Langsung ke konten utama

KOK INDONESIA TIDAK PAKAI BAHASA BELANDA?




 Setiap tahun pada tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia merayakan hari Sumpah Pemuda.  Peristiwa itu merupakan tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Janji itu dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Yang dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisan menggunakan ejaan van Ophuysen.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

BINCANG-BINCANG MENGENAI INDONESIA DI ANGERS
Kemarin saya mengikuti kegiatan ujian “memoire” dari seorang pastor Madagaskar  di Universitas Katolik Angers-Perancis. Dia mendapat nilai “assez bien note” alias cukup baik. Dia mengulas enskilik Laudato Si Paus Fransiskus dan implikasinya untuk Gereja Katolik di Madagaskar.
Setelah kegiatan ujian, saya berkenalan dengan para dosen yang memberikan ujian. Dalam bincang-bincang dengan para dosen, pertanyaan yang mereka lontarkan adalah apa bahasa persatuan di Indonesia? Saya menjawab, kami berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun kami juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Indonesia memiliki 706 bahasa yang berbeda dan menempati posisi kedua di belakang tetangga Papua Nugini, yang memiliki 836 bahasa daerah. Mereka bertanya lagi, negara mana yang menjajah Indonesia? Saya menjawab negara Belanda. Mereka langsung sambung komentar: “Kok tidak pakai bahasa Belanda saat ini? Saya menjawab…tidak. Hanya generasi tua yang bisa berbahasa Belanda. Sedangkan kami generasi muda sama sekali tidak tahu bahasa itu. Di sekolah kami hanya diajarkan bahasa Inggris. Pertanyaa itu memang muncul karena memang kebanyakan negara jajahan  Perancis menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa nasional. Sementara kita bangsa Indonesia yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun tidak menggunakan bahasa Belanda.
BAHASA MELAYU: lingua franca
Bahasa, Melayu, secara bertahap menjadi lingua franca di Nusantara, yang memungkinkan pedagang dan pelaut dari berbagai pulau untuk berkomunikasi di antara mereka sendiri. Menurut ahli bahasa Amerika Scott Paauw, penggunaan bahasa Melayu tersebar luas di pelabuhan Nusantara mungkin lebih dari dua ribu tahun. Sekitar tahun 700, munculnya kerajaan Sriwijaya, sebuah negara kota yang akan cepat memonitor lalu lintas maritim di Selat Malaka. Sriwijaya mendapatkan posisi dominan dalam perdagangan daerah dan mengakibatkan penyebaran bahsa Melayu di pelabuhan dari barat Nusantara. Sriwijaya terletak di lokasi kota Palembang di Sumatera Selatan saat ini. Bahasa yang digunakan adalah Melayu.

Faktor lain yang akan memperluas penyebaran bahasa Melayu di seluruh Nusantara adalah munculnya Malaka, yang didirikan pada tahun 1400 oleh seorang pangeran Sumatera yang berbahasa Melayu. Selama abad kelima belas, Malaka, yang pada gilirannya mengontrol lalu lintas di selat yang menyandang namanya “menjadi pelabuhan utama di Asia Tenggara”.
Antonio Pigafetta, berkebangsaan Italia, tepatnya di Vicenza yang berbagi pada tahun 1519 dengan Magellan untuk mencoba untuk memenangkan melalui Barat "Spice Islands", Maluku. Dia melaporkan daftar lebih dari empat ratus kata Melayu, yang katanya adalah bahasa yang digunakan oleh umat Islam di kepulauan Maluku. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa sejak tahun 1519 bahsa Melayu adalah bahasa komunikasi dari Sumatera sampai ke Maluku.
TIDAK PAKAI BAHASA BELANDA
Belanda tiba di Indonesia pada awal abad ketujuh belas. Kenyataan saat itu adalah bahwa bahasa Melayu menjadi trend di daerah-daerah kepuluan di Indonesia.  Sampai tahun 1800, Belanda tidak mengontrol bagian timur kepulauan dan pulau Jawa. Dengan berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1830, mereka dapat melakukan untuk menaklukan sisa Nusantara.
Mereka menggunakan bahasa Melayu untuk beberapa aspek administrasi dalam wilayah yang mereka duduki: yakni untuk menyebarkan agama Kristen, dan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Kristen. Lebih umum, Belanda berkomunikasi dengan penduduk asli dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu resmi menjadi bahasa kedua administrasi pada tahun 1865, setelah bahasa Belanda.
Pada tahun 1920, ketika gerakan nasional tumbuh di koloni Belanda, anggotanya setuju bahwa bahasa Melayu adalah satu-satunya kemungkinan untuk menciptakan budaya umum dan rasa persatuan dengan populasi yang berbeda dari Nusantara . Pada tahun 1926, mereka memutuskan untuk mengubah nama Melayu  menjadi "Indonesia", karena nama "Indonesia" telah menjadi bendera gerakan nasional.
GERAKAN NASIONAL
Gerakan nasional melahirkan pada tahun 1930 sastra modern "Indonesia". Selama pendudukan Jepang (1942-1945), penggunaan bahasa Eropa dilarang dan bahwa orang Indonesia didorong untuk  mempromosikan perkembangan bahasa Indonesia. Dengan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, bahasa Indonesia dapat tumbuh sebagai bahasa nasional. Kebijakan untuk penggunaan bahasa Indonesia ini sukses. Itu tidak mudah untuk membangun suatu bangsa dari dengan beragam budaya, bahasa dan agama yang beragam. Bahasa Indonesia adalah faktor pemersatu. Bahasa Indonesia telah menciptakan identitas nasional. Bahasa Indonesia adalah bahasa 250 juta orang Indonesia.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug