![Afficher l'image d'origine](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_PtdcwcQTZuBviT2C13eq69GcUJc6Ohym5_00jL4l2QZMapsbxQ2JsPuP9SIE1UrkF6ULzn1-aE02uKpoBMxW6ubZ93f4cedjiyfRngqQkQoz9jGotThiT5uoA-b0y_ENVamLHE5U9LM/s1600/stop-free-sex.jpg)
Sikap
yang tidak bijkasana dalam menggunakan alat-alat teknologi, seperti HP dan
internet akan memberi dampak negatif
bagi mereka yang menggunakannya, terutama kepada para remaja. Lingkungan
dan media dibanjiri dengan banyak hal yang menggoda dan sangat berefek pada penyimpangan seks. Melalui alat-alat canggih itu
mereka dengan mudah mengakses hal-hal yang berbau porno. Usia remaja adalah
masa pubertas. Dalam masa demikian para remaja sudah mulai memiliki rasa
ketertarikan kepada lawan jenis. Mereka mulai “jatuh cinta” kepada lawan jenis.
Pada umumnya cinta dalam kalangan remaja didasarkan atas daya tarik fisik
semata. Atas dasar daya tarik itulah mereka mulai mendekat, menyapa, menyentuh
sampai akhirnya “ingin bersetubuh dengan orang yang menurutnya memiliki daya
tarik fisik.” Hal ini didorong oleh naluri seksual yang sering juga disebut
“gairah” atau “birahi”. Dorongan seksual demikian terjadi secara alamiah.
Anak-anak remaja yang belum bisa mengendalikan diri bisa terjebak dalam
kegiatan seks bebas dengan pacar atau teman-teman sebaya lawan jenis. Apalagi
dorongan alamiah itu didukung oleh situasi eksternal, misalnya dengan adanya
kemajuan teknologi dalam bentuk internet yang menyajikan hal-hal berbau porno.
Keseringan menonton film-film porno melalui media internet berdampak pada
penyalahgunaan seks dengan mempraktekan adegan-adegan yang dilihat dalam media
internet kepada pacar atau kepada teman-teman sebayanya. Dengan demikian timbul
seks bebas dalam kalangan remaja. Seks bebas sudah menjadi hal yang sangat
biasa bagi anak-anak muda, terlebih mereka yang tinggal di kota-kota
besar.
Gaya pacaran ke arah yang negatif
seperti kissing, petting dan intercourse menjadi beberapa gaya
pacaran sekarang ini. Sebagian remaja tidak tahu
tentang efek yang dilakukan
karena minimnya pendidikan seksualitas sesuai dengan kultur
budaya dan religius. Mereka
cenderung menerapkan gaya pacaran tidak sehat. Hal ini tentu banyak membawa
banyak efek negatif.
Antara lain yang bisa disebutkan adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatnya tingkat aborsi.
Bila seorang remaja
putri pacaran dan dia terlanjur hamil akan tetapi kekasihnya tidak mau bertanggung jawab maka
jalan yang ia tempuh adalah aborsi (menggugurkan kandungan).
Tindakan seks di luar nikah saja termasuk ke dalam dosa besar.
Lewat tindakan aborsi mereka menambah dosa baru yakni membunuh nyawa yang tidak
berdosa.
2.
Meningkatnya tingkat kematian wanita.
Hasil dari gaya pacaran
yang tidak sehat salah satunya adalah kematian. Karena aborsi yang dilakukan oleh para
remaja biasanya dijalankan dengan meminta bantuan dukun yang tidak mempunyai pengetahuan medis.
3.
Menyebarnya penyakit serta meningkatnya penggunaan narkoba
dan tingkat kriminalitas. Usia remaja adalah saat dimana seseorang mencari jati
diri. Pada usia tersebut anak-anak sangat rentan terhadap berbagai pengaruh
negatif dari luar rumah. Pacar adalah salah satunya. Bila pacarnya adalah
pengguna narkoba maka kemungkinan besar dia juga akan terseret. Di samping itu, adanya gaya pacaran yang tidak
sehat berdampak pada semakin meningkatnya kriminalitas.
Kami melihat bahwa kekurangan informasi yang benar tentang masalah seks
akan memperkuat kemungkinan para remaja untuk mencari informasi yang salah pada
media massa dan teman sebaya. Akibatnya, kaum remaja masuk dalam kalangan kaum yang
beresiko melakukan perilaku berbahaya untuk kesehatan dan moralitasnya melalui
tindakan seks bebas.
Premarital Sex Ditinjau dari TEOLOGI TUBUH Yohanes
Paulus II
Hubungan
seks pranikah (premarital-sex), baik
dalam kasus kumpul kebo maupun seks bebas
dalam kalangan remaja hanya
didasarkan pada pencarian akan kesenangan pribadi. Slogan yang mereka anut adalah “no love, just for sex.” Hubungan seks dalam kondisi demikian tidak
didasarkan pada sikap penyerahan diri seutuhnya bagi pasangan (self-surrender). Dalam hubungan seks pranikah
ada
kecenderung untuk mengobyektivir tubuh orang lain. Dengan demikian juga mengobyektivir pribadi lain. Dalam hubungan seperti itu hanya
ada self-centeredness atau sikap ingat diri (egois).
Hubungan
seks semestinya terjadi hanya bagi mereka yang sudah resmi menerima sakramen
perkawinan di hadapan para saksi resmi Gereja. Hal tersebut penting untuk
menggarisbawahi sikap saling menyerahkan diri seutuhnya (total surrender). Karena perkawinan adalah sebuah tindakan saling
memberikan diri seutuhnya (reciprocal
self-donation). Sangat sulit diterima bahwa seks pranikah sungguh-sungguh
dijiwai oleh cinta altruis. Pada umumnya relasi demikian hanya didorong oleh
keinginan untuk menikmati kepuasan seks itu sendiri dan bukan demi
kebahagiaan orang lain, karena kemauan untuk membagiaan pasangannya
belum mendalam dan menetap. Walaupun secara badani mereka memberikan diri satu
sama lain, tetapi dalam hati belum sungguh-sungguh memberikan diri kepada
pasangan itu. Mereka belum
sungguh-sungguh memiliki kemurnian hati dalam relasi seperti itu. Padahal hal
inilah yang sangat penting bagi terwujudnya pemberian diri bagi pasangan. Dalam
bahasa Yan van Paassen, tindakan seks di luar nikah hanyalah sebuah permainan
sandiwara.[1]
Perjanjian nikah yang disaksikan oleh pihak resmi Gereja dan umat atas salah
satu cara menjamin kekuatan aspek kesatuan di antara mereka.
Melalui
kesaksian publik, kedua mempelai diajak untuk secara serius menyadari komitmen
untuk hidup bersama. Melalui sakramen perkawinan mereka tidak hanya membentuk
persekutuan antarpribadi mereka sendiri tetapi juga disatukan dengan Kristus.
Dialah yang menyemangati cinta dan pemberian diri mereka. Dia juga menyatukan
pasangan suami-istri dengan diri-Nya. Kristuslah yang mengangkat persekutuan
pribadi-pribadi yang menikah dalam persekutuan Trinitaris.[2]
Mereka
yang terlibat dalam hubungan seks di luar nikah sebenarnya melecehkan hakikat
martabat manusia sendiri. Mengapa? Karena dalam tindakan seks di luar nikah,
mereka yang terlibat di dalamnya menodai martabat mereka sebagai citra Allah. Dalam hubungan seks semestinya terjadi
pemberian diri secara total kepada pasangan atas dasar cinta dan mengarah
kepada perpaduan sempurna antara dua pribadi dari masing-masing jenis seks.
Dengan demikian hubungan seksual merupakan ekspresi penyerahan diri secara
total kepada pasangan yang didasarkan atas semangat cinta dan komitmen.
Dalam
salah satu bagian TOB kita telah telusuri bersama bahwa pengalaman kesendirian
(solitude experience) mengantar
manusia pada pengalaman kesatuan (experience
of unity). Dalam kesendirian asali manusia tidak menemukan relasi yang
sepadan. Walaupun ada binatang, tetapi manusia pertama mengalami bahwa dia
sendiri dan tidak merasa bahagia. Ketika Allah menciptakan perempuan maka
terjadilah kemungkinan adanya persekutuan antarpribadi.
Penjelasan di atas menggarisbawahi bahwa hubungan seks
bukan hanya sekedar masalah fisik atau biologis semata. Hubungan seks perlu dilihat dalam bingkai
simbol dan cinta. Hubungan seks bukanlah
barang mainan. Tidak juga dilihat sebagai sebuah aktivitas eksperimental, sebagaimana
latihan mengemudi. Tetapi lewat hubungan seks pasangan suami istri saling
memberi atau menyatakan cinta murni. Oleh karena itu, hubungan seks perlu
dilindungi dan membutuhkan komitmen dari pasangan suami-istri. [3]
Dalam level yang lebih dalam hubungan seks dalam
perkawinan menuntun pada pengalaman kesatuan yang mendalam. Hubungan seks harus
dilihat sebagai sarana untuk membahasakan cinta demi kebahagiaan bersama. Untuk
maksud ungkapan cinta, maka hubungan seks hanya dibenarkan dalam relasi
suami-istri yang sah yang dikukuhkan dalam sakramen perkawinan. Dengan kata
lain, keluarga adalah sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi. Dalam keluarga kedua pribadi yang
berbeda jenis kelamin mengungkapkan cinta bukan untuk kepentingan satu pihak tetapi
untuk kepentingan bersama. Di dalamnya mereka membentuk persekutuan pribadi
yang tak terpisahkan (communio personarum)
karena semangat cinta yang mempersatukan. Di dalamnya mereka yang mengikatkan
diri dalam perkawinan saling memberi, menyempurnakan, belajar, dan memperkaya.
Di dalamnya mereka belajar untuk keluar dari egonya dan tetap berusaha keras
untuk memberikan diri dalam semangat cinta kepada pasangannya.
Hubungan
seks dalam konteks seks bebas dan kumpul kebo merupakan contoh ekspresi
hubungan seks atas dasar nafsu dan mementingkan diri sendiri. Mereka sebenarnya bukan dalam situasi saling
mencintai, tetapi berada dalam nafsu. Tidak heran mereka yang mengadakan
hubungan seks pranikah tidak menemukan kebahagiaan karena hubungan mereka tidak
didasarkan atas kasih. Hubungan seks pranikah merupakan hubungan yang bersifat
sementara. Dalam hubungan seks pranikah yang ada adalah kecenderungan
memanfaatkan atau mengeksploitasi pribadi lain. Tambahan pula, dalam relasi
demikian mereka tidak menghidupi pengendalian diri (self-mastery). Padahal inilah
unsur yang sangat penting (indispensable)
agar manusia mampu memberikan dirinya sendiri secara tulus.
[1]Bdk. Yan van Paassen, Membangun
Budaya Cinta. Himpunan Ceramah dan Permenungan (Tangerang: Yayasan Gapura, 1997), hlm. 150.
[2]Bdk. Richard M. Hogan & John M. Levoir, Covenant of Love. Pope John Paul II on
Sexuality, Marriage, and Family in the
Modern World (USA: Ignatius Press, 1985),
hlm. 87-88.
[3]Bdk. Percy, The Theology of
The Body Made Simple. Discover John
Paul II’s Radical Teaching on Sex, Love, and the Meaning of Life, hlm. 69.
Komentar
Posting Komentar