Setahun lebih keberadaanku di negara tour Eifel. Waktu mengalir begitu cepat, sehingga tak terasa juga.
Dalam rentan waktu yang singkat itu, bersama dengan dua konfrater MSC asal
India, pastor Martin dan pastor Sebastian, kami tinggal di beberapa tempat yang
berbeda. Mula-mula di Issoudun, kemudian berturut-turut di Vichy dan di Angers.
Tentu keberadaan kami di Perancis dimaksudkan untuk misi di Issoudun, di biara
pusat tempat lahir tarekat MSC dan juga di paroki Issoudun. Kami bertiga masuk
dalam « team internasional » yang dibentuk oleh Generalate MSC Roma
untuk menghidupkan lagi tempat lahir tarekat MSC serta pelayanan parokial di
Issoudun seperti pada zaman pater pendiri, bersama dengan pastor Gabriel (asal
Kameroun) dan juga pastor Emerson asal Republik Dominica. Team itu akan secara
resmi dimulai pada bulan September 2017.
INKULTURASI :
MASUK DALAM « CARA BERADA » ORANG PERANCIS
Sebelum resmi terjun dalam misi itu, perlu ada tahap inkulturasi berupa belajar bahasa, budaya,
situasi gereja dan lain-lain. Pastor
Gabriel dan pastor Emerson tidak perlu lagi belajar bahasa Perancis, karena
mereka sudah bisa berbicara bahasa Perancis di negara mereka masing-masing. Pastor
Gabriel sejak datang ke Perancis sudah bekerja di paroki Issoudun. Pastor
Emerson masih berada di Canada. Dalam waktu dekat akan ke Perancis.
Saya secara pribadi mengakui bahwa untuk masuk dalam budaya
dan gereja di Perancis memang butuh cinta, semangat dan kesabaran. Ada beberapa
tantangan misi. Pertama, soal bahasa.
Saya tidak pernah tahu bahasa Perancis. Bahasa itu memang lumayan sulit dari
segi grammar dan cara pengucapan. Hari
pertama di negara Perancis, rasanya seperti dengar bunyi lebah ketika orang
bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Saya tidak mengerti apa-apa. Dengan
semangat kesabaran, hari demi hari akhirnya toh ada perkembangan. « Bunyi
lebah « berangsur-angsur dipahami artinya. Wah..rupanya belajar
bahasa asing di tempat asal bahasa itu memang lebih cepat kemajuannya, karena
toh tiap hari sering mendengar kata-kata yang hampir sama diucapkan. Pada bulan November 2015-Juli 2016,
Sebastian, Martin dan saya belajar
bahasa Perancis di kota Vichy. Di Vichy kami belajar bahasa Perancis di sebuah
sekolah yang bernama CAVILAM. Dalam semangat
yang sama, kami masih harus memperbaiki kesalahan-kesalahan ucapan, karena ada
bunyi-bunyi tertentu yang kedengaran masih agak kurang pas untuk telinga orang
Perancis. Ke depan kami masih butuh L'orthophoniste ,
semacam dokter yang menangani masalah pengucapan.
Kedua, melihat kenyataan gereja minim umat, khusunya di Issoudun.
Saya dilahirkan di sebuah desa di Keo Tengah-Flores, yang 100 persen katolik. Saya
terbiasa melihat banyak umat masuk ke gereja sejak saya kecil. Saya juga
melanjutkan masuk biara MSC di Manado (setelah melewati seminari menengah St.
Yohanes Berkhmans Mataloko-Flores) di mana saya jumpai banyak orang masuk ke
gereja setiap hari minggu. Kenyataan di Perancis tidak seperti itu. Tidak
banyak orang masuk ke gereja pada setiap hari minggu. Kenyataan banyak umat di
gereja pada hari minggu hanya di beberapa daerah di Perancis, misalnya di kota
Angers. Kami mendalami pengetahuan tentang gereja di Perancis di Angers, secara
khusus di The Catholic University of the West (UCO;
French: Université
catholique de l'Ouest) selama satu semester. Saya lihat Angers memang luar biasa, dalam hal iman umat. Partisipasi umat
dalam kehidupan menggereja patut diajungkan jempol, kataku kepada
Maria France, seorang umat paroki Santo Joseph Angers. « yahh memang benar saat ini jika dibandingkan
dengan dulu-dulu, yak kurang jumlah orang yang masuk ke gereja, tetapi masa
lalu tuh orang masuk ke gereja karena ikut-ikut . Saat ini kalau orang masuk
ke gereja itu memang sebuah keputusan pribadi, sebuah keyakinan iman yang kuat,
dan mereka sangat peduli dengan gereja », cetus seorang teman yang
juga nama Maria di sampingnya. Pada tahun
1952, 81 persen dari penduduk Perancis beragama Katolik. Pada tahun 2010 yang beragama katolik sekitar
64 persen dari jumlah penduduk. Tahun lalu Odon Vallet, pakar agama, kepada TV
France menyatakan bahwa 'sejak serangan
teroris ... ada orang yang tidak lagi aktif ke gereja kembali sedikit demi sedikit ke gereja.
Mereka kembali ke upacara keagamaan karena mereka memiliki keinginan untuk
menegaskan identitas Kristen mereka '. Yah kita doakan!
Selama tinggal di Angers, hal yang
menarik hati saya adalah adanya umat Allah yang terlibat sangat aktif dalam
kegiatan gerejani. Mereka merasa memiliki gereja. Ada berbagai team paroki yang
menangani rupa-rupa kegiatan pastoral. Gaya pastoral top-down sama sekali tidak ada di
sini. Pastor paroki hadir sebagai teman, bukan sebagai orang yang “tau
segala-galanya” dengan komando-komando. Semua kegiatan dijalankan oleh umat
Allah. Dengan demikian, spirit Konsili Vatikan II begitu terasa di paroki itu.
Yang menarik juga adalah bahwa tidak hanya orang-orang yang
sudah lanjut usia, tetapi ada juga keluarga muda. Sudah pasti dari
keluarga-keluarga muda itu, mereka mengajak anak-anak mereka berpartisipasi
dalam misa hari Minggu. Minimal dalam misa hari Minggu ada sekitar 45 anak
kecil berumur 4-10 tahun. Mereka
biasanya didampingi oleh salah satu animator anak-anak saat bagian
liturgy bacaan dan masuk kembali ke dalam gereja pada saat persembahan. Saya
berkenalan dengan orang-orang yang aktif itu. Mereka tak jarang menjelaskan
mengenai “Gereja di Perancis” kepada saya dan juga kepada dua konfrater MSC
India (Sebastian dan Martin).
Saya JUMPAI banyak
tenaga-tenaga pastoral kreatif di paroki itu. Saya berpikir dengan adanya
tenaga-tenaga yang kreatif dan selalu siap sedia membagi waktu bagi gereja,
sudah pasti gereja di Perancis tetap hidup.
Ketiga, negara
Perancis adalah negara sekular. Ada pemisahan antara ruang public dan ruang
privat. Agama termasuk dalam masalah privat. Seorang pejabat public sama sekali
dilarang menggunakan atribut apa pun tentang agama dan tidak menyebut identitas
agamanya di hadapan publik. Dalam debat politik tentang imigran atau kemiskinan,
suara gereja memang menonjol, namun di daerah lain gereja sangat hati-hati
karena hirarki tahu bahwa banyak orang percaya tidak setuju dengan sikap
politik mereka. Pada tahun ini negara Perancis akan mengadakan pemilihan umum
memilih presiden yang baru. Untuk generasi tua Katolik, François Fillon ada dalam hati mereka. Baru-baru ini gaya
kekatolikan Fillon telah digunakan oleh lawan-lawan politiknya sebagai sarana
untuk menyerangnya. Mantan Perdana Menteri Manuel Valls, saat berkampanye untuk
menjadi kandidat Sosialis, mengatakan: 'Untuk
pertama kalinya politisi telah mendefinisikan proyek sebagai seorang Katolik
... kita adalah negara dengan akar Kristen, dengan salah satu komunitas Yahudi
tertua dan di mana Islam adalah agama kedua, tapi kita juga adalah negara
sekuler. Untuk memenuhi syarat proyek sebagai seorang Katolik bertentangan
dengan identitas negara kita dan dengan demikian itu akan meningkatkan
sektarianisme.” Keyakinan Fillon dalam pentingnya nilai-nilai konservatif
sebenarnya mungkin untuk menarik pemilih dari Yahudi dan Muslim masyarakat,
pria dan wanita yang memiliki pandangan yang sama. Terlebih lagi, mereka lebih
cenderung untuk menghormati dan karenanya memilih seorang pria yang
beriman, apapun agamanya.
GEREJA DI PERANCIS TETAP HIDUP DAN BERPENGARUH
Di bawah rezim lama atau sebelum revolusi
Perancis Gereja mengambil bentuk sebuah lembaga yang inklusif. Lembaga Katolik
memegang status sipil, mengontrol sistem pendidikan, dll. Di atas semua, Gereja
menyatakan, secara tidak langsung menetapakan standar etika dan hukum yang
menjadi dasar dari kehidupan sosial Kerajaan: hukum negara - di sini kita
berpikir tentang hukum keluarga dan agama - meminjam hukum kanon sebagian
penentuannya. Pada Zaman modern
(setelah revolusi Perancis dan secara khusus setelah adanya hukum pemisahan
antara gereja dan negara) pengaruh Gereja tidak lagi seperti sebelumnya. Gereja
kehilangan monopoli ekspresi. Atas nama kebebasan berpendapat, ditegaskan dalam
pasal 10 dari Bill of Rights,
otoritas publik memberikan kepada setiap warga negara (juga yang berkeyakinan
lain. Gereja hanya kadang-kadang mengambil bagian dalam bentuk etika umum
masyarakat, negara tidak berniat untuk mempertimbangkan kata-katanya sebagai
apa pun selain pendapat murni. Ide-ide lama yang
berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik
digulingkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan). Ketiga kata inilah
yang tertera dengan begitu indah di setiapa l’hotel
de ville setiap daerah atau setiap kota di Perancis.
