Langsung ke konten utama

MENEMUKAN KEMBALI l’esprit d’enfance



MENEMUKAN KEMBALI l’esprit d’enfance 
« Tu crois qu’à quatre ans on meurt trop tôt ? Moi je crois qu’on meurt tous à la fin de sa vie. De sa vie à soi. Et ça ne dure jamais le même temps pour tout le monde. Mais c’est quand même la vie. Et moi j’aime la vie. ». ("Kau pikir dalam empat tahun kita mati terlalu cepat? Saya pikir kita semua mati pada akhir hidupnya. Hidupnya sendiri. Dan itu tidak pernah berlangsung saat yang sama untuk semua orang. Tapi itulah hidup. Dan aku, aku mencintai kehidupan. ")
Itu adalah kata-kata seorang anak kecil dalam sebuah film dokumenter d'Anne-Dauphine Julliand, yang berjudul « Et les Mistrals gagnants » (yang diproduksi oleh Incognita Films) dan dilaunching pada tanggal 1 Februari 2017. Anne-Dauphine Julliand lahir di Paris pada tahun 1973 dan belajar dalam bidang jurnalisme. Sehari-hari bekerja dalam dunia pers.Pada tahun 2006, anaknya yang bernama Thais yang saat itu berusia dua tahun, menderita penyakit genetik degeneratif yang tidak bisa disembuhkan: leucodystrophie métachromatique. Harapan hidupnya sangat singkat. Pada bulan Maret 2011, dia menerbitkan buku "Dua langkah kecil di pasir basah" di mana dia berbagi pengalaman hidupnya sekitar penyakit dan kematian anaknya Thais. Buku ini telah terjual lebih dari 300.000 kopi di Perancis dan diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Setelah dua buku tentang penyakit dan kematian putrinya, Anne-Dauphine Julliand membuat sebuah film dokumenter tentang lima anak sakit parah. Apa yang mendorong sehingga dia membuat film dokumenter tentang anak-anak yang sakit? Anne-Dauphine Jullian ingin berbagai pengalaman luar biasa bersama suaminya  selama penyakit dan kematian putri mereka Thais. Dia melihat bagaimana keluarga mengahadapi anak-anak yang sakit parah. Dia berkata:”ini adalah sebuah film tentang hidup, bukan sebuah film tentang orang sakit”. Hidup adalah subjek dokumenter ini, kehidupan dalam lensa mata anak-anak!
Film itu mengandung pesan:”suara anak-anak, anak-anak "sakit" bahwa meskipun kondisi medis serius, mereka memberi kita pelajaran hidup, kebahagiaan dan ketenangan, untuk kita, orang dewasa.” Film ini berkisah mengenai kehidupan lima orang anak yang sangat berbeda, baik dari segi patologi latar belakang dan kepribadian. Anak-anak dalam film itu yakni Charles, Camilla, Tugdual, Amber dan Imad. Tanpa sadar, mereka sepenuhnya mematuhi puisi terkenal Invictus oleh William Henley di tempat tidur rumah sakit: "Saya kapten jiwaku/ « Je suis capitaine de mon âme ». Anak-anak ini memiliki empati yang luar biasa. Kita bisa melihatnya ketika Imad prihatin dengan kelelahan orangtuanya membawanya ke rumah sakit secara teratur. Mereka adalah anak-anak, mereka tentu saja tidak sempurna, tapi mereka tidak takut akan apa yang terjadi besok dan seterusnya. Sementara orang tua kecewa dengan cobaan, anak yang sakit melihat kenyataan itu secara alami. Penyakit ini kemudian menjadi undangan untuk para orang tua yang memiliki anak yang sakit serta orang dewasa yang sakit untuk menemukan kembali semangat anak-anak (l’esprit d’enfance).
Orang dewasa ketika mengalami sakit mengalami ketakutan akan kematian. Bahkan menggangu semua kegiatan lainya. Ada banyak pikiran ini dan itu. Anak-anak hanya focus pada sakit pada saat itu. Anak-anak lebih natural kalau mati dalam kesederhanaan. Anak-anak bagaimanapun, memiliki keyakinan yang kuat. Dia percaya pada kebahagiaan. "Tidak ada yang mencegah saya untuk menjadi bahagia," kata Tugdual dalam film. Ketika mereka terluka atau mereka sakit, mereka menangis. Dan kemudian, saat berikutnya, mereka dapat kembali bermain dan tertawa. Untuk orang dewasa memang lebih sulit; dibutuhkan goodwill dan kesabaran. Jangan mengatakan, "Apa yang harus saya lakukan? "Tapi ," Apa yang bisa saya lakukan? "Jangan pula bertanya “mengapa semua ini terjadi padaku? Tetapi “bagaimana saya hadapi kenyataan ini?  Ada hari-hari ketika Anda merasa efisien, di mana kita berhasil melakukan apa yang kita rencanakan. Dan kemudian hari berikutnya ada lubang hitam dan Anda merasa terkuras. Tidak masalah.
Film itu juga mengandung dimensi spiritual.  Baginya Allah mengasihi semua orang. “Ketika saya kehilangan anak saya, itu adalah kesadaran akan kekuatan cinta di jantung kerapuhan yang membawa saya ke sebuah kebahagiaan sempurna.” Kata d'Anne-Dauphine Julliand.  Setelah kematian putrinya dia membuka hatinya untuk menikmati setiap momen eksistensi. Dia menyadari bahwa kehidupan yang baik tidak diukur dengan jumlah tahun. Setelah kematian anaknya Thais sembilan tahun yang lalu ada hal-hal yang mereka ingin ubah, tapi tidak berubah. Kadang-kadang dia bersama suaminya bertengkar, mengeluh, tapi mereka menemukan kompas, memfokuskan kembali hidup mereka, karena mereka tahu apa itu penderitaan. Untuk para orang tua yang memiliki anak sakit parah dia berpesan agar tidak takut. Kita belajar dari iman sutradara film ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug