Pada bulan Mei 2016 lalu Pater Carl Tranter mengunjungi komunitas Issoudun. Dia baru kembali ke Roma pada hari Senin pagi, 30
mei 2016. Pada hari jumat pagi, dia bersama dengan pater provincial msc
Perancis datang menjemput pastor Sebastian, Martin dan saya di kota Vichy agar
bisa berpartisipasi dalam perayaan Bunda Hati Kudus, sekaligus memberi ucapan
terima kasih kepada pihak konggregasi CM atas kesediaan memberi tempat tinggal
kepada kami bertiga selama belajar Perancis di kota Vichy.
Acara perayaan Bunda Hati Kudus, dihadiri oleh para
peziarah dari kota Paris dan para konfrater MSC di Issoudun serta P. Carl. Yang
memimpin misa pada saat itu adalah P. Daniel, rector Basilika Issoudun. Karena
misa dimulai pada pukul 11 siang, maka kesempatan pagi digunakan oleh P. Carl
untuk berbicara kepada P. Martin, Sebastian (asal India), P. Gabriel (asal
Kamerun), dan saya. Isi sharing kami
dibawa dalam bahasa Perancis, sekaligus latih bicara bahasa Perancis. Sulit
tapi harus bicara. Syukurlah
dalam “accent” masing-masing, kami pun saling mengerti. Kebetulan pastor Carl
bicara sangat fasih bahasa Perancis.
Menarik
bahwa, P. Gabriel yang datang ke Issoudun pada bulan Januari lalu, langsung
mengambil peran di paroki St. Cryl Issoudun. Posisi dia sekarang adalah
mengamati keadaan pastoral di paroki Issoudun. Ada banyak kisah yang disajikan
kepada kami. Kebetulan dia sendiri sudah fasih berbahasa Perancis. Jadi
langsung “take action” . Ada rupa-rupa kisah selama kurang lebih tiga bulan
pelayanannya di paroki. Menurut pastor Gabriel ada juga umat yang mendambakan
kehadiran team lainnya. Mereka bertanya:”yang lain datang kapan?
(Maksudnya team lain dan juga satu pastor yang masih di Canada yang menurut
pastor Carl punya kemampuan yang sangat baik dalam bekerja di daerah yang
sangat sekular). Anggota team lainnya yakni P. Nord asal Philipina tidak jadi
datang ke Issoudun karena tugasnya menjadi Pembina seminaris.
Mengenai
keadaan di Paroki Issoudun, Pastor Gabriel mengatakan bahwa ada team yang
menangani baptisan, krisma, perkawinan, dan imigrasi. Dia melihat, umat begitu
hidup dalam semangat individualisme yang tinggi. Hampir tidak ada kegiatan
penerimaan baptisan dan sakremen Perkawinan bersama. Masing-masing maunya
sendiri. Sehingga persiapanpun sendiri-sendiri. Kalau mau buat 4 kali dalam
setahun misalnya, “orang tidak akan
datang ke Gereja”, katanya. Durasi misa pun tidak boleh terlalu lama. Pada
hari Minggu orang tidak banyak yang masuk gereja. Namun ketika ada penerimaan
sakramen Baptis dan nikah atau ada orang meninggal, banyak yang masuk gereja.
Dalam kesempatan itu, mereka juga hadir hanya sebagai penonton. Itulah ciri khas negara sekular. Bagian jawaban umat hanya dijawab oleh satu dua umat.” P.
Carl mengatakan, pada kesempatan itulah bagus untuk memberi masukan dan ajaran
iman. Usahakan untuk membangun relasi yang dekat dengan umat pada saat-saat
seperti itu. Tentu yang terpenting dan menjadi harapan bersama adalah
“communion for mission”. Dalam keadaan yang sulit, kerja sama dalam team
menjadi dambaan semua. Itulah sebabnya, pastor Carl merasa bahwa sesulit apapun
pekerjaan di luar, anggota team sendiri harus kompak.
Saya
sendiri bersharing bahwa saya tidak merasa kaget dengan kurangnya umat dalam
Gereja. Saya sudah pernah alami di paroki St. Agustinus dan Matias Darit,
teristimewa di kampung-kampung di sekitar kecamatan Meranti, stasi Sage,
Jentaan, dll, karena pernah sampai tersesat di hutan Meranti bersama dengan
pastor Dedian, msc dan beberapa umat Darit yang berkatekese masa prapaskah 2013
dalam malam yang dingin dan disertai hujan. Apalagi ingat tolak motor yang
penuh lumpur. Sampai ada bapa-bapa yang amper menangis. Dalam tahap penyesuian
dengan keadaan budaya dan Gereja di Perancis, saya merasa pelan-pelan sudah bisa menyesuaikan
dengan keadaan real saat ini. Saya melihat ada harapan Gereja di Perancis.
Apalagi kalau melihat kenyataan di daerah-daerah tempat ziarah, seperti
Paray-le-Monial, Taize, dll. Secara khusus saya kagum dengan semangat dan
antusiasme kaum muda yang datang ke Taize untuk mengalami pengalaman rohani.
Spirit utama di tempat itu adalah soal kesederhanaan dan keheningan. Ribuan
anak muda tinggal dalam tenda-tenda. Pada jam doa, masuk ke ruang doa dalam
suasana hening. Luar biasa….Ada juga tenaga sukarela yang mau tinggalkan
pekerjaan untuk tinggal beberapa saat di Taize, ada yang satu minggu, dua
minggu, satu bulan, dst. Pengalaman-pengalaman seperti membuat saya saya sadar
bahwa ROH KUDUS bekerja atas rupa cara-cara untuk terus menghidupkan Gereja-Nya
di dunia ini.
Kembali
ke perayaan Bunda Hati Kudus, Siang hari setelah misa yang hikmah dan agung,
kami melanjutkan dalam santap kasih ala Perancis, yang memakan waktu yang lebih
lama lagi, kira-kira 1,5 jam. Komunitas Issoudun rayakannya dengan penuh
sukacita, termasuk umat yang begitu senang melihat ada imam muda. Mereka senang
karena melihat kemajuan dalam bahasa
Perancis kami. Walaupun kami sendiri merasa belum terlalu BISA..heheheh.
Mungkin mereka sudah bisa mengerti ketika Martin dan Sebastian mendaraskan Doa
syukur Agung dan ketika saya baca Injil.
Komentar
Posting Komentar