Saat ini walaupun jumlah
orang katolik yang aktif tidak banyak, namun toh pengaruh kekatolikan masih
sungguh terasa: yang tampak dalam partisipasi mereka dalam debat politik
tertentu, terutama ketika datang untuk membela sekolah swasta Katolik dan
protest atas hukum pernikahan gay. Mereka yang ikut untuk berdemo memang tidak
semuanya Katolik tapi itu pengaruh dari gereja yang membawa begitu banyak
keluar ke jalan-jalan. Ohh yahh… kebangkitan Katolik di Prancis tampak pada
bulan November 2012 lalu dimana mereka menentang RUU pernikahan sesama
jenis. Saat itu ada tindakan yang membawa
ratusan ribu umat Katolik (dan agama lain) ke jalan untuk menyuarakan oposisi
mereka dan memberi alasan di balik tindakan menghadapi pemerintahan Sosialis di
mana mereka merasa bahwa pernikanah sesama jenis. Itulah bagian dari pengaruh
gereja untuk negara Perancis, walaupun Gereja hanya mengambil bagian dalam
bentuk etika umum masyarakat.
GAYA PASTORAL YANG DITERAPKAN
“konfrater terkasih, memang di Perancis kita
lihat tidak banyak umat masuk ke Gereja. Tapi mereka punya semangat kasih dan
solidaritas yang tinggi. Lihat saja betapa mereka mudah tergerak hati ketika di
sana-sini ada bencana alam dan kelaparan, dan lain-lain. Rasa kemanusiaan
mereka begitu tinggi. Kita lihat itu sebagai bagian dari cara ROH KUDUS bekerja
dalam diri mereka.” Kata-kata itu meneguhakan saya. Kata-kata itu sungguh
memberi dorongan agar sebagai seorang misionaris di negara sekular Perancis
saya lebih kerasan, karena toh realitas gereja katolik di Perancis memang
sangat berbeda dengan realitas kekatolikan di Indonesia.
Kata-kata pastor Hans Kwakman sejalan dengan pendapat
Philippe Bacq. Pastor Yesuit itu sangat terkenal dengan pemikirannya mengenai "UNE PASTORALE D'ENGENDREMENT". Ada beberapa
point penting yang diungkapkan oleh pastor itu. Di antaranya katanya, banyak
orang yang tidak percaya kepada Tuhan adalah “anak ALLAH” melalui sikap mereka.
Dia melihat bahwa Yesus tidak memanggil semua orang untuk menjadi murid-Nya,
tetapi dia memanggil semua orang untuk melayani dengan otentisitas yang unik.
Kita bisa menabur dan melipatgandakan proposisi ini dalam kerangka “orang-orang
Kerajaan Allah”.
Yahh…sebagai
pelayanan pastoral di negara Perancis, pemikiran Philippe Bacq menghibur saya. Dia mengajak para tenaga
pastoral untuk bertindak
"sebagai seorang penabur," dan khususnya untuk mewartakan Injil. "Inilah
perbedaan antara efisiensi (efficacité) dan kesuburan (fécondité). Dalam pastoral yang efektif kita cenderung untuk mengidentifikasi chokepoints untuk memastikan untuk
sampai pada "produk jadi" yang telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam sikap iman,
kesuburan (fécondité) menunggu apa yang kita tabur dari tangan Allah, kita tahu bahwa apa yang
kita tuai selalu berbeda dari benih yang ditaburkan.
AKHIR KATA
Last but not the least, menjadi missionaries di mana pun
tentunya pertama-tama harus punya hati untuk bermisi. Dengan kata lain harus mencintai
semua hal yang berhubungan dengan daerah misi. Hal itu diingatkan oleh pastor
Carl Tranter, MSC kepada kami yang bermisi di Perancis untuk mencintai semua
hal mengenai Perancis, yakni makanannya, bahasa, mentalitas, realitas gereja,
orang-orang Perancis, dan lain-lain. Yah memang benar. Kalau tidak ada cinta,
maka bisa dipastikan tidak akan betah. Semuanya memang sulit. Saya secara
pribadi, berusaha beradaptasi dengan kenyataan seperti yang telah saya paparkan
di atas.
Saya
merasa bahwa waktu satu tahun lebih untuk proses inkulturasi memang sangat
penting. Memang benar agar bisa melayani umat dengan baik, maka hal lain yang penting adalah mengenai pengenalan
realitas daerah pelayanan pastoral. Si actor pastoral tidak bisa langsung take action berhadapan dengan realitas
baru. Sebagai seorang asing, saya harus berbicara bahasa perancis, mengenal,
dan masuk dalam realitas masyarakat dan gereja di Perancis lewat studi serta
bertanya kepada yang lebih senior. Terima kasih kepada tarekat MSC dan provinsi
MSC Indonesia yang sudah memberikan kesempatan indah kepada saya dalam masa
inkulturasi ini.
Issoudun, 14 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar