya teringat akan sebuah pernyataan inspiratif dari Richard M. Gula. Dia menulis:
Yesus adalah norma terakhir  bagi pemaknaan menjadi seorang pribadi dan hidup secara responsif dengan penuh terhadap Allah. Menerima Yesus sebagai model yang seharusnya kita hidupi dan yang seharusnya kita lakukan adalah memasuki jalan kemuridan.” [19]
Beberapa poin penting sehubungan dengan cara hidup Yesus yang bisa dijadikan norma bagi para imam dalam menghayati panggilanya antara lain:

a.               Hidup Selibat
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ada sebuah teks yang bisa memberikan titik terang kepada kita tentang Yesus yang tidak kawin yaitu, Mat. 19:12. “Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunya sendiri oleh karena kerajaan sorga”. Memang teks ini tidak secara langsung mengatakan tentang diri Yesus yang tidak menikah. Tetap dari pernyataan ini hal penting yang mau diangkat oleh Yesus adalah bahwa ada orang-orang yang tidak menikah atau hidup selibat, bukan karena paksaan orang lain tetap suatu kehendak bebas demi kerajaan Allah.
Tidak menikah demi kerajaan adalah sebuah bukti pengorbanan diri.  Yesus wujudkan ini dalam hidup-Nya. Romo Francis J Peffley menulis:
“Selibat bukanlah sesuatu yang tidak wajar, melainkan sesuatu yang adikodrati. Selibat adalah karunia khusus dari Tuhan. Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Sebagai manusia, Ia hidup sepenuhnya sebagai seorang manusia, dengan memilih hidup selibat. Selibat adalah mengorbankan keindahan hidup perkawinan demi Kerajaan Allah. Selibat bukan untuk orang yang tidak tertarik kepada lawan jenisnya. Tetapi, untuk mereka yang memang tertarik oleh lawan jenisnya. Jika mereka memang tidak tertarik, tidak akan ada pengorbanan untuk tidak menikmati hidup perkawinan. Selibat tidak menarik bagi dunia sekarang ini, karena selibat merupakan pengorbanan, dan pengorbanan bagi Tuhan bukanlah sesuatu yang disukai orang pada masa ini. Namun demikian, pendapat dunia tidaklah meresahkan Tuhan Yesus yang mengatakan:“Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yoh 18:36).” [20]


b.               Tidak Mengejar Tahta/ Kedudukan
Seorang tertahbis (secara khusus imam) bukan tampil sebagai raja dalam arti menuntut dilayani atau bermental boss di tengah-tengah umat beriman tetapi benar-benar sebagai raja dalam konteks sebagai  seorang pelayan dengan kualitas cinta seorang hamba. Raja adalah seorang yang memiliki otoritas untuk memerintah sekelompok orang. Yesus adalah raja. Oleh para majus Dia disebut Raja orang Yahudi (Mat. 2:2), dan Yesus menerima gelar ini saat menjawab pertanyaan Gubernur Pilatus (bdk.Mat. 27:11).[21] Ia dieluk-elukkan ketika memasuki Yerusalem sebagai Raja yang lemah lembut dan mengendarai seekor keledai (bdk. Mat. 21:5; Za. 19:19). Kuasa rajawi Kristus, bukanlah kekuasaan politik, melainkan kekuasaan yang mengalahkan dosa dan kejahatan. [22] Di dalamnya tentu terkandung spirit pelayanan total  bahkan sampai wafat di kayu salib. PeranNya sebagai raja, lebih dekat pada fungsi penggembalaan – Sang Gembala baik yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya, (Yoh. 10:11); Gembala baik yang tidak meninggalkan domba-domba-Nya, dan tidak membiarkan serigala menerkam dan menceraiberaikan mereka(bdk. Yoh. 10:12).
Secara khusus melalui Sakramen Tahbisan, seorang Imam, yang bertindak In Persona Christi, dan in Ecclesiae, mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala, dan Imam Agung (bdk. LG. Art. 21). Konsili menyatakan bahwa para Gembala kawanan Kristuslah yang wajib menjalankan pelayanan mereka dengan suci dan gembira, dengan rendah hati dan tegas, menurut citra Imam Agung dan Abadi, Gembala dan Pengawas jiwa kita.[23] Di sinilah justru letak kewibawaan seorang imam. Dia tidak memerintah dan tidak mengurus (1 Ptr. 5: 3), melainkan bersikap rendah hati. Wibawa penuh sikap rendah hati adalah keutamaan yang dibina oleh iman dalam hati seorang imam. Sikap demikian akan memampukakan seorang imam untuk berkata bersama Paulus:” Bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Kristus.” (2 Kor. 4: 5). [24]
Maka hal yang tidak boleh diabaikan oleh seorang imam adalah kualitas pelayan sebagai seorang hamba. Yesus pernah bersabda: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 42-45). Jika mengikuti semangat demikian, maka perebutan akan kedudukan jabatan dalam Gereja tidak akan terjadi.

c.                Semangat Hidup Misikin/ Self-Sacrifice dan Self-Emptyness
Pengosongan diri yang ditunjukkan Yesus juga terbukti lewat penderitaan-Nya.Misteri Yesus yang demikian menyingkapkan misteri manusia utama yang rela menanggung penderitaan yang bukan disebabkan oleh kesalahannya sendiri.Orang yang menderita karena kesalahannya sendiri tidak bisa disebut manusia utama. Orang yang menderita karena faktor-fakor lain yang bukan kesalahannya sendiri mencuatkan suatu nilai yang berkaitan dengan moralitas.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa visi antropologi kristiani membuka cakrawala dengan menawarkan “pengurbanan diri” (self-sacrifice) atau “pengosongan diri” (self-emptyness) seturut teladan Yesus sebagai keutamaan manusiawi yang mengandung imperatif moral. Manusia akan menjadi dirinya seperti seharusnya kalau menusia mengembangkan keutamaan berkurban. Nilai Pengorbanan justru terletak pada kenyataan bahwa orang menanggung penderitaan yang merupakan bagian dari tugas perutasannya. Kualitas  pokok Yesus ini menggugah hati saya terutama dalam hal pengorbanan diri. Bagi saya kualitas seorang imam perlu menghidupi aspek ini. Tanpa aspek pengorbanan diri pelayanan kita akan terasa hambar. Bahkan tak dapat dipungkiri akan berefek pada pencarian kepuasan bagi diri sendiri, bukan untuk tujuan pelayanan.
Sebagaimana Yesus dalam hidup-Nya selalu responsif terhadap sesama, demikian juga para imam dipanggil untuk mencontohi semangat hidup Yesus. Inilah jalan kemuridan sebagai seorang pelayan. Para imam bukan diajak untuk meniru perilaku lahiriah-Nya, namun yang terpenting adalah menghayati semangat-Nya supaya tetap setia kepada Tuhan dalam tuntuntan-tuntutan pelayanan.Selain itu, kriteria etis seorang imam didasarkan atas identitasnya sebagai sebagai citra Allah. Kesadaran dan keyakinan sebagai citra Allah mendukung para pelayan pastoral untuk memberikan diri secara lebih utuh  kepada mereka yang dilayani, demi kesejahteraan umum. Kriteria etis ini melawan usaha manusia untuk lebih mementingkan diri (self fulfillment). Kriteria etis ini meneguhkan para imam bahwa anugerah-anugaerah yang mereka terima dari Tuhan perlu disalurkan kepada sesama dan seluruh komunitas.[25] Imam yang demikian tidak melayani dengan pamrih. Mereka akan mampu melayani di mana pun mereka di utus. Karya dan pelayanan mereka tidak akan disilaukan oleh harta duniawi. Hal ini juga yang mampu mendorong mereka untuk melihat harta benda duniawi dalam suatu spiritualitas:”bukan karya mengabdi kepada harta benda, tetapi harta  benda mengabdi kepada karya.” Maksudnya adalah bahwa harta benda tidak menjadi patokan dalam pelayanan seorang imam. Walaupun sarana-sarana pendukung sangat minum atau bahkan tidak ada, namun spirit pelayanan si imam tidak luntur. Yang terpenting bukan harta bendanya dan seperangkat alat canggih. Maka proses pengadaan harta benda selalu didahului oleh kebutuhan umat dan bukan karena daya tarik akan harta benda itu. Pengadaan harta benda selalu dalam perhitungan efisiensi dan efektivitas yang melibatkan perwakilan umat. [26]

