Leonardo Boff |
Saya jalankan
kegiatan harian seperti biasanya di Issoudun-Perancis pada hari ini. Biasanya
setiap hari setelah makan siang, dilanjutkan dengan minum kopi di ruang
rekreasi komunitas. Di ruangan itu tentu ada banyak Koran serta majalah. Saya tertarik dengan majalah La Vie edisi bulan Januari 2017 yang didalamnya ada artikel
berjudul “ François veut-il des prêtres mariés? » yang ditulis oleh
Sixtine Chartier. Tulisan itu muncul
sebagai tanggapan atas kata-kata teolog Brasil, Leonardo Boff kepada surat kabar Jerman
Kölner Stadt-Anzeiger. Leonardo Boff dalam artikel tertanggal Selasa, 27
Desember, 2016 mengatakan bahwa mantan imam yang menikah diterima kembali dalam pelayanan
pastoral. "Para uskup Brasil telah resmi meminta paus,"
kata mantan Pastor Fransiskan yang surat kabar Jerman Kölner Stadt-Anzeiger.
Leonardo Boff menjamin, Paus Francis akan memiliki
kemauan untuk merespon secara positif permintaan ini, setidaknya untuk tahap
percobaan di Brasil. Langkah ini dimaksudkan untuk menjawab kekurangan imam di
seluruh dunia. "Pada saat yang sama,
itu akan menjadi dorongan bagi Gereja Katolik menghilangkan beban selibat,"
kata teolog itu dalam wawancara yang diterbitkan pada 25 Desember 2016. Ini
menyoroti masalah yang ditimbulkan oleh kurangnya imam termasuk Brasil. Dia
mencatat bahwa " tidak mengherankan
bahwa orang Katolik berbondong-bondong ke Gereja Pantekosta dan gereja evangelis
untuk mengisi tempat kosong (spiritual)"
Mantan Pastor Fransiskan itu mengaku bahwa setelah meninggalkan imamat tahun 1992, ia
terus melakukan fungsi imam. Ini dengan persetujuan
eksplisit dari para uskup dari negaranya. "Sampai saat ini, tidak ada uskup yang saya tahu, tidak pernah melarang
atau berkeberatan," katanya. Menurut Leonardo Boff, para uskup bersukacita
dan mengatakan kepadanya, "orang-orang
memiliki hak untuk menerima Ekaristi. Diam-diam terus melakukannya! "
Leonardo Boff, teologi pembebasan, mendapat
sanksi oleh Konggregasi iman pada tahun 1985 dalam masa kepausan Yohanes Paulus II karena terlalu dekat
dengan Marxisme. Dia selanjutnya meninggalkan biara
Fransiskan pada tahun 1992, dan kemudian menikah.
SIKAP
GEREJA?
Sampai
saat ini Gereja masih tetap pada pendirian bahwa imam katolik adalah seorang
yang tidak menikah. Seorang imam yang sudah menikah dan secara public terlihat
hidup bersama dengan seorang wanita secara sistimatik dinyatakan sebagai “awam”
walaupun secara ontology martabat imamatnya masih melekat sampai mati.
Perlu diperhatikan bahwa pertanyaan reintegrasi para imam yang menikah serta kewajiban imamat sangat berbeda dengan tahbisan seorang pria yang menikah. Dalam gereja katolik Roma, kenyataan itu ada di Inggris dan Amerika, seperti untuk para imam Anglikan yang masuk ke dalam gereja Katolik. Kemungkinan untuk mentahbiskan para pria yang menikah telah terjadi pada suatu kesempatan “kesepakatan” pada tanggal 4 April 2014 antara Mgr. Erwin Krautler, uskup Xingu, sebuah wilayah di Brasil yang mengalami kekurangan imam, SEBAGAIMANA dicacat oleh Jean Mercier dalam bukunya :” célibat des pretres. La discipline de l'Eglise doit-elle changer?” (selibat para imam, disiplin gereja haruskah berubah?
Paus Fransiskus Paus Francis tidak mengesampingkan kemungkinan ini. Dia menjelaskan bahwa ia tidak bisa mengurus segala sesuatu dari Roma dan itu adalah urusan uskup setempat. Lalu, apa pemikiran sebenarnya paus Fransiskus mengenai selibat para imam? Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2010, dia mengatakan : »sampai saat ini saya mendukung untuk menjaga selibat, dengan segala keuntungan dan kekurangannya, karena selama 10 abad, lebih banyak pengalaman positivinya ketimbang kegagalan atau negatif."
Otonomi YANG LEBIH BESAR kepada Gereja Lokal
Pada tanggal 25 Mei 2014 dalam sebuah konfresi pers di dalam sebuah pesawat yang mengantarnya ke tanah suci, paus Fransiskus berkata : »selibat adalah sebuah aturan hidup yang sangat saya hargai, dan saya yakin bahwa itu adalah sebuah kado bagi gereja. Karena itu bukan sebuah dogma iman, maka pintu selalu terbuka.” Tentu paus Fransiskus tidak hendak mereformasi gereja dalam kerangka kelembagaan, tetapi dia mengundang sebuah revolusi mental «Une révolution des mentalités" dan secara khusus bagi para imam. Dia memberikan otonomi yang lebih besar kepada gereja local merupakan maksud kata-kata “la porte ouverte”/ pintu terbuka”. Tentu kita masih ingat peristiwa 11 November lalu di mana paus Fransiskus menjumpai 7 mantan imam Italia yang meninggalkan imamat dan kemudian menikah. Apakah itu berarti paus Fransiskus berkehendak mengubah aturan gereja? Kenyataannya dia bertindak atas nama “belaskasihan”. Itu pada akhirnya adalah tindakan untuk mengungkapkan pendekatannya atas masalah-masalah gereja: untuk menarik banyak orang pada pertobatan (la conversion).
Komentar
Posting Komentar