Langsung ke konten utama

MANUSIA PERTAMA TELANJANG KOK TIDAK MERASA MALU??

Afficher l'image d'origine


“Mereka telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu.”[1]
Dalam kitab Kejadian kita bisa mengetahui bagaimana kondisi manusia pertama. Mereka telanjang Yang mencengangkan adalah mereka yang telanjang (laki-laki dan perempuan) itu tidak merasa malu satu terhadap yang lain. Mengapa? Kita dapat menemukan lewat teks ini pesan fundamental mengenai keadaan ketelanjangan asali manusia pertama. Pertama, keadaan tidak merasa malu walaupun telanjang menggambarkan tingkat kedamaian batiniah mereka. Hal ini diperoleh ketika mereka benar-benar menyerahkan diri mereka sendiri kepada pasangannya  tanpa embel-embel tertentu. Keadaan damai dan rasa nyaman dalam situasi telanjang menggambarkan situasi mereka sendiri yang berada dalam harmoni dengan rencana Allah, di mana mereka diciptakan untuk saling memberi melalui keindahan dan kekuatan tubuh mereka. Pemberian yang dimaksudkan di sini bukan dalam konteks mencari kesenangan sendiri. Ada kesadaran bahwa mereka diciptakan untuk saling memberi tubuh (pribadi) mereka secara timbal balik.[2] Dengan kata lain, masing-masing manusia pertama itu, baik laki-laki maupun perempuan saling memperlakukan satu terhadap yang lain sebagai subyek. Ada pola relasi antarsubyek di dalam ketelanjangan asali mereka. Di dalam relasi tersebut mereka saling mengagumi dan saling menghormati. Kondisi demikian memungkinkan mereka merasa aman dan mengalami kepenuhan. Masing-masing tidak merasa diobyektivir, sehingga mereka tidak merasa malu walaupun telanjang.
             Kedua,  ketelanjangan asali mereka menunjukkan bahwa mereka berdua bebas dalam memberi (freedom of gift). Dalam rangka memberikan secara total maskulinitas dan femininitasnya, laki-laki dan perempuan harus bebas memandang diri mereka sendiri. Mereka mengetahui bahwa tujuan mereka diciptakan adalah untuk saling memberi satu terhadap yang lain (communio personarum) dan bahwa dalam relasi tersebut mereka tidak saling memanfaatkan tetapi saling melengkapi dan menyempurnakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah pribadi atau makhluk yang diciptakan untuk saling memberi (being-gift). Hal ini didasarkan pada wahyu dan pengalaman kebertubuhan mereka. Sebagai being-gift, ada dua hal penting yang bisa ditarik. Pertama, laki-laki dan perempuan dapat memenuhi diri mereka sendiri sebagai pribadi hanya dalam tindakan memberi secara bebas dan dalam semangat kasih dengan manusi lain (bdk. GS, art. 24: 3). Kedua, sebagai being-gift manusia (laki-laki dan perempuan ) adalah hasil dari gift atau karunia cinta dari Allah sendiri. Singkatnya, manusia adalah makhluk yang diberikan atau dikaruniakan, “a being-given” atau being-received dari sang Pencipta.[3]
          Dalam situasi kesendirian asali kita telah melihat bahwa manusia (۱ādām) mendambakan makhluk yang sepadan dengannya. Dalam pertemuannya dengan “being-gift” yang lain (perempuan), mereka membangun persekutuan hidup bersama. Di dalamnya mereka saling memberi dan menerima diri mereka sendiri dengan tubuhnya. Mereka tidak merasa malu dalam ketelanjangan mereka. Ada kedamaian interior mereka walaupun telanjang. Hal ini menjadi mungkin karena adanya kebebasan dalam memberi di antara mereka.
          Tubuh manusia sejak semula tidak hanya dilihat sebagai sumber prokreasi,  tetapi menyatakan kekuatan untuk mengekspresikan cinta. Secara tepat cinta yang mampu memenuhi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam keadaan demikian mereka menghidupi pengendalian diri (self-mastery). Inilah unsur yang sangat penting (indispensable) agar manusia mampu memberikan dirinya sendiri secara tulus (bdk. TOB 15:1-2; 16 Januari 1980).[4] Hanya dalam tindakan memberi diri secara total, bebas dan tidak sepihak, manusia mengetahui secara mendalam makna persekutuan dengan pribadi lain. Di dalam persekutuan tersebut mereka menemukan kebahagiaan karena dibangun atas dasar kasih (bdk. TOB 16: 2; 30 Januari 1980). [5] Dalam hal ini Yohanes Paulus II menyebut tubuh memiliki “arti nupsial.” Dalam arti bahwa tubuh secara mendasar terarah pada pemberian diri secara bebas dan penuh sebagaimana terjadi dalam perkawinan.  Dengan demikian, tubuh memiliki arti “nupsial” atau perkawinan. 
          Ulasan YP II di atas sejalan dengan ajaran KV II secara khusus dalam GS art. 24 yang mengatakan bahwa,“Manusia tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus memberikan dirinya.”  Ketika laki-laki dan perempuan  memberikan diri secara total kepada pasangan dengan tubuhnya sebenarnya pada saat yang sama mereka sedang menghidupi identitas diri mereka sebagai citra Allah.



[1] bdk. Kej. 2: 25.
[2]Bdk. Michel Sèguin, “The Biblical Foundations of the Thought of John Paul II on Human Sexuality” dalam Communio International Catholic Review XX/2 (1993), hlm. 275.
[3]Ibid, hlm. 277.
[4]John Paul II, Man and Woman He Created Them. A Theology of the Body, hlm. 185-186.
[5]“Happiness is being rooted in Love. Original happiness speaks to us about the “beginning” of man, who emerged from love and initiated love. “ Ibid., hlm. 190.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug