Langsung ke konten utama

Coffeeshop Tilburg vs Warung Kopi Pinggir Jalan di Indonesia


Suasana musim panas masih terasa. Temperatur ruangan cukup panas. Tanggal 11 Agustus 2020, saya ingat persis tanggal itu. Jam dinding di komunitas MSC Westbaan-Tilburg menunjukkan pukul 16h00. Saya bergegas turun dari kamar saya menuju tempat parkir mobil persis di sebelah bangunan komunitas itu. Sebelumnya saya sudah memberi informasi kepada P.Dony, MSC bahwa saya tidak makan malam di komunitas MSC Westbaan.

Di tempat parkir, saya mulai otak-atik handphone untuk memasang GPS dengan menggunakan aplikasi Waze. Maklum saya sama sekali tidak hafal dena kota Tilburg. Saya baru tiba di sana pada hari sebelumnya dari Issoudun-Perancis. Walaupun pada bulan Desember 2018 saya pernah tinggal 10 hari di tempat itu. Saya mengetik di aplikasi Waze : « Sint Oloflaan 1 Tilburg.” Setelah merasa yakin bahwa itu adalah alamat yang tepat, saya mulai menghidupkan mesin mobil dan mengendarai mobil dengan hati-hati sambil melihat petunjuk GPS tersebut.

Alamat di GPS tidak lain menunjuk ke arah komunitas Notre Dame-Tilburg. Saya menujuk sebuah bangunan yang arsitek awalnya adalah F.C. de Beer. Dialah yang telah menggambar desain pada tahun 1904. Biara itu diresmikan pada 21 Juli 1915. Kemudian Jan Strik merealisasikan perluasan substansial pada tahun 1958, termasuk novisiat dan kapel. Pada tahun 1980, biara baru untuk orang tua, Huize Notre Dame, dibangun berdasarkan desain firma arsitektur Wiegerinck dari Arnhem.

Bangunan Jan Strik dihancurkan pada tahun 1992 untuk pembangunan baru rumah perawatan biara oleh Jos Bedaux. Beberapa renovasi dan perubahan mengikuti. Delapan bangunan sekarang menjadi rumah, antara lain, panti jompo biara bagi para suster PBHK dan para MSC, serta kantor provincial MSC dan PBHK serta ruangan arsip.

Syukur kepada Allah saya bisa sampai ke tempat parkir komunitas itu tanpa kendala. Saya mematikan aplikas waze di hp saya, dan mencari kontak P. Hans Kwakman, MSC. Segera saya meneleponnya untuk memberi tahu bahwa saya sudah sampai di tempat parkir. Dia pun turun dari kantornya, dan menjumpai saya dengan penuh suka cita.

Setelah salam-salaman di tempat parkir, dia mengajak saya untuk keliling jalan-jalan sore di belakang biara Notre Dame yang cukup luas. Cuaca masih luamayan panas, sehingga setelah beberapa saat jalan-jalan keliling saya mengajaknya untuk duduk di sebuah bangku taman di dekat pohon yang rindang. Kami bercerita panjang lebaar mengenai pengalaman kami masing-masing. 

Kira-kira satu jam bercerita, P. Hans menelpon pengelolah sebuah restaurant Asia yang letaknya kira-kira 1 km dari biara Notre Dame. Jawaban dari seberang telepon adalah « Ok, bisa untuk dua orang, pada pukul 21h00.” Maklum pukul 19h00 sampai 20h00, masih tampak seperti pukul 17h00 di Indonesia kalau musim panas. Jadi kami sengaja untuk makan agak terlambat, sehingga masih bisa bercerita santai di area yang tidak jauh dari pekuburan susteran PBHK Tilburg itu.  

Kira-kira pukul 20:30 kami mulai jalan kaki ke arah restaurant Asia yang telah dipesan oleh P. Hans. Kami melewati ruas jalan yang cukup ramai. Kami juga melewati sebuah bangunan yang begitu besar yang dikenal dengan “Rumah Misi MSC” pada zaman dulu. Kali ini saya tidak masuk ke arah bangunan itu. Maklum Saya pernah melewati dan masuk ke kompleks bangunan itu pada tahun 2018 lalu. Sore itu saya hanya mengagumi keindahannya dari jalan. Saya bahkan sampai lupa mengambil foto bangunan itu, karena saya berpikir, saya masih masih memiliki dokumentasi pada libur tahun 2018 lalu.   

Sambil melangkah dengan tidak terlalu tergesa-gesa ke restaurant, saya ingat-ingat sejarah masa lalu bagaimana konggregasi MSC yang berasal dari Perancis bisa masuk ke Belanda, secara khusus ke kota Tilburg. Kongregasi Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu (MSC) didirikan pada tahun 1845 di Issoudun (Perancis) oleh Pater Jean Jules Chevalier (1824-1907). Pada tahun 1882, kongregasi MSC telah menetap di Tilburg. Kongregasi harus meninggalkan Prancis, tempat asalnya, di bawah tekanan dari kebijakan anti-gerejawi pemerintah Prancis. 

Pada masa lalu orang-orang Tilburg suka menyebut para MSC dengan sebutan The "Rooi Harten", karena di sutan hitam mereka ada lambang Hati Kudus Yesus yang begitu kentara. Sebuah rumah misi MSC dibangun di Tilburg pada tahun 1890 yang berfungsi sebagai sekolah apostolik (fase pertama pendidikan imam) dan dari tahun 1894 juga sebagai pusat administrasi di provinsi utara kongregasi. Itu dibentuk pada tahun 1894 oleh biara-biara di Tilburg, Antwerpen dan Salzburg. Sayang sekali bangunan yang indah dan megah itu sudah dijual, karena tidak ada lagi panggilan MSC di Belanda. Bangunan ini saat ini sudah dijadikan kantor-kantor beberapa perusahaan, seperti konsultan pajak dan restoran berbintang. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kawasan pemukiman baru telah dibangun di taman biara itu.  

Contoh Sutan Para MSC Belanda pada masa lalu

Dengan demikian tidak ada kemungkinan untuk napak tilas di dalam bangunan. Hanya bagian kuburan MSC yang letaknya tidak jauh dari bangunan itu yang masih bisa dikunjungi oleh para MSC atau siapa saja yang ingin napak tilas ke tempat itu.  

P. Hans memberi informasi kepada saya bahwa dari Rumah Misi itulah para MSC Belanda diutus ke mana-mana di dunia pada masa lalu. Misalnya Anggota kongregasi MSC provinsi Belanda menjalankan misi di Maluku dan Nugini Belanda (1902), Oceania (1905), Filipina (1908), Brasil (1911), Celebes (1919), dan Jawa Tengah (1921). Pada tahun 1960 kongregasi aktif di Dutch New Guinea, Manado, Ambon, Jawa, Rabaul (Oceania), Papuaia (English New Guinea), the Gilbert Islands dan Samarai (East New Guinea). Namun selain misi ke luar negeri, kongregasi juga banyak melakukan pastoral care di Belanda.

Pada masa lalu Di Brabant Utara, "Rooi Harten" memiliki biara di Eindhoven (rektorat dan paroki biara Sint Jozef Tivoli); di Haaren (Huize Gerra); di Oosterhout (novisiat); di Sint-Michielsgestel (Nieuw-Herlaer) dan di Tilburg (Biara rumah misi).

Di luar Brabant Utara, terdapat biara-biara di Arnhem, Berg en Dal, Den Haag, Driehuis-Velsen, Heerlen, Nijmegen, Rotterdam, Sittard, Stein dan Wijhe. Singkatnya, pada masa lalu MSC Belanda adalah provinsi yang terbesar. Syukurlah bahwa hasil misi MSC Belanda, yakni provinsi MSC Indonesia masih memiliki banyak panggilan. Saat ini ada 343 anggota MSC Provinsi Indonesia. Dan Pada tanggal 6 Oktober 2021 nanti, Provinsi MSC Indonesia akan merayakan 50 tahun berdirinya sebagai sebuah provinsi.

Ohh yah hampir lupa....beberapa meter lebih jauh dari bangunan Rumah Misi itu saya melihat ada antrian panjang beberapa anak muda di trotoar. Saya melihat tulisan di bangunan itu « Coffeeshop.” Saya berpikir keras..kenapa untuk minum kopi saja orang harus antri panjang begini. Saya berpikir mungkin karena masa pandemi. Tapi lalu saya lebih penasaran lagi, kenapa untuk minum kopi orang harus rela antri panjang begitu ? Saat itu saya tidak bertanya kepada P. Hans.

Kami berjalan terus sampai ke arah restaurant Asia yang dipesan tadi. Di dalam restaurant hanya ada beberapa klien dengan tetap menjaga jarak aman.  Kami adalah orang yang terakhir makan malam di restaurant mereka hari itu. Kami masuk dengan mengikuti prosedur protocol Kesehatan masa pandemi. P. Hans mencatat nama dan nomor teleponnya. Kami membersihkan tangan kami masing-masing dengan antiseptic yang disiapkan oleh pihak restaurant. Kami pesan nasi goreng dan bebek goreng serta babi goreng. Hmmmm…maknyos..memang rasanya lezat. Maklum di Perancis saya jarang temukan makanan Asia. Kami makan sambil cerita-cerita. 


 


Setelah selasai makan, kami pun kembali ke arah biara Notre Dame dengan melewati jalan yang sama. Di trotoar depan Coffeeshop saya melihat dari jauh semakin banyak orang yang antri. Hari sudah mulai gelap. Maklum sudah pukul 22:30. “Kenapa yah pastor di depan Coffeeshop begitu banyak yang antri?” tanyaku kepada P. Hans dengan penuh penasaran. “Yah itu bukan tempat minum kopi tetapi tempat jual Narkoba! Dan yang datang ke situ bukan saja orang Tilburg, tetapi dari mana-mana. Bahkan orang-orang Belgia dan Perancis datang ke situ. Karena itu legal di Tilburg-Belanda,” jawabnya. "Oh kalau begitu saya nanti tulis kisah ini yah pastor, karena dari tadi saya pikir itu tempat minum kopi hehehe," kataku. Dia membalas:" tulis saja....sebagai bagian pengalaman.."

Ketika lewati lagi tempat itu, saya sempat lirik ke arah interior bangunan itu. Asap dan lampu remang-remang. Bau menyengat narkoba begitu terasa…saya cepat-cepat lewati tempat itu. Bau itu persis di ruas-ruas jalan kota Amsterdam di depan toko-toko narkoba, ketika pada tahun 2018 lalu saya bersama-sama dengan P. Dony jalan-jalan ke sana.

Ternyata di Belanda penjualan dan pemakaian narkoba legal dan diatur dalam aturan pemerintah. Pada 21 November 2008, berlangsung Wiet Summit di Almere dimana walikota membahas legalisasi suplai Coffeeshop. Akses ke Coffeshop mengharuskan seseorang tinggal di Belanda (kriteria penduduk, kriteria I, tidak berlaku untuk semua kota) dan dalam usia legal; Hal ini dibuktikan dengan ekstrak dari Municipal Personal Records Database (GBA) dari tempat tinggal dan dokumen identitas yang valid. Ini adalah pelonggaran dari sistem gulma sebelumnya, dan telah disepakati dalam Perjanjian Koalisi 2012. Kriteria tempat tinggal diberlakukan dengan berkonsultasi dengan pemerintah kota yang terlibat dan, jika perlu, secara bertahap, sejalan dengan Coffeshop lokal dan kebijakan keselamatan sehingga ada kustomisasi lokal.  Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kota telah mencoba, dengan sukses, untuk mengurangi jumlah Coffeshop. Hal tersebut disebabkan oleh gangguan yang ditimbulkan oleh Coffeeshop bagi daerah sekitarnya, permasalahan yang diakibatkan oleh wisata narkoba di daerah perbatasan, dampak yang memburuk di pusat kota dan perubahan opini masyarakat.

Bagi para penikmat kopi dari Indonesia yang hendak berwisata ke Belanda, agar jangan tertipu dengan penampilan tulisan Coffeeshop di bangunan. Ohh yah….malam itu, ketika sudah sampai di biara Notre Dame, saya mengucapkan selamat tidur kepada P. Hans. Saya membuka lagi handphone dan membuka aplikasi waze untuk selanjutnya mengendarai mobil ke arah biara MSC di Westbaan, Tilburg. Saya tidak menemukan kesulitan untuk sampai di komunitas itu. Sungguh pengalaman yang indah…bisa berbagi kisah dengan seorang konfrater MSC senior yang baik hati di Tilburg.  Tentu saya belajar banya hal darinya. Benarlah apa yang dikatakan oleh Eurepides:” "Melalui kontak dengan orang lainlah manusia mempelajari apa yang dia ketahui. "-

Malam itu juga sebelum tidur saya bermenung mengenai misi, apalagi sempat melewati rumah misi yang pernah jaya pada masanya. Spiritualitas MSC adalah memperkenalkan Spiritualitas Hati, membawa Hati Kudus Yesus agar semakin dikasihi di mana-mana. Banyak sekali MSC Belanda yang diutus ke mana-mana di dunia. Ada yang bahkan meninggal sebagai "Martir" sebagaimana kita kenal para "Martir dari Kei-Maluku."  Di antara mereka adalah

Pastor Hendrikus lahir dengan nama lengkap Hendrikus Richardus Cornelissen pada tanggal 11 Januari 1890 di Wanroij. Sebagai misionaris Hati Kudus Yesus MSC di Tilburg (secara lokal dikenal sebagai "Rooi Harten"), ia berangkat untuk misi Langgoer di kepulauan Kei, sebuah kepulauan di selatan Maluku, di bawah kepemimpinan Uskup Mgr. Aerts.
KNIL menyerah di Jawa pada 8 Maret 1942, tetapi akan memakan waktu hingga 30 Juli sebelum Jepang juga menduduki Kepulauan Kei. Mgr. Aerts mengatakan dalam beberapa bulan terakhir bahwa dia tidak akan pindah ke Australia. Misionaris lain bergabung dengan dia dalam semangat solidaritas.
Orang Jepang, yang mencurigai misionaris Kristen, menempatkan area misi di bawah penjagaan pada hari pertama pendudukan dan memaksa misionaris untuk berkumpul di pintu masuk kapel. Di sana mereka diteriaki atas segala macam tuduhan setelah "penyelidikan". Mereka dikatakan penindas kolonial, memiliki senjata api, mencoba menghasut penduduk untuk melawan Jepang dan memberikan bantuan kepada tentara dan pejabat kolonial yang melarikan diri.
Uskup dan rekan misionarisnya dibawa ke rumah stasiun pusat. Tak lama kemudian, mereka keluar dengan mata tertutup dan didorong dan ditarik ke pantai. Mereka berbaris menghadap ke laut di hamparan kering di sebelah barat dermaga. Seorang dari mereka berseru: "Untuk Kristus Radja Kita!" ("Untuk Kristus dan Raja!"), Yang semua menjawab, "Amin". Lalu senjata api itu meledak. Di antara 13 misionaris yang dieksekusi adalah Pastor Hendrikus. Dia berusia 52 tahun.
Tubuh-tubuh itu mengapung kesana kemari di air pasang selama dua hari lagi; siapapun yang mencoba menguburnya dipukuli dan ditembak. Akhirnya, beberapa misionaris Protestan diizinkan untuk menguburkan mayat di pulau itu.
Yah...imajinasi saya masuk begitu dalam dalam sejarah masa lalu setelah melihat "tempat asal" para MSC Belanda diutus ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. 
Saya bersyukur kepada Tuhan karena toh pada moment menjelang 50 tahun Provinsi MSC Indonesia, saya berkesempatan untuk "napak tilas"  ke Tilburg. Dengan melihat kenyataan Tilburg saat ini,  saya menengok ke belakang untuk mengkinikan peristiwa-peristiwa, pelaku-pelaku, tempat-tempat yang telah turut menentukan keberadaan MSC Indonesia. 
Saya berdoa agar generasi-genarasi muda Indonesia tidak terjebak dalam narkoba. Semoga pula tidak akan ada "Coffeeshop" di Indonesia. Biarlah yang ada hanyalah "warung-warung kopi pinggir jalan" yang memberi semangat kepada para Misionaris setelah berjam-jam "tourney" melewati medan lumpur. Istirahat menghilangkan penat dengan menyeruput secangkir kopi panas di pinggir jalan sambil berkelar dengan para penjual sederhana......."suka cita ada di sana....bahkan lupa kalau tadi sempat jatuh bangun di jalan lumpur...Wow....memang benar-benar Manusia Segalah Cuaca orang-orang ini...."Salam dalam Hati Kudus Yesus untuk semuanya.


 P. Yongki Wawo, MSC

Issoudun-Perancis, 2020


 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANDA-TANDA KEHADIRAN ALLAH DALAM HIDUP: SEBUAH PERMENUNGAN!

Saya yakin bahwa tidak seorang pun dari kita yang pernah melihat Tuhan. Ketika seseorang berkata, " Saya percaya kepada Tuhan ," dia tidak mengatakan bahwa dia memiliki bukti keberadaan Tuhan, tetapi bahwa dia memiliki iman kepadaNya. Kata " iman " berarti "percaya." Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang bersatu dengan Tuhan. Mereka mengalami kehadiranNya dalam hidup mereka. Mereka tidak percaya pada transendensi sederhana, atau energi, kekuatan yang tak terlihat ... tetapi mereka percaya kepada SESEORANG yang berbicara kepada mereka secara pribadi, melalui peristiwa-peristiwa hidup mereka, dalam pengalaman batin mereka. Tuhan sering dilambangkan dengan cahaya. Seperti matahari, yang tidak bisa saya tatap secara langsung, tetapi yang menerangi apa yang mengelilingi saya, Tuhan, yang tidak saya lihat, menerangi keberadaan saya dengan memberi saya "tanda-tanda" kehadiran-Nya.  Sejak awal, Tuhan berbicara kepada manusia

MENGENAL TAREKAT RGS-ANGERS

Pada hari ini, 15 Desember 2016, kami makan siang di rumah biara tempat lahirnya tarekat Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik ( juga dikenal sebagai Good Shepherd Sisters – RGS ). Letaknya tidak jauh dari pastoran Santo Yoseph Angers. Pastor Gilles Crand, Pr mengantar P. Sebastian, P. Martin dan saya untuk makan siang di rumah biara yang besar itu . Komunitas itu hanya dihuni oleh 12 orang suster dari berbagai negara, yakni: India, Irlandia, Swiss, Peru, Costarika, Colombia, dan Perancis. Walaupun di biara pusatnya itu hanya dihuni oleh 12 suster, namun tarekat yang lahir di kota Angers itu, sudah menyebar di berbagai negara di dunia. Saya bertanya kepada salah satu suster asal India yang bertugas di situ mengenai jumlah anggota di seluruh dunia.   Dia mengatakan bahwa   kongregasi internasional dalam Gereja Katolik Roma itu, dulu anggotanya hampir 10,000 orang di dunia. Saat ini kira-kira hampir 4.000 hadir di 72 negara di lima benua, termasuk di Indonesia. Kongregasi

SEORANG DUDA BISA MENJADI IMAM?

P. de Vaugelas adalah seorang pastor projo keuskupan agung Bourges-Perancis Tengah.   Dia sebelumnya adalah seorang bapa keluarga yang memiliki pekerjaan top di salah satu bank Amerika di Paris. Selama masa kerja dia sudah berkeliling dunia, termasuk Indonesia. Waktu luang pun dia pernah habiskan untuk masuk dalam sekolah special di Chateroux untuk menjadi pilot. Dia jalankan itu dengan baik, dan mampu menjadi pilot dalam masa belajar hanya dalam satu tahun saja. “Saya kalau mengemudi mobil, tangan selalu siap sedia di bagiaan rem tangan, dll. Itu semua karena saya terbiasa menjadi pilot,” katanya kepadaku saat kami kembali dari l’abbey Fontgombault pada awal bulan April 2017. Yang menarik buat saya adalah sejak istrinya meninggal dia banyak berefleksi untuk menjadi imam. Dalam usianya yang tidak lagi muda (69 tahun), dia tetap rendah hati untuk meminta bimbingan rohani, termasuk meminta bimbingan rohani kepada salah satu konfrater MSC di Issoudun, Alfred Bours, MSC. Dia jug