d.               Memiliki Visi yang Jelas dalam Pelayanan
Dengan penjelmaan Yesus menjadi manusia menunjukkan bahwa kehadiran-Nya mendamaikan kita dengan Allah dan dengan demikian menyelamatkan kita. Allah telah mengasihi kita dengan dan telah mengutus anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita (1 Yoh 4: 10). Yesus sebagai manusia datang ke dunia untuk menjadi Juru Selamat dunia bahwa Ia telah menyatakan diri-Nya supaya ia Menghapus segala dosa (1 Yoh 3: 5). Bahkan Gregorius dari Nisa menulis:
kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter; manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali; yang kehilangan kehidupan membutuhkan seorang yang membawanya kembali kepada yang baik; yang tinggal dalam kegelapan merindukan kedatangan sinar; yang tertawan merindukan seorang penyelamat, yang terbelenggu seorang pelepas, yang tertekan di bawah kuk perhambaan memerluhkan seorang pembebas.  Bukankah hal-hal berarti dan penting untuk menggerakkan Allah, sehingga Ia turun bagaikan seorang dokter yang mengunjungi kodrat manusiawi, setelah umat manusia terjerat dalam situasi sangat menyedihkan dan memprihatinkan”.[27]
Dilihat dari perspektif ini saya melihat pentingnya sebuah visi dalam pelayanan bagi seorang imam. Jangan-jangan kita hanya bekerja dan bekerja tanpa fokus atau arah dan tanpa motivasi yang dalam.  Dalam bahasa Stephen Covey, hendaklah seorang pemimpin memiliki kualitas:”begin with the end in mind”. Maksudnya adalah sebelum bertindak, seorang pemimpin perlu memilki visi yang jelas dalam pikiran. Yesus datang ke dunia untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Dapat dikatakan bahwa Yesus adalah a good planner. Dengan kata lain Yesus adalah seorang Master Planner. Para imam pun diajak untuk memiliki fokus yang jelas dalam pelayanan sesuai dengan keadaan umat yang dilayani. Tentunya semuanya perlu terarah pada pelayanan bagi keselamatan jiwa-jiwa kaum beriman.Hal ini didasarkan juga pada konteks wilayah pelayanan dan tingkat kualitas iman umat di tempat pelayanan masing-masing.
           
Penutup dan Kesimpulan: Sebuah Refleksi Pribadi
Dengan melihat kenyataan dan menyelami spiritualitas yang diharapkan dari seorang imam, maka hal yang harus diperhatikan adalah pembinaan integral dalam segala dimensi (kepribadian, afeksi-emosi), intelektual, kerohanian, dan pastoral bagi seorang calon imam dalam  masa-masa  pembinaan. Secara pribadi saya sebagai seorang calon imam ditantang untuk mempersipakan diri sebaik-baiknya dalam aspek-aspek itu agar mampu menghidupi imamat dalam spiritualitas yang diharapkan. Setidaknya saya diharapkan untuk tidak menambah barisan para imam yang menyimpang dari yang diharapkan.  Kompetensi-kompentensi dasar bagi pelayanan seorang imam agar bisa fokus dalam pelayanan, menurut hemat saya setidaknya:[28]
Ò  Dapat dilaksanakan lewat studi pribadi, ambil bagian dalam program professional, dan ambil kuliah waktu libur dan masa sabatikal serta aktif membuat refleksi teologis sebagai ahli yang terspesialisasi.
Ò  Seorang imam perlu  memiliki komitmen yang mendalam kepada Gereja dan kesetiaan kepada tradisi-tradisi dan ajarannya  dengan cara membawa tradisi-tradisi  dan ajaran-ajaran itu dalam hubungan dengan hidup dan keadaan masyarakat yang dilayani.
Ò  seorang imam harus menjadi orang yang mudah dihubungi dan siap menolong sesama, menghargai keluhuran setiap pribadi dengan memberikan pelayanan tanpa memperhitungkan status ekonomi, usia, gender, ras, orientasi seksual, atau kemampuan fisik dan mental. Selain itu, seorang imam  perlu memiliki ruang untuk pelayanan-pelayanan sewaktu-waktu, untuk “melampaui batas”, untuk luwes, dan untuk tidak diharapkan.
Beberapa poin di atas tentu sesuai dengan harapan Gereja sebagaimana termaktub dalam ensiklik Deus Caritas Est dari Paus Benediktus XVI. [29] Saya secara personal ditantang untuk menghidupi Keutamaan perjanjian dan moral yang seharusnya diacu oleh  semua imam  agar bisa bisa  benar-benar menjadi pastor bonus yakni:
a.       Kesucian. Dalam aspek kesucian berarti saya sebagai seorang calon imam harus memupuk relasi yang intim dengan Tuhan. Relasi yang erat dengan dipupuk selalu dipupuk terus melalui praktek doa pribadi, kebaktian umum, dan praktek disiplin rohani yang mengungkapkan suatu hidup dalam keterbukaan yang terus-menerus kepada Roh Kudus. Kesucian hidup ditampakan dalam pribadi yang asli, tidak defensif, tidak memihak, luwes, menerima pengalaman-pengalaman dan orang-orang yang berbeda, kesadaran diri yang kritis, mengusahakan keseimbangan dama hidupnya, dan keadilan dalam hidup orang lain. [30]
b.      Cinta Kasih/ Altruisme. Keutamaan ini dimulai dengan self-care. Cinta kasih digerakan oleh apa yang dialami  orang lain, mengerti makna pengalaman itu, dan tinggal dengan orang lain dengan cara apa pun yang diperlukan.
c.       Kelayakan untuk dipercayai. Sebagai seorang calon imam agar dalam pelayanan kelak saya bisa dipercayai, maka saya perlu memiliki kualitas kesetiaan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kemurahan hati, dan kerendahan hati. Dengan memiliki kualitas ini saya yakni bisa menjadi pelabuhan yang aman bagi mereka yang dilayani. Tentu juga menjaga kerahasiaan atas hasil komunikasi batianiah yang telah disampaikan oleh mereka yang dilayani.
Membina kearifan dan sikap realistis dalam menghidupi kaul-kaul kebiaraan. Saya secara pribadi baru saja mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 18 Oktober 2014. Itu berarti saya dengan tau dan mau serta dengan sebuah kesadaran penuh mau berbakti kepada Tuhan dan sesama secara kekal  dalam hidup membiara dalam semangat hidup miskin, taat, dan murni. Dalam kemurnian sebagai seorang selibater, saya diajak untuk tidak boleh membangun harapan dalam diri seorang lawan jenis serta tidak memikat hati orang dengan tidak  perlu, karena toh tidak adilah bila saya membuat wanita jatuh cinta dan hanya untuk memuaskan ego saya sendiri. Kearifan dalam hidup selibat menuntut saya juga untuk menghindari situasi menggoda  dan merangsang.[31]  Mengenai kaul kemiskinan saya diajak untuk tidak berprinsip dan spiritualitas: :”bukan karya mengabdi kepada harta benda, tetapi harta  benda mengabdi kepada karya.” Dan dalam hal kaul ketaatan saya diajak untuk semakin rendah hati dalam pelayanan dan siap-sedia untu diutus. Dengan sikap rendah hati saya diharapkan untuk tidak menempatkan diri dalam posisi lebih tinggi terhadap orang yang  saya layani. Peristiwa Salib Yesus menjadi contoh yang jelas dalam semangat kerendahan hati. Semakin seorang membantu orang lain, ia semakin mengerti Sabda Kristus dalam Luk 17: 10 :” Kami ini hamba yang tidak berguna”. Orang yang membantu adalah alat di tangan Tuhan sehingga bebas dari kesombongan. Allah-lah yang memerintah dunia bukan manusia. Manusia hanya mengabdi seauh bisa dan Allah-lah yang memberikan kekuatan untuk semuanya itu. (Bdk. Deus Caritas Est  35).



Daftar Pustaka
Buku
Amstrong, Regis J. OFMCap dan Ignatius C. Brady OFM.  Francis and Clare: The Complete Works. New York: Paulist Press, 1982.
Bonaventure, “Major Life of St. Francis,” in St. Francis of Assisi: Writings and Early Biographies: English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, edited by Marion A. Habig, 3rd Edition. Chicago: Franciscan Herald Press, 1973.
Fackre, Gabriel “Christ’s Ministry and Ours”:The Laity in Ministry: The Whole People of God for the Whole World. Valley Forge:  Judson Press, 1984.
Gula, Richard M.  Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Kees, Maas, SVD. Teologi Moral Seksualitas. Ende: Nusa Indah, 1998.

Lanur,. Alex OFM, “Seorang Religius yang serentak pula Seorang imam?” dalam Imam Jantung Hati Yesus, Yon Lesek (editor). Jakarta: Obor, 2009.
Livingston, Patricia H. “Intimasi dalam Hidup Imam” dalam Donald J. Georgen (ed), Imam Masa Kini. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Mulyono, YR. MSF, Mengembangkan Spiritualitas Harta Benda, dalam Presbyterium, Edisi 1, Tahun I, Juni 2007.
Mulyono, YR. MSF, Imam yang Commit, Profesional dan Happy, dalam Presbyterium Edisi 2 tahunn I, Desember 2007.

Paulus II, Yohanes Melihat Ambang Pintu Harapan. Jakarta: Obor, 1995.
Para Waligereja Regio Jawa.  Sebuah Pedoman Imam Kamu Adalah Saksiku. Jakarta: Obor. 2013.

Ponomban, Terry Perjuangan Rohani Semesta. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006.
Powel, John. Cinta Tak bersyarat. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Prasetyo, Mardi SJ. Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sipe, A.W. Richard Celibacy. United State: TRIUMPH BOOKS, 1994. 

Solzhenitsyn, Alexandr I.,“Ethics and Politics on the eve of twenty-first century, dalam Communio International Catholic Review 20/4. Winter 1993.
Sujoko,Albertus. Identitas Yesus dan Misteri Manusia Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Sujoko, Albertus .Belajar Menjadi Manusia .Yogyakarta: Kanisius, 2008

Wolor, John. Menggugat Indentitas Pastor dan Keabsahan Sakramen. Jakarta: Prestasi Pustaka Kasih, 2009. 
Wuerl, Bishop Donald W. The Catholic Way Faith For Living Today. Doubleday: New York, London, Toronto, Sydney, Auckland,  2001.

Francis of Assisi Today, translated by Robert Nowell, edited by Christian Duquoc and Casiano Floristán. New York: The Seabury Press,1981.
Media Jurnal Filsafat dan Teologi STF-SP Vol 3. no. 1 Januari 2004.
Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Katekismus Gereja Katolik . Ende, Arnoldus, 1993.
Ensiklik Deus Caritas Est, Paus Benediktus XVI
Internet:
http://www.seminarikwi.org/cetak.php?id=59, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014;
http://yesaya.indocell.net/id432.htm, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014.
http://www.seminarikwi.org/cetak.php?id=65, diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014.









[1]Terlepas dari apakah umat pernah mengetahui perkataan dari St. Yohanes Kristotomus ataukah tidak. St. Yohanes Kristotomus pernah berkata:” Barangsiapa menghormati imam, menghormati Kristus, dan barangsiapa menghina imam, menghina Kristus.” Terkutip dalam John Wolor, Menggugat Indentitas Pastor dan Keabsahan Sakramen (Jakarta: Prestasi Pustaka Kasih, 2009), hlm. 2.
[2]Bdk. Alex Lanur, OFM, “Seorang Religius yang serentak pula Seorang imam?” dalam Imam Jantung Hati Yesus, Yon Lesek (editor) (Jakarta: Obor, 2009), hlm. 27-28.
[3] Bishop Donald W. Wuerl, The Catholic Way Faith For Living Today (Doubleday: New York, London, Toronto, Sydney, Auckland,  2001), hlm. 113.
[4]Dr. Jeff Mirus menulis:” By their very role in the life of the Church, priests are inescapably called to an especially deep understanding of the truth. Hence all priests are called to study. Unfortunately, this can be a temptation in itself, a temptation to be recognized as an “expert”, or to be considered a source rather than a servant of truth, or to substitute mere cleverness for deeper insight. Instead, study must be the handmaid of contemplation, another means of uniting oneself with that full truth which is Jesus Christ.” Lih. http://www.catholicculture.org/commentary/articles.cfm?id=253, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014.
[5] Bdk. http://www.seminarikwi.org/cetak.php?id=59, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014; Bdk. Kees Maas, SVD, Teologi Moral Seksualitas (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 153-166; Terry Ponomban, Perjuangan Rohani Semesta (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006), hlm. 24.
[6]Yet it turns out that from this spasmodic pace of technocentic Progress, from the oceans of superficial information and cheap spectacles, the human souls does not grow, but instead grows more shallow, and spiritual life is only reduced,  Alexandr I. Solzhenitsyn,“Ethics and Politics on the eve of twenty-first century, dalam Communio International Catholic Review 20/4 (Winter 1993), hlm. 690-691.
[7] Bdk. Patricia H. Livingston, “Intimasi dalam Hidup Imam” dalam Donald J. Georgen (ed), Imam Masa Kini (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 143.
[8] Paus Yohanes Paulus II melihat realitas demikian sebagai” suatu tindakan skandalum dalam dunia modern.” Lih. Yohanes Paulus II, Melihat Ambang Pintu Harapan (Jakarta: Obor, 1995), hlm. 159.
[9] Terkutip dalam http://www.seminarikwi.org/cetak.php?id=65, diunduh pada tanggal 8 Oktober 2014.
[10] Mardi Prasetyo, SJ mengatakan bahwa mencintai sesama merupakan salah satu unsur hakiki yang harus diberikan tempat dalam pembinaan para calon religius. Lih. Mardi Prasetyo, SJ., Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan (Yogyakarta: Kanisius, 2000). hlm. 288-294.
[11] Bdk. Rm. YR. Mulyono, MSF, Imam yang Commit, Profesional dan Happy, dalam Presbyterium Edisi 2 tahunn I, Desember 2007, hlm. 4.
[12] Para Waligereja Regio Jawa, Sebuah Pedoman Imam Kamu Adalah Saksiku (Jakarta: Obor. 2013), hlm. 109-110.

[13] Terkutip dalam A.W. Richard Sipe, Celibacy (United State: TRIUMPH BOOKS, 1994,), hlm. 36.
[14] Cinta kasih seorang selibater didasarkan atas cinta Agape. Dalam hal ini tidak didasarkan pada sisi daya tarik fisik atau afeksi, tetapi melampaui kedua sisi ini. Cinta kasih seorang selibater didasarkan atas komitmen dan keputusan. Dengan begitu seorang selibater mampu untuk mencintai secara tulus. Dengan kata lain, dalam hal cinta kasih, tidak cukup hanya dengan sikap afeksi, tapi juga harus bersifat efektif. Artinya, ungkapan cinta harus juga mampu membangun dan mengembangkan pribadi tertentu. Itulah semangat cinta agape seorang selibater. Di dalamnya terkandung ciri-ciri: tak bersyarat, mampu menerima dan menerima cinta, penuh komitmen. Cinta hendaknya tidak dibelenggu oleh ikatan-ikatan tertentu. Bdk. John Powel, Cinta Tak bersyarat (Yogyakarta: Kanisius, 1992),  hlm. 70
[15] “Doa adalah tempat perlindungan yang pasti dalam segala sesuatu yang dia lakukan; dia tidak pernah mengandalkan usahanya sendiri, tetapi meletakan kepercayaannya kepada penyelenggaraan kasih Allah dan menyerahkan bebannya  kepada Allah dalam doa yang terus-menerus. Dia yakin bahwa rahmat doa adalah sesuatu di mana seorang religius harus inginkan melebihi dari yang lain. Tak seorang pun dapat membuat kemajuan dalam pelayanan Allah tanpanya, tandasnya.”Lih.  Bonaventure, “Major Life of St. Francis,” in St. Francis of Assisi: Writings and Early Biographies: English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, edited by Marion A. Habig, 3rd Edition (Chicago: Franciscan Herald Press, 1973), hlm. 705.
[16] Terkutip dalam KGK no. 1589.
[17] A man has been killed by the letter when he wants to know quotations only so that people will think he is very learned and he can make money to give to his relatives and friends. A religious has been killed by the letter when he has no desire to follow the spirit of Sacred Scripture, but wants to know what it says only so that he can explain it to others. Anton Rotzetter, “Mysticism and Literal Observance of the Gospel in Francis of Assisi,” Francis of Assisi Today, translated by Robert Nowell, edited by Christian Duquoc and Casiano Floristán (New York: The Seabury Press,1981), 58.
[18] Lih. Regis J. Amstrong OFMCap dan Ignatius C. Brady OFM, Francis and Clare: The Complete Works (New York: Paulist Press, 1982), 30.
[19]Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 233.
[20] http://yesaya.indocell.net/id432.htm, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014.
[21] Masuknya Yesus ke Yerusalem mengumumkan kedatangan Kerajaan, yang, dibawa Mesias Raja melalui Paska kematian dan kebangkitan-Nya... KGK, no. 560
[22]Bdk. Gabriel Fackre, “Christ’s Ministry and Ours”:The Laity in Ministry: The Whole People of God for the Whole World. (Valley Forge:  Judson Press, 1984). hlm. 122. 
[23] Mereka dipilih untuk mengemban kepenuhan imamat, dan dikurniai rahmat sakramental, supaya dengan berdoa, mempersembahkan korban dan mewartakan sabda, melalui segala macam perhatian dan pengabdian Uskup, melaksanakan tugas sempurna cinta kasih kegembalaan, dan supaya jangan takut menyerahkan jiwa demi domba-domba, dan dengan menjadi teladan bagi kawanan (lih. 1Ptr 5:3), lagi pula dengan contohnya memajukan Gereja menuju tingkat kesucian yang kian hari makin tinggi (LG. Art. 41).
[24] Lih. Para Waligereja Regio Jawa, Sebuah Pedoman Imam Kamu Adalah Saksiku (Jakarta: Obor. 2013), hlm. 103.
[25] Bdk. Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 232-233.
[26] Bdk. YR. Mulyono MSF, Mengembangkan Spiritualitas Harta Benda, dalam Presbyterium, Edisi 1, Tahun I, Juni 2007, hlm. 25.
[27] Katekismus Gereja Katolik, hlm. 119.
[28] Lih. Richard M. Gula, Etika Pastoral, hlm. 237-238.
[29] Dalam Deus Caritas Est no 31 dinyatakan bahwa salah satu unsur konstitutif  pelayanan kasih Kristiani merupakan jawaban atas kebutuhan segera dan situasi khusus sebagaimana dalam perumpamaan seorang Samaria yang murah hati. Oleh karena itu organisasi karitatif Gerejawi (di tingkat diosesan, nasional, dan internasional) melakukan hal yang sama teristimewa kepada yang menderita. Mereka yang terlibat di dalamnya perlu memiliki kompetensi profesional lewat pendidikan sedemikian rupa. Di samping itu mereka perlu memiliki semangat melayani dengan hati demi kemanusiaan. Sehingga perlulah pembentukan  hati sehingga pelayanan mereka bukan karena desakan atau dorang dari pihak luar tetapi karena atas spirit membuka hati  bagi sesama dalam terang iman.
[30] “When the priest does not know how to contemplate through mental prayer, or even through the rosary, he becomes a working functionary who loses the sense of his own mystery and the mystery of his bride the Church as well” . If a priest falls into feverish activity (pursued compulsively or for its own sake), “he quickly loses a relish for prayer, both liturgical and private.” lih. http://www.catholicculture.org/commentary/articles.cfm?id=253, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2014.
[31] Bdk. Kees Maas, SVD, Teologi Moral Seksualitas, hlm. 162-163

